Oleh: Fatimah Yasin
SETELAH ketidakjelasan selama tiga tahun dan tersesat dalam politik Amerika, yang mengakibatkan perang yang menghancurkan rezim Saddam Hussein di Iraq, pada 2006 kongres Amerika menetapkan pembentukan komisi untuk mengamati situasi di Iraq, yang di dalamnya terdapat dua tokoh penting dari dua partai, Demokrat dan Republik.
Tokoh-tokoh tersebut adalah James Baker dan Lee Hamilton, sehingga komisi ini dikenal dengan nama Komisi Baker-Hamilton. Dalam laporan singkat komisi ini, menyototi pengaruh Iran di kawasan konflik Timur Tengah.
Laporan itu juga menyebutkan, bahwa pengaruh Iran tidak selalu menghalangi bersatunya Iran dan Iraq. Sama halnya dengan persatuan yang sudah terjalin antara Iran dan Afghanistan. Laporan Komisi Baker-Hamilton juga menyebutkan bahwa upaya untuk memperbaiki politik Iraq dengan Amerika telah gagal, sehingga memperkuat pengaruh Iran di Iraq, bahkan sampai pengaruh Iran lebih besar daripada Amerika itu sendiri.
Di sisi lain, Iran menyalahi aturan di kawasan Iraq, sampai menjadi ancaman yang membatasi pendistribusian minyak bumi dunia yang melewati perairan di kawasan tersebut. Tidak hanya yang melewati Teluk Arab saja, namun juga yang melalui selat Bab-el-Mandeb juga.
Pada saat itu Presiden Amerika, George Bush, belum menjalankan rekomendasi Komisi Baker-Hamilton bersama dengan Iran. Namun rekomendasi itu dilakukan setelahnya oleh Presiden Barack Obama. Hal ini membuat Amerika dianggap telah meraih kemenangan, yang berujung kepada periode kedua kepemimpinan Barack Hussein Obama.
Baca: Kelompok-Kelompok Teror Dukungan Iran Makin Memperburuk Timur Tengah
Amerika Serikat juga mungkin menganggap bahwa perjanjian nuklir adalah salah satu tindakan penyatuan yang sudah ditunjukkan oleh laporan Komisi Baker-Hamilton. Akan tetapi, efek samping dari perjanjian nuklir ini semakin bertambah dan didukung oleh gerakan Arab Spring (Musim Semi Arab).
Presiden berikutnya, Donald Trump, tidak peduli dan mengesampingkan situasi ini, dan ia menunjukkan giginya. Ia memutuskan untuk mengakhiri pengaruh Iran. Sehingga ia berjanji kepada para pendukungnya saat Pemilu untuk melakukan sesuatu terhadap dominasi Iran di Iraq.
Yang diinginkan oleh Trump dari keberhasilannya adalah mimpi manis yang isinya sama sekali tidak mengusik dan tidak membuat orang-orang Iran mundur, dan hanya melakukan operasi-operasi kecil di pantai-Pantai Teluk Arab.
Sepertinya Trump tidak berencana untuk mengubah kain sutra yang lembut menjadi strategi politik. Malah ia lebih dulu memprovokasi dengan keluar dari perundingan nuklir dan berakibat pada sejumlah tindakan penghukuman. Sehingga berujung pada penolakan Iran untuk menjual minyak buminya.
Tidak ada keinginan yang serius untuk mengganti rezim Syiah Iran. Amerika sudah tahu berapa besar anggaran untuk mengganti pemerintahan negara lain dengan cara yang dramatis. Seperti anggaran besar yang telah digunakan di Iraq.
Karena itu Donald Trump lebih menyukai untuk berperang menghabisi perekonomian lawan. Perang seperti ini lebih cepat dan berdampak lebih besar, dimulai dengan embargo ekonomi.
Dengan pendukung politik di Teluk Arab yang ia miliki, Trump juga ikut mempermainkan negara-negara yang bersaing memperebutkan pengaruh mereka di Iraq, selain menggunakan Israel untuk menyerang Iran di Suriah kira-kira sepekan sekali.
Sementara serangan-serangan sekutu Arab Saudi di Yaman, semuanya mengarah ke Iran.
Serangan itu dapat memusnahkan dominasi Iran yang sudah berjalan dan diperkuat oleh Iran. Donald Trump juga mensyaratkan penambahan alokasi dana dari anggaran yang besar dari para sekutu politiknya. Sampai tiba saatnya mereka semua tidak lagi sanggup membiayai Amerika Serikat.
Tidak ada jaminan kalau politik seperti ini dapat mengakhiri perang dengan cepat. Iran juga mempunyai keunggulan yang bisa membuatnya bergerak untuk menghindari gangguan yagn banyak dari Amerika dan sekutunya.
Iran mampu untuk meresepon dengan berulang kali mengancam. Komandan Pasukan Quds Iran, Jenderal Qasem Soleimani, membalas ucapan Trump di Twitter dengan berjalan-jalan di wilayah konflik.
Sebelumnya, Donald Trump dalam akun Twitternya mengatakan, ia bisa menghukum Iran dengan cara yang belum pernah ada dalam sejarah sebelumnya. Ucapan Trump ini menjadi konsumsi warga lokal untuk menolak kedatangan Trump dan Vladimir Putin yang dihujani kritikan pedas.
Jenderal Soleimani menjawab ucapan Trump, “Kami siap dan kami akan menunggu hukuman itu.”
Iran juga mempunyai hubungan yang baik dengan China dan India. Keduanya termasuk dalam kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).
Mereka semua ini, akan membantu Iran dalam menghadapi serangan politik dari Trump. Namun bukan berarti Iran tidak bisa bergerak dengan bebas. Hal ini justru berarti bahwa wilayah itu adalah kawasan konflik tersisa yang masih tidak stabil.
Kongres Amerika bisa saja mendukung janji politik Trump ini hingga menjadi sebuah komisi, seperti Komisi Baker-Hamilton. Mereka akan mengamati keadaan yang terjadi, atau menetapkan prosedur seperti yang diawali oleh Trump, agar dapat keluar dari situasi yang sulit dengan Iran yang tidak pernah berhenti untuk memperkuat dominasinya.
Sementara apa yang terjadi di Israel adalah situasi yang tidak bisa diselesaikan oleh Trump, demikian juga Putin tidak mampu menyelesaikannya. Itu adalah serangan telak dari pihak Iran, yang membiayai pangkalan-pangkalan militer di kawasan itu daripada hanya menyerang pangkalan-pangkalan militer, seperti yang terjadi saat ini.*
Artikel dimuat di laman shaam.org