Oleh: Akbar Muzakki
Hidayatullah.com | Dunia pendidikan di Indonesia kini memasuki masa pelik. Bukan saja karena masa pandemik yang tak kunjung usai. Tetapi tingkah polah pembelajaran dan proses belajar mengalami pergeseran. Pergeseran model belajar, alat belajar hingga karakter belajar. Dan pembentukan sikap anak menjadi beradab pun mengalami perubahan mendasar.
Dalam perspektif pendidikan di Indonesia sebagaimana dalam UU Sisdiknas, pembentukan konsep belajar dan karakter belajar bertumpu pada iman dan takwa. Lebih tegas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Di awal tujuan pendidikan tegas disebutkan agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa. Lanjut berakhlak mulia, sehat dan berilmu. Pertanyaannya sekarang, apakah dalam proses belajar mengajar di sekolah sudah mendapatkan penekanan beriman, bertakwa, berakhlak dan berilmu. Nyaris yang terjadi adalah peningkatan prestasi akademik. Entri poin dari penilaian utama dan pertama bukan di iman dan takwa.
Dalam perspektif dunia pendidikan Islam. Justru menghargai nilai-nilai kejujuran, kebersihan, keberanian, kerja keras yang menjadi poin utama. Hal ini bisa dibuktikan dan diteladankan Rasulullah ﷺ dalam sikap kediriannya hingga mendapat sebutan dan julukan al-Amin.
Sifat jujur, pengasih, kemanusiaan dan keadilan menjadi pembelajaran yang mulia. Dan sifat pendidikan semacam ini sesungguhnya bersifat universal yang selalu diajarkan dan didikan para orangtua.
Pendidikan berbasis adab dan akhlak
Seorang muslim diajarkan jujur, bukan karena kemanfaatan sifat jujur semata, tetapi karena jujur itu perintah Allah. Meski Islam juga mengecualikan beberapa kondisi untuk memperbolehkan sesorang untuk tidak jujur. Sifatnya kondisional dan tetap mengedepankan iman dan takwa sebagai landasan untuk mengatakan tidak jujur.
Belum lama ini muncul gagasan pendidikan karakter di Indonesia. Hal ini bisa dimaklumi, sebab selama ini hasil proses pendidikan tak mampu berbekas pada tujuan pendidikan nasional. Lebih lagi perilaku anak-anak didik tak bisa menyertakan kualitas pendidikan yang beradab.
Banyak orang tidak memahami antara istilah karakter dan adab memiliki makna berbeda. Dari kata saja sudah berbeda. Asak kata karakter dari bahasa Yunani, charassein, artinya mengukir. (Karen E. Bohlin, Deborah Farmer, Kevin Ryan dalam Building Character in School Resource Guide).
Kata akhlak merupakan jama’ dari kata khuluqun. Yang secara bahasa berarti perangai, tingkah laku, tabiat, budi pekerti, moral, tata krama, sopan santun, tindakan. Turunnan kata akhlak adalah khalaqa, khaliq, dan makhluq. Kata akhlak banyak kita temukan dalam hadits dan Al-Quran.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Bukhari).
Menurut Prof Dr Sayyed Muhamad Naquib al-Attas, untuk pendidikan Islam yang tepat menggunakan ta’dib. ‘Ta’dib’, dan ‘adab’ berasal dari kata ‘adaba’. Adab memiliki arti; kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti, menempatkan sesuatu pada tempatnya, jamuan dan lain-lain. “Sesungguhnya Kitab Suci al-Qur’an ini adalah jamuan (ma’dabah) Allah di bumi, maka lalu belajarlah dengan sepenuhnya dari jamuan-Nya.” (HR: Ibn Mas’ud).
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ.
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji dan kotor.” [HR: AT Tirmidzi dan Ibnu Hibban]
Adab, Iman dan Ilmu
Kembali pada pendidikan anak. Sejak kecil anak-anak kita diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu hanya sebatas pengetahuan di atas kertas dan hanya dihafal untuk mendapatkan nilai akademik. Bukan dihunjamkan pada hati dan perilaku keseharian agar mereka mendapatkan keadaban dalam hidup sehari-hari.
Seringkali lupa bahkan mungkin dilupakan bahwa pendikan adab atau karakter itu letaknya pada kepribadan bukan di pengajaran di depan kelas untuk sekadar dicatat di buku.
Seperti dikutip dalam buku berjudul Pribadi, karya Buya HAMKA dalam memberikan gambaran sosok manusia yang pandai tapi tak memiliki kepribadian unggul. “Banyak guru, dokter, hakim, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ‘mati’, sebab dia bukan seorang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan diri sendiri, diplomanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mempunyai cita-cita. Pribadinya tidak kuat.”
Pendiri NU, KH Hasyim Asyari menulis dalam kitab Adabul Alim wal-Muta’alim. Beliau mengatakan, pendidikan itu berpaku pada tauhid. Barangsiapa tidak beriman maka dia tidak bertauhid. Iman mewajibkan syariat, syariat mewajibkan adanya adab; maka barang siapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tidak syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.
Jadi begitu pentingnya adab. Karena adab terkait dengan keimanan. Nah, pendidikan di Indonesia belum bisa menyatukan iman, adab, dan ilmu. Karena konsekuensi iman sesungguhnya meninggikan adab. Utuhnya iman dan adab akan melahirkan keunggulan ilmu dan orang yang belajar ilmu. Karena konsekuensi orang berilmu adalah beramal yang disandarkan pada iman. Perolehannya adalah kesholehan sosial. Bukan lagi keunggulan pribadi dan individualisme.
Islam dan umat Islam sangat mninggikan orang ilmu (ahli ilmu). Karena konsekuensi hidupnya orang berilmu itu kembali ke dalam ketakwaan dirinya.
Dalam kitab Bidayatul Hidayah, karya Imam al-Ghazali mengingatkan, orang yang mencari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuantungan duniawi dan pujian sama saja dengan menghancurkan agama. KH Hasyim Asyari dalam kitab Adabulwal-Muta’alim, mengutip hadits Rasulullah ﷺ, “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di Neraka.”
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam bukunya al-Ilmu, mengutip ungkapan Abu Darda’ RA yang menyatakan, “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan merupakan jihad, sesungguhnya ia kurang akalnya.” Dan Abu Hatim bin Hibban pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa masuk ke masjidku ini untuk belajar kebaikan atau untuk mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah.”
Begitu tingginya spirit Islam dalam memotivasi kelompok pembelajar, baik pendidik maupun peserta didik mendapatkan keutamaan dan sandaraan syariat yang tinggi.
يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ
“Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS: al-Mujadilah: 11).
Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam dalam menempatkan ahli ilmu dan penuntut ilmu. Maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat.*
Penulis seorang wartawan