Hidayatullah.com– Indonesia meminta para pakar falak negara anggota Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) untuk memiliki kesepakatan metode melihat hilal terkait penentuan awal bulan Hijriyah.
Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, semangat membangun konsensus perlu dibangun. Hal ini disampaikannya dalam acara Pertemuan Pakar Falak Negara Anggota MABIMS di Yogyakarta, Rabu, yang berlangsung sejak Selasa hingga Kamis (08-10/10/2019).
“Perlu membangun konsensus yang sarat kearifan menyikapi keragaman,” ujarnya menandaskan.
Menag mengatakan, di Indonesia, pemerintah melaksanakan kewajibannya dalam penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan sebagainya melalui sidang isbat meski tidak mengikat.
Penentuan melalui sidang isbat dinilai cukup penting agar ada kepastian perayaan Idul Fitri. “Menentukan Idul Fitri sama halnya menentukan banyak hal kompleks seperti terkait hari libur nasional, arus mudik, libur ASN dan sebagainya,” tambahnya.
Menurut Menag, selama ini masih ada perbedaan metode dalam penentuan awal bulan Hijriyyah seperti ru’yatul hilal dan wujudul hilal. Ada pula yang berupaya menggabungkan keduanya dengan imkanur-ru’yah.
Menurutnya, perbedaan metode tersebut menghasilkan perbedaan hasil penentuan awal bulan. Sehingga, ada kalanya umat Islam memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan secara tidak bersamaan.
Menag meminta para anggota MABIMS memiliki pedoman bersama dalam penentuan hilal agar kemaslahatan umat bisa terbangun.
Menag juga menilai, penerapan ilmu falak menjadi hal yang penting, sebab terkait dengan penunaian ibadah umat Islam. Seperti penentuan waktu shalat, puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha.
“Sehingga kemaslahatan atau kebermanfaatan dari ilmu falak harus betul-betul mampu mengejawantah dalam rangka kita bisa menunaikan kewajiban keagamaan kita serta hubungan kita di antara masyarakat,” ujarnya.
Baca: 70 Pakar Falak Negeri Jiran Bahas Visibilitas Hilal di Indonesia
Sementara itu, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) Islam Kemenag Muhammadiyah Amin mengatakan, pertemuan tersebut mempunya dua dimensi, yaitu dimensi syariah dan dimensi astronomi.
Ia menjelaskan, dimensi syariah menunjuk pada suatu ibadah, yang merujuk Al-Qur’an, hadits, dan ijtihad ulama. “Sementara dimensi astronomi merujuk pada ilmu pengetahuan astronomi itu sendiri,” sebutnya.
Acara serupa katanya pernah dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 2016 di Malaysia, 2017 di Jakarta, dan 2018 di Bali. Pada pertemuan di Indonesia kali ini, tema yang diangkat “Perkembangan Visibilitas Hilal Dalam Persfektif Sains dan Fikih”.
Peserta pertemuan itu berasal dari Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Singapura terdiri dari akademisi dan pakar ilmu falak yang berasal dari ormas Islam, BMKG, LAPAN, Bosscha ITB, dan planetarium Jakarta serta Asosiasi Dosen Falak UIN. Hadir pula jajaran Kepala Kankemenag Kabupaten/Kota se-DIY.* SKR/berbagai sumber