Hidayatullah.com—Kehadiran KH Abdullah Gymnastiar rupanya masih tetap menyedot perhatian jamaah. Sebagaimana terjadi hari Rabu, 8 Januari 2014 lalu di Jakarta.
Masjid Daarut Tauhiid (DT) di jalan Cipaku, Jakarta Selatan yang memasuki tahap akhir pembangunan itu, dipadati tidak kurang 500 orang jamaah.
Malam itu adalah kali pertama Kajian Tauhid digelar di sana.
Seperti diketahui, di Jakarta, dai yang lebih kondang dengan sebutan Aa Gym itu, hanya mengisi kajian ketauhidan secara rutin di Masjid Baitul Ihsan, Al Latief, dan Istiqlal.
Setelah tujuh tahun tidak banyak tersorot media massa, mulai 2013, namanya kembali muncul. Memasuki tahun 2014, manajemen DT mengagendakan kajian Aa Gym secara rutin setiap bulan.
Berlokasi di Cipaku, kajian ini akan berlangsung setiap Rabu malam pada minggu kedua.
Materi ketauhidan akan dibuat sistematis dengan modul yang bisa diperbanyak. Tujuannya hanya satu, supaya manusia lebih mengenal penciptanya.
“Saya merasa menjadi korban atas doa-doa saya,” kata seorang jamaah perempuan yang sedang mempertanyakan hubungan doa dengan pertolongan Allah
Menanggapi cerita tersebut, Aa tersenyum. Kemudian Ia menjelaskan bentuk kecintaan Allah. Jika lebih cermat, kejadian tidak mengenakkan merupakan cara Allah menarik seorang hamba menuju-Nya.
Proses penyucian jiwa ini diibaratkan Aa seperti seorang anak yang tengah dimandikan. Atas dasar kasih sayang, sang Ibu membersihkan buah hatinya dengan air. Jika terus meronta-ronta, maka prosesnya menjadi lebih lama. Lain halnya jika anak itu berserah diri. Tubuhnya akan lebih cepat bersih.
“Saya tujuh tahun “dimandiin” sama Allah supaya bersih dari dosa-dosa. Bahkan sampai sekarang, proses “mandi” itu terus berlangsung,”tutur Aa. Ia menyadari, pasca pemberitaan poligaminya, Ia terus berproses membersihkan jiwa.
Kajian ketauhidan itu mengajak jamaah mengenal Allah lebih dalam. Menurut Aa Gym, jika eksistensi Allah sudah dikenali, manusia akan memahami peta kehidupan. Tidak perlu takut rezeki tertukar.
“Kalau dipuji, kita ngerti bahwa Allah sedang menutupi aib kita. Kalau dihina, kita tahu bahwa hinaan itu baru sedikit dari kehinaan yang kita miliki,”ulasnya. Pola pikir semacam itu akan meringankan manusia bahwa tidak perlu ada dendam terhadap saudaranya.*