IBNU Qayyim menyebutkan perbedaan antara memaafkan dan terhina. Menurutnya, memaafkan adalah menggugurkan hak karena kemurahan dan kebaikan hati ketika mampu melakukan pembalasan. Adapun terhina akibat tidak melakukan balas dendam karena memang tidak mampu melakukannya, baik disebabkan rasa takut atau jiwa yang hina. Sifat seperti ini adalah sifat yang tercela.
Barangkali orang yang melakukan balas dendam karena kebenaran lebih baik daripada orang yang tidak melakukan balas dendam karena tidak mampu melakukannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri.” (QS Asy-Syura: 39).
Allah memuji mereka karena mereka kuat untuk membela diri. Pada saat mereka kuat untuk membela diri dan mampu mengalahkan orang yang berbuat zalim terhadap mereka dan mengambil hak darinya, Allah menganjurkan mereka untuk mengambil akhlak yang terpuji, yakni memaafkan dan berlapang dada. Allah berfirman,
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS Asy-Syura: 40)
Allah menyebutkan tiga tingkatan akhlak, yakni adil yang Dia perbolehkan, keutamaan yang Dia anjurkan, dan kezaliman yang Dia haramkan.
Jika dikatakan, ‘Bagaimana Allah memuji orang yang mampu mengalahkan dan memaafkan, padahal keduanya berlawanan?”
Dikatakan, “Allah tidak memuji mereka untuk balas dendam dan menuntut hak secara sempurna. Allah hanya memuji mereka untuk mampu mengalahkan. Dengan kata lain, mereka memiliki kekuatan yang dapat mengalahkan orang yang menzalimi mereka. Tetapi, setelah itu Allah menganjurkan mereka untuk memaafkan saja.”
Jika mereka mampu balas dendam, pujian bagi mereka adalah jika memaafkan. Bukan memaafkan dalam keadaan hina dan tidak mampu balas dendam. Itulah kesempurnaan yang dengannya Allah memuji diri-Nya sendiri. Dia berfirman, “Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.” (QS An-Nisa: 99).
Oleh karena itu Isa a.s. berkata, seperti disebutkan Al-Qur’an,
“Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS Al-Maidah: 158).
Maksud dari ayat ini bahwa Allah mengampuni mereka, maka Dia mengampuni dengan perkasaan; kekuasaan yang sempurna. Sifat bijaksana (hikmah) adalah tanda kesempurnaan ilmu. Allah mengampuni setelah mengetahui tindakan yang dilakukan hamba-hamba-Nya “menggenggam” mereka.
Berbeda dengan makhluk biasa yang mengampuni karena tidak mampu membalas dan tidak mengetahui hakikat kejahatan yang dilakukan musuhnya. Ampunan dari makhluk secara lahir merupakan kehinaan dan secara batin merupakan kemuliaan, sedangkan pembalasan secara lahir merupakan kemuliaan dan secara batin merupakan kehinaan.
Allah selalu menambahkan kemuliaan kepada orang yang memaafkan. Setiap orang yang melakukan pembalasan akan hina, walaupun kehinaan itu tidak lain karena tidak tercapainya sifat kemuliaan memaafkan. Karena itu, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah melakukan pembalasan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri.” (QS Asy-Syura: 39).
Mereka memiliki kekuatan yang dapat mereka gunakan untuk membela diri dan mengalahkan orang-orang yang menzalimi mereka; bukan orang lain yang membuat mereka mampu membela diri atau mengalahkan musuh. Karena upaya mengalahkan musuh biasanya dilakukan tidak sesuai dengan batas keadilan—bahkan sering melampaui batas. Maka Allah memerintahkan agar mereka melakukannya secara seimbang, mengharamkan mereka untuk melebihi batas, dan menganjurkan mereka untuk memaafkan.
Maksudnya, sesungguhnya memaafkan adalah bagian dari akhlak jiwa yang tenang, sedangkan kehinaan adalah bagian dari akhlak jiwa yang selalu mengajak kepada kejahatan. Inti pemasalahannya, mengalahkan musuh harus didasari untuk membela Allah dan ikhlas karena-Nya. Orang yang mampu melakukan hal itu hanyalah orang yang telah terbebas dari kehinaan diri dan lepas dari budak nafsunya.
Rasulullah memaafkan orang-orang Quraisy, padahal mereka telah membunuh para sahabat beliau. Beliau juga memaafkan pembunuh Hamzah. Namun, di sisi lain beliau tidak memaafkan para pembunuh seorang pengembala unta.
Anas bin Malik r.a. meriwayatkan, “Sekolompok orang datang dari Ukal atau Urainah. Ketika sampai di kota Madinah, perut mereka kembung. Rasulullah lalu memerintahkan mereka agar meminum air kencing dan air susu unta. Mereka pun pergi mencari unta-unta yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah. Setelah sehat, mereka malah membunuh penggembala unta tersebut dan mencuri untanya. Pada tengah hari, berita mengenai perbuatan mereka diketahui Rasulullah. Beliau pun memerintahkan para sahabat untuk mengejar mereka.
Menjelang petang mereka dapat ditangkap dan didatangkan kepada beliau. Beliau lalu memberikan perintah agar tangan dan kaki mereka dipotong. Mata mereka dicolok dengan paku dan mereka dilemparkan ke tanah berbatu. Mereka meminta air minum namun tidak diberi minum.”
Abu Qilabah berkata, “Mereka telah mencuri, membunuh, mengingkari setelah beriman, serta memerangi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Beliau juga tidak memaafkan Abu Izzah al-Jamhi. Imam Syafi’i meriwayatkan, “Di antara orang yang dibebaskan oleh Rasulullah tanpa membayar tebusan adalah Abu Izzah al-Jamhi. Rasulullah membebaskannya karena melihat anak-anak perempuannya. Beliau memintanya agar berjanji untuk tidak memerangi beliau lagi. Akan tetapi, ia tidak memenuhi janjinya dan memerangi Rasulullah. Pada perang Uhud Rasulullah pun berdoa agar ia tidak selamat dalam peperangan. Ia pun menjadi satu-satunya tawanan dari orang-orang musyrik. Ia berkata, “Wahai Muhammad, bebaskanlah aku demi anak-anak perempuanku dan aku berjanji tidak akan memerangimu lagi.” Rasulullah bersabda, “Jangan kamu mengusap kedua pelipismu di Mekah lalu mengatakan bahwa kamu telah berhasil menipu Muhammad dua kali.”
Beliau memerintahkan agar dia dibunuh. Abu Sa’id bin Abu Amr lalu membunuhnya.*/Sudirman STAIL
Sumber buku: Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW. Penulis: Mahmud al-Mishri.