Hidayatullah.com– Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, munculnya sebagian masyarakat yang memahami menafsirkan agama secara berlebihan, melahirkan orang yang kaku dalam urusan agama.
Satu pihak melahirkan kelompok ekstrem (konservatif) di sisi lain melahirkan kelompok liberalis. Karena itu, di era disrupsi informasi ini, diperlukan moderasi dalam beragama.
“Dinamika kehidupan kita yang sangat mobile, terus berubah, bertambah dan bergerak dari satu fase ke fase berikutnya. Terjadi kompleksitas dan kompetisi hidup yang luar biasa. Karena itu, cara memahami agama dan beragama juga akan mengalami perubahan,” ujarnya dalam seminar nasional bertema “Peran Ulama Menghadapi Era Disrupsi Informasi” dalam Rapat Koordinasi Nansional (Rakornas) Bidang Informasi dan Komunikasi – Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Rabu (16/07/2019).
Munculnya penafsiran agama yang berlebihan, kaku dan tekstual –baik yang konservatif maupun yang liberalis– pada akhirnya menjadi ancaman terhadap kedamaian dan kerukunan dalam masyarakat agama.
“Karena itu perlu pendekatan dakwah bil hikmah, yang merangkul, menyelamatkan, bukan sama sekali memerangi/memusuhinya,” katanya.
Baca: Islam di Indonesia Jadi Inspirasi Toleransi Beragama bagi Jerman
Karena itulah, menurutnya, moderasi beragama diperlukan agar pemahaman beragama tidak menjadi ancaman terhadap kedamaian dan kerukunan dalam masyarakat.
Menurut Kemenag, dalam konteks masyarakat global (era distrupsi informasi), agama harus dapat diletakkan dalam kedudukan dan fungsinya yang benar, ditafsirkan dan dipahami sesuai dengan dinamika kontekstual.
“Sebab pada dasarnya, setiap kita (masyarakat beragama) senantiasa berhadapan dengan konteks kehidupan yang masing-masing berbeda. Dan agama menjadi panduan dalam menghadapi semua konteks dan perbedaan itu,” ujarnya.
Menurut Menag, pokok ajaran Islam adalah memanusiakan manusia dan penebaran misi Rahmatan lil`alamin. Jika ada yang mengatasnamakan agama dan justru merusak eksistensi kemanusiaan, maka itulah sikap keagaman yang berlebihan (ekstrem).
Meski demikian, dia meminta agar gagasan moderasi beragama tidak disalahpahami. Menurutnya, moderasi beragama adalah cara kita beragama dan cara berislam yang harus diubah. Bukan Islam-nya yang diubah.
“Islam pasti sempurna ajarannya, tetapi cara kita memahami, memahami dan mengamalkan ajaran Islam, boleh jadi kita tergelincir pada tathorruf (sikap berlebihan),” ujarnya.
Bagaimanapun dalam gagasan moderasi beragama agar kita tidak berlebih-lebihan, bisa bersikap adil, washatiyyah, tidak condong ke salah satunya.
Menurut Lukman, moderasi beragama adalah kebijakan yang berlaku bagi semua umat beragama, bukan hanya Islam. Sebab potensi radikal-ekstrem ada pada semua umat beragama.*