Hidayatullah.com—Serangan dengan pedang samurai yang diyakini dipicu pertikaian soal suksesi kepemimpinan di sebuah kuil Shinto terkenal di Tokyo mengakibatkan tiga orang tewas.
Seorang wanita pemimpin kuil itu ditikam hingga tewas, kabarnya oleh saudara laki-lakinya sendiri. Sebilah samurai berdarah ditemukan di lokasi kejadian, bersama dengan beberapa pisau lainya.
Istri dari pelaku serangan juga ambil bagian dalam aksi brutal yang terjadi pada Kamis malam (7/12/2017) itu, melukai sopir si biarawati, kata polisi.
Pria pelaku serangan kemudian menikam istrinya sendiri hingga tewas, sebelum akhirnya bunuh diri.
Dilansir BBC, serangan bermula ketika Nagako Tomioka, biarawati berusia 58 tahun pemimpin kuil Tomioka Hachimangu, keluar dari mobilnya di pelataran kuil dan dihadang oleh adik lelakinya Shigenaga Tomioka, 56, dan istrinya yang konon berusia 30-an tahun.
Istri dari Shigenaga dikabarkan menyerang sopir Nagako, dan menikamnya dengan sebilah pedang samurai. Sopir itu berusaha melarikan diri, tetapi dikejar oleh wanita tersebut. Polisi mengatakan ada jejak darah ke arah jalan. Sopir tersebut ditemukan dalam kondisi terluka, tetapi nyawanya tidak terancam.
Biarawati yang diserang adiknya sendiri itu mengalami luka dalam di bagian dadanya, dan bagian lehernya tampak hasil sabetan benda tajam yang parah. Dia kemudian dinyatakan tewas.
Kedua tersangka kemudian beranjak ke bagian lain kompleks kuil itu.
“Kami yakin tersangka pria menikam tersangka wanita sebelum akhirnya menikam dirinya sendiri,” kata seorang jubir kepolisian.
Menurut laporan media lokal, pembunuhan terjadi karena dipicu oleh perseteruan panjang seputar kursi kepemimpinan kuil, antara si biarawati dengan adik lelakinya tersebut.
Shigenaga dulu juga seorang biarawan kepala kuil tersebut, setelah mengambil alih warisan kepemimpinan dari ayahnya di era 1990-an, lapor Asahi Shimbun.
Akan tetapi, dia dipecat pada tahun 2001 dan ayahnya kembali menempati posisi sebagai kepala kuil. Si ayah lalu mendudukkan putrinya, Nagako Tomioka, sebagai orang penting kedua di kuil tersebut. Tidak jelas mengapa Shigenaga didepak dari jabatan kepala kuil.
Sejak itulah, kabarnya, Shigenaga kerap mengirimkan surat ancaman kepada kakaknya. Dia pernah ditangkap pada tahun 2006 setelah mengirimkan surat berbunyi “saya akan mengirimmu ke neraka.”
Setelah ayah mereka pensiun tahun 2010, Nagako Tomioko naik jabatan menjadi pemimpin kuil. Tidak hanya itu, biarawati tersebut lantas memutus hubungan dengan organisasi payung kuil Shinto, setelah mereka menolak menyetempel suksesi kepemimpinan tersebut, lapor Asahi Shimbun.
Kuil Shinto Tomioka Hachimangu berdiri sejak 1627 dan terkenal dengan festival musim panas Fukagawa Hachiman yang digelarnya setiap bulan Agustus.
Menurut website kuil itu, mereka termasuk yang memulai tradisi turnamen sumo di Edo (sekarang Tokyo) di dalam area kuil untuk menarik minat masyarakat berkunjung ke kuil dan memberikan donasi. Tradisi itu sampai sekarang masih digelar di banyak kuil Shinto. Kaisar Jepang dan istrinya pernah mengunjungi Tomioka Hachimangu pada 2012.
Sekilas Shinto
Shinto merupakan aliran kepercayaan asli Jepang. Kata Shinto berasal dari karakter bahasa China “Shen” (dewa, sesembahan, roh) dan “Tao” (jalan), jadi artinya kurang lebih Jalan Para Dewa. Shinto tidak ada pendirinya, tidak ada kitab atau teks-teks suci yang menjadi pedoman para pengikutnya, tidak ada dogma. Aliran kepercayaan ini murni berkembang dari masyarakat Jepang yang meyakini bahwa segala sesuatu di dunia (benda mati, abstrak, maupun makhluk hidup) ada roh atau kekuatan supranatural yang menguasainya, yang disebut “kami”. Agar “kami” tidak menimbulkan bahaya bagi kehidupan mereka dan justru menolong atau memudahkan mereka, masyarakat Jepang menggelar ritual-ritual persembahan untuk “kami”, dengan memberikan sesajen dan dupa atau bahkan uang di kuil. Ritual tersebut dilakukan terus menerus dari generasi ke generasi sehingga menjadi tradisi yang melekat kuat dalam masyarakat Jepang.
Kuil Shinto tidak hanya dibangun oleh pemerintah atau penguasa, tetapi banyak juga yang dibangun oleh keluarga-keluarga, meskipun tempat itu terbuka untuk umum. Peruntukannya pun beragam, ada yang untuk menyembah “kami” gunung, sungai, laut, api, bumi, dan air. Namun, ada juga yang diperuntukkan bagi “kami” ilmu pengetahuan, kekayaan, kesejahteraan, kesuburan dan sejenisnya.
Kursi kepemimpinan kuil Shinto biasanya diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, bisa juga diambil dari orang luar jika kuil tersebut kesulitan menemukan pemimpin baru. Jumlah perempuan yang menjadi biarawati di kuil Shinto jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding pria biarawan. Dengan demikian, wanita yang menjadi kepala kuil Shinto hanya segelintir saja.
Meskipun masyarakat Jepang mengaku sudah memeluk agama mainstream seperti Kristen atau bahkan Buddha –yang dulu dikenal sebagai agama impor dari China dan menjadi saingan Shinto, tetapi mayoritas penduduk negeri sakura masih tetap mempertahankan tradisi berdoa dan persembahyangan di kuil-kuil Shinto. Bagi masyarakat Jepang, Shinto lebih merupakan gaya hidup, bukan agama.*