Hidayatullah.com | BAGI masyarakat umum, potongan-potongan besi mungkin tidaklah begitu berarti. Namun bagi Slamet Oetoyo, potongan-potongan besi itu sangatlah spesial karena menjadi “pintu rezeki” bagi keluarga dan karyawannya.
Oetoyo, panggilan akrabnya, berhasil membangun bisnis dari potongan-potongan besi. Ia sukses membesarkan usahanya yang dirintis mulai dari nol. Bermula dari bengkel rumahan, kini telah menjadi industri besar dengan ratusan karyawan dan omset ratusan miliyar rupiah per tahun. Nama perusahaannya adalah PT. Refindo Inti Selaras—biasa disebut Refindo.
Lewat Refindo, Oetoyo juga berhasil menciptakan local brand yang diakui, baik skala nasional maupun Internasional. Bahkan mampu bersaing dengan brand dari luar negeri.
Berkah prestasinya itu, Refindo memperoleh Piagam Aditama pada Penghargaan Kategori Pengembangan Produk Lokal di bidang Pengelolaan Jasa Pertambangan Mineral dan Batu Bara (2018) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM).
Menariknya, kala merintis Refindo, Oetoyo hampir menutup usahanya itu karena selama 2 bulan berturut-turut tidak mendapatkan orderan sama sekali. Wal-hasil, tak ada pemasukan sepeser pun. Tak pelak pria kelahiran Banyuwangi 13 Oktober 1958 ini harus menjual mobil demi bisa menggaji karyawannya.
Di tengah krisis keuangan serta terpuruknya perusahaan, Oetoyo mengumpulkan karyawannya. Bagian produksi sejumlah 8 orang. Sisanya karyawan keuangan dan administrasi. Ia ingin mendengar pendapat semua karyawan apakah Refindo tetap dilanjutkan atau ditutup sebab tak beroperasi, bahkan tak mampu membayar gaji.
Tanggapan karyawan di luar dugaan. Justru mereka tetap ingin bekerja, meskipun tidak dibayar sementara. Mereka bersedia tak menerima gaji dulu hingga Refindo kembali mendapat orderan baru. Hingga akhirnya Oetoyo menemukan satu solusi jitu yang ternyata mengantarkan dirinya pada kesuksesan seperti saat ini. Apa itu?
Ibadah dalam Bekerja
Lima belas menit sebelum adzan berkumandang, seluruh aktivitas kerja di Refindo maupun PT. Nitama—nama perusahaan Oetoyo lainnya—wajib berhenti. Ditandai dengan bunyi bel panjang, maka seluruh karyawan harus menghentikan kegiatan, tanpa terkecuali apakah itu pegawai biasa atau pimpinan.
Putra dari pasangan Nawawi Moch Hadi dengan Muawanah ini menginstruksikan kepada semua karyawan agar shalat fardhu tepat waktu dan berjamaah di Masjid Zubarul Hadiid yang dibangun di atas kantor perusahaan.
Hal itu pula yang Oetoyo lakukan ketika perusahaannya 2 bulan berurut-turut sama sekali tidak mendapat orderan. Bersama karyawannya, ia pun mengubah kebiasaan hidup dan berikhtiar untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Waktu itu, ia mengajak seluruh karyawannya untuk melakukan perubahan spiritual secara maksimal.
“Solusi itu inspirasi dari al-Qur’an,” ungkap suami dari Nurul Aini ini kepada Suara Hidayatullah, awal September lalu.
Pertama, surat ar-Rad ayat 11 yang artinya, “Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan diri sendiri.” Kedua, surat at-Thalaq ayat 2-3, “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah SWT, maka niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah tak disangka-sangka.”
Selain shalat wajib, ia juga mengajak seluruh karyawannya mengerjakan ibadah sunnah seperti shalat Dhuha, memperbanyak zikir, dan membaca al-Qur’an. Juga menyisihkan sebagian rezeki untuk sedekah. Ia pun memberikan teladan, seperti memberangkat karyawan haji dan umrah, membangun masjid, mendirikan rumah masa kini serta “rumah masa depan” bagi karyawan, dan sebagaianya.
“Alhamdulillah, dua bulan sempat kosong (orderan), akhirnya sedikit demi sedikit ada orderan lagi dan lama-lama menjadi banyak hingga bisa mengkontrak tempat (workshop) yang lebih luas. Bahkan, eksis sampai sekarang,” terang ayah dari tiga anak ini: Ressa Alfian Nizar, Finsa Almira Tania, dan Talia Alfirna Maulida.
Marketing dan Relasi
Tekad Oetoyo jadi entrepreneurship sudah menggebu. Kenekatan berpetualang di dunia tambang bawah tanah pun tak bisa dibendung lagi, selepas ia resign dari PT INKA (1986-1996) dan berhenti menjadi juragan pucuk tebu (1997-1998).
Tepat, 8 Agustus 1999 silam, Oetoyo mendirikan Refindo. Awalnya, dalam bentuk Commanditare Vennootschap (CV). Lalu, 2008 diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT), karena jumlah orderan perusahaan yang konsennya di bidang pertambangan bawah tanah ini terus menanjak tajam.
Pendirian Refindo, modalnya diperoleh dari patungan 3 orang yaitu Oetomo, lalu Soetomo—sahabat, guru, dan mitra kerjanya, serta Supriatno—teman Soetomo.
Lulusan D3 Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini mengaku, telah membangun tiga hubungan untuk mengenalkan produk Refindo.
Pertama, hubungan vertikal ke atas. Ia bangun lewat binaan dengan KESDM yang menjembatani hubungan Refindo dengan berbagai perusahaan tambang. Tentu, itu bukanlah pekerjaan instan. Butuh kepercayaan, bukti, serta kapabilitas untuk meyakinkan. Oetoyo mampu melakukan itu semua karena telah berpengalaman.
Sejak kuliah, karena kebutuhan serta keterbatasan, akhirnya mendorong Oetoyo untuk memenuhi biaya hidup sendiri. Dari sini jiwa marketingnya mulai terbangun. Ia ditempa langsung oleh pengalaman-pengalaman yang sangat berharga, hingga membuatnya memiliki banyak relasi atau jaringan bisnis.
Kedua, horizontal yakni hubungan sesama perusahaan mitra. Kini Refindo punya sekitar 50 mitra kerja, di antaranya Krakatau Steel, beberapa sekolah kerujuan di Karesidenan Madiun, ITS Surabaya, pemerintah kota dan kabupaten Madiun, dan seterusnya.
Terakhir, hubungan vertikal ke bawah. Oetoyo menjadikan karyawannya sebagai “keluarga”. Pendekatan dengan karyawannya pun dilakukan secara kekeluargaan, menanamkan sifat profesional berlandaskan ketertundukan dan ketaatan kepada Allah SWT. Bahkan ia tidak segan untuk duduk dan makan bersama karyawannya.
“Dengan begitu, diharapkan muncul dalam diri karyawan perasaan saling memiliki perusahaan,” terang lulusan STM Banyuwangi yang hobinya mengutak-atik mesin ini.*