Hidayatullah.com—Pertempuran sengit antara dua musuh bebuyutan di Kaukasus Selatan akhirnya pecah pada hari Ahad, (29/9/2020). Setidaknya 24 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ratusan alutsista dari kedua pihak juga hancur.
Azerbaijan menuduh Armenia melanggar kesepakatan gencatan senjata dengan menembakkan alteri yang menargetkan pemukiman sipil dan pos militer ke Azerbaijan.
Menanggapi serangan Armenia, Azerbaijan mengumumkan darurat perang di beberapa wilayahnya. Parlemen Azerbaijan pada hari Ahad, (29/9/2020) menetapkan status darurat perang dalam rapat luar biasa Majelis Nasional.
Sebaliknya, Armenia pun menuduh Azerbaijan menyerang permukiman sipil di Nagorno-Karabakh. Azerbaijan menyangkal dan mengatakan itu adalah serangan balasan. Nagorno-Karabakh sendiri adalah wilayah diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan tetapi dikendalikan oleh pasukan Armenia, termasuk kota utama Stepanakert.
Kementerian pertahanan Armenia mengatakan pasukannya telah menjatuhkan dua helikopter dan tiga pesawat tak berawak Azerbaijan. Sebaliknya pemerintah Azerbaijan merilis video serangan pesawat tanpa awak terhadap pos-pos penting dan kendaraan militer Armenia.
Azerbaijan juga mengumumkan bahwa telah berhasil merebut kembali 7 desa di daerah Fuzuli dan Jabrayil, di sekitar wilayah Nagorno-Karabakh.
Azerbaijan dan Armenia telah sama-sama menyatakan status darurat perang dan memobilisasi tentaranya ke wilayah Nagorno-Karabakh. Kekuatan penuh kedua negara meningkat di wilayah tersebut.
Nagorno-Karabakh
Wilayah Nagorno-Karabakh adalah daerah pegunungan dan hutan lebat, berada di jantung konflik bersenjata selama puluhan tahun antara Armenia dan Azerbaijan.
Di bawah hukum internasional, Nagorno-Karabakh diakui sebagai bagian dari Azerbaijan. Tetapi etnis Armenia yang menolak pemerintahan Azerbaijan telah mengendalikan wilayah itu sendiri dengan dukungan dari pasukan Armenia, Azerbaijan berhasil didorong keluar dalam perang pada tahun 1990-an.
Nagorno-Karabakh yang terletak di bagian selatan Kaukasus, tepatnya 270 km sebelah barat Baku, ibu kota Azerbaijan. Wilayah ini dihuni oleh mayoritas etnik Armenia, dan dikuasai oleh militer Armenia.
Penduduk etnik Armenia setempat pernah memproklamasikan kemerdekaan Republik Nagorno-Karabakh dari Azerbaijan pada 10 Desember 1991, tetapi kedaulatan republik tersebut tidak diakui oleh dunia internasional dan wilayah tersebut secara de jure dianggap sebagai bagian dari Azerbaijan.
Status wilayah tersebut telah diperdebatkan setidaknya sejak 1918, ketika Armenia dan Azerbaijan merdeka dari kekaisaran Rusia. Sebelum tahun itu wilayah ini pernah dikuasai oleh Dinasti Shafawiyah dan Kesultanan Turki Utsmani di beberapa sisinya.
Pada awal 1920-an, pemerintahan Soviet menetapkan Kaukasus selatan dan Nagorno-Karabakh yang berpenduduk mayoritas Armenia menjadi wilayah otonom di dalam republik Azerbaijan saat itu.
Saat Uni Soviet mulai lemah dan akan runtuh, Nagorno-Karabakh berada di bawah pemerintahan langsung pemerintah Azerbaijan Soviet. Etnis Armenia tidak menerima itu.
Pada tahun 1988, badan legislatif Nagorno-Karabakh memilih untuk bergabung dengan republik Armenia, sebuah tuntutan yang ditentang keras oleh pemerintah Azerbaijan Soviet dan Uni Soviet yang beribukota di Moskow.
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, separatis etnik Armenia di Nagorno-Karabakh yang didukung pasukan Armenia berhasil merebut wilayah itu dan tujuh distrik Azerbaijan yang berdekatan.
Sedikitnya 30.000 orang tewas dan ratusan ribu lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka dalam pertempuran itu.
Meskipun gencatan senjata yang ditengahi secara internasional telah disepakati pada tahun 1994, negosiasi perdamaian terhenti dan bentrokan sering terjadi di sekitar Nagorno-Karabakh dan di sepanjang perbatasan Azerbaijan-Armenia.
Pada April 2016, puluhan orang dari kedua belah pihak tewas dalam pertempuran paling serius di Nagorno-Karabakh selama bertahun-tahun.
Bentrokan terbaru pada hari Minggu juga menyebabkan korban jiwa dari kedua belah pihak, termasuk warga sipil.
Konflik berkepanjangan telah mengkhawatirkan komunitas internasional sebagian karena ancamannya terhadap stabilitas di kawasan yang berfungsi sebagai koridor jalur pipa yang membawa minyak dan gas ke pasar dunia.* Munawwar