SEORANG lajang bersikap boros belakangan ini, di saat paceklik keuangan sedang menerpanya. Abdul Mannan Hajar, pria yang sedang menuntut ilmu di Yaman ini ikut kena imbas kenaikan kurs dolar. Apalagi, musim dingin tengah melanda negeri Presiden Abdrabuh Mansur Hadi tersebut.
Mannan, sapaan Warga Negara Indonesia (WNI) itu, benar-benar semakin boros. Ditambah lagi kebutuhannya melonjak, termasuk pengadaan jaket yang lebih tebal. Padahal, nilai tabungannya banyak menguap belakangan ini. “Belanja dikurangi,” ujarnya.
Lantas apanya yang boros? Rupanya dia sedang boros-borosnya meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ini salah satu caranya menghadapi imbas turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Dia “kehilangan” uang di tabungan hampir setengahnya.
“Saya pribadi yah lebih irit aja (belanja), dan boros dalam berdoa. Adapun kalau mau belanja yah yang second-second aja,” ujar mahasiswa Universitas Yemenia jurusan Dirosah Islamiyah ini kepada Hidayatullah.com di Depok, Jawa Barat via obrolan jejaring sosial beberapa waktu lalu.
Berkurangnya simpanan rupiah juga dirasakan WNI lainnya, Abdul Rasyid, 22 tahun. Mahasiswa Universitas al-Iman, Sana’a, Yaman ini, mengaku cukup kewalahan mengatur keuangannya. Apalagi, dia hidup bersama seorang istri dan dua balitanya. Berbagai cara pun dia lakukan agar tetap bertahan.
“Jujur aja ana (saya. Red) selama dolar naik sudah jual banyak barang. Handphone, emas perhiasan punya istri udah dijual, tinggal cincin nikah aja yang sisa,” aku suami Rifkah Afifah Musaddad, 20 tahun, ini.
Bisnis Terkendala Bea Cukai
Menjual berbagai barang tersebut diakui Rasyid karena keterpaksaan. Selain itu, cara lain juga dia tempuh guna membiayai kehidupan keluarganya. Rasyid yang belum lama ini kehilangan Nizar, anak pertamanya, di Balikpapan, Kalimantan Timur, tengah menjalin kerjasama bisnis dengan kakaknya di kota itu.
“Selama ini sih ana selalu dikirimi uang dari rumah, dari Kak Ahmad, karena ana kerja sama dia. Ana juga taruh modal di tokonya, jadi dia jualan dan tiap bulan ngirim (duit). Selama ini ngirim-nya Rp 2 juta per bulan. Di luar yang tidak terduga seperti kalau sakit, melahirkan, atau ada kebutuhan belajar seperti kitab, dan lain-lain. Kalau dibilang cukup sih nggak juga, (malah) kurang,” tutur WNI yang sudah menetap di Yaman sejak 2009 ini.
Keuangan Rasyid semakin seret ketika kurs dolar naik. Selain kebutuhan dia dan istrinya, yang paling menuntut adalah kebutuhan dua anak kembarnya, Ahmad Farid Abdul Rasyid dan Muhammad Faris Abdul Rasyid, masing-masing 1,5 tahun. Yang paling mendesak bagi si kembar itu adalah pampers dan susu.
“Dua barang itu makin terasa nyekik setelah dolar naik. Kalau normal, Rp 2 juta bisa dapat USD 200 lebih dikit. Sekarang cuma dapat USD 150 lebih dikit. Susu itu harganya kalau dikurskan USD 25 sekaleng. Sekaleng cuma bertahan kurang dari seminggu karena berdua kan minumnya. Berarti ana beli susu minimal 4 kali sebulan, udah USD 100. Belum yang lain-lainnya seperti sabun sampo, pulsa,” ungkapnya kepada Hidayatullah.com dalam kesempatan terpisah.
Saking mencekiknya situasi tersebut, Rasyid berencana memulangkan keluarganya ke Tanah Air jika kurs dolar terus naik. Namun, baginya itu pilihan terakhir kalau sudah tak ada lagi barang-barang yang bisa dia jual.
“Juga tahun ini ana gak mengurus beasiswa jadi harus berpikir keras untuk ke depannya,” imbuhnya.
Rasyid berkeinginan menjalankan bisnis di Yaman. Namun, dia belum menemukan model bisnis yang tepat di negeri Saba tersebut, yang tidak mengganggu waktu belajarnya. Mahasiswa Jurusan Syariah ini sempat mencoba bisnis madu yang dibelinya di Yaman lalu dijual di Indonesia. Namun hanya sesekali saat pulang kampung, itu pun sedikit, sebisanya tangan membawa.
“Sebenarnya bagus tuh kalau jual madu. Tapi ternyata ngirim ke Indonesia-nya yang gak semudah dibayangkan, khususnya melewati bagian bea cukai di Indonesia. Teman pernah tuh madunya entah berapa kilogram dikirim ke Jakarta lewat kargo kapal. Eh, dibalikin lagi ke Yaman, plus kena denda. Punya teman ana senilai Rp 50 juta madunya, jadi terhitung diperdagangkan,” ungkapnya.
Penjual Tempe Cadangan
Berbeda dengan Rasyid, Muhammad Fathan Al-Muhaffidz beruntung bisa menjalankan bisnis di Yaman. Fathan, panggilan akrab mahasiswa Universitas Yemenia, Sana’a ini tengah semangat-semangatnya berjualan tempe, makanan khas Indonesia. Kepada Hidayatullah.com dia menuturkan, bisnis tempenya dimulai sejak bulan Dzulhijjah 1434 H kemarin.
“Sebelumnya saya belum pernah tahu tentang bagaimana cara membuat tempe. Ada kawan saya di sini sebutlah si Fulan, dia mahir membuat tempe dan menjualnya. Dia menjual dua minggu sekali di KBRI Yaman dan di hari besar, contohnya Hari Lebaran atau ketika ada acara besar WNI di KBRI seperti 17 Agustus, dan lain-lain. Ketika itu kawan saya hendak naik haji. Sejak itu saya mulai menggombal untuk minta diajarin membuat tempe, karena kalau dia haji maka tidak ada yang jualan tempe sampai dia balik haji,” tuturnya.
Setelah ada kesepakatan bisnis dengan Fulan, Fathan bertindak sebagai penjual tempe cadangan dengan waktu dan tempat jualan sama. Setelah Fulan kembali dari berhaji, rupanya Fathan masih diberi kesempatan sebagai penjual cadangan.
“Tapi minggu ini ana gak jualan, dia lagi, dengan alasan dia sudah mau pulang ke Indonesia karena sudah selesai S1 di (Universitas) al-Iman. Awal Januari (2014) Insya Allah dia pulang. Terakhir kalinya dia buat tempe di Yaman, katanya gitu. Ya gak papalah, ana juga minggu ini mau ujian mid semester,” tutur Fathan pada Ahad, 26 Shafar 1435 H (29/12/2013) lalu.
Fathan mengaku, hasil dari jualannya tersebut bisa mencukupi kebutuhan hidupnya selama di Yaman. Bisnis ini pun dia tidak mengganggu proses belajarnya, justru sangat pendukung. Mahasiswa semester 1 jurusan Dirosah Islamiyah ini ke depannya akan tetap melanjutkan bisnis tempenya.
“Setiap jualan paling sedikit 40 potong tempe, paling banyak 60 potong. Harga tempe per potong 300 real Yaman. Kalau ada yang nawar biasa juga jual 250 real Yaman, tuh sudah paling murah. Keuntungan (kotor) paling sedikit dapat 7000 real Yaman. Kalau lagi banyak tempenya dan banyak yang beli, biasa sampai 12.000 real Yaman untungnya. (Dari keuntungannya) saya lagi menabung di Bank Saba namanya, ingin berhaji tahun depan, Insya Allah, dan biasa juga ana pakai untuk kebutuhan lain,” kisah pemuda berdarah Makassar yang sudah ditinggal wafat ibu kandungnya ini.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Belum Seberapa Dibanding Suriah
Di tengah situasi di atas, Mannan menyayangkan sikap Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yaman. Menurutnya, KBRI belum begitu aktif memperhatikan WNI, khususnya para mahasiswa di sana.
“Jangan malah mempersulit urusan registrasi di KBRI, apalagi sampai harus memungut bayaran. Soalnya kami di sini mau belajar, bukan bisnis,” pintanya menitip pesan kepada Hidayatullah.com.
Sementara Rasyid, saat ditanya sikap kedutaan mengaku tidak terlalu memperhatikan. Namun dia menguatkan ungkapan Mannan, bahwa saat ini ada peraturan yang mencolok saat mengurus keperluan di KBRI.
“Setiap berkas atau satu kertas dikenai biaya USD 15, padahal sebelumnya gratis aja tuh. Pas dolar naik malah ada peraturan begitu, makin memberatkan aja rasanya,” ungkap putra ketiga dari (almarhum) Muhammad Arif Sukarmaini dan Sulastri ini.
Walau demikian, alumnus Madrasah Aliyah Raadhiyatan Mardhiyyah Putra Balikpapan ini tak terlalu berharap kepada KBRI. Justru dia mengkhawatirkan banyaknya masalah di Tanah Air, berdasarkan berita-berita di media massa yang diikuti.
Dia meyakini, situasi yang dialami para WNI di Yaman belum seberapa. Selama ini dia mengaku memperoleh hikmah dari Allah, misalnya masih diberi kesehatan dan kesempatan belajar, juga lebih bertanggung berjawab atas keluarga.
“Belum seberapa ujian ini dibandingkan saudara-saudara di Suriah. Kalau ingat mereka, langsung terasa banget kalau ternyata masih banyak nikmat yang diberikan (Allah). Jadi lebih tertantang dan gak merasa nyaman terus. Jadi lebih irit tentunya, lebih kencang doanya sekarang. Jadi ingat Hadits Nabi riwayat Imam Bukhari, ‘Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan, akan diuji.’ Sisi positifnya (lagi), dolar naik, berat badan ana turun, hehe…” pungkasnya.*