Oleh: Ahmad Rifa’i
Hidayatullah.com | Baik buruknya seseorang bisa dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu di antaranya adalah teman.
عن أبي هريرةرضي الله عنه أن النبي ﷺ قال: الرجل على دين خليله، فلينظر أحدكم من يخالل، رواه أبو داود والترمذي.
Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, “Seseorang itu menurut agama teman dekatnya, maka hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (Riwayat Abu Daud dan at-Tirmidzi).
Teman yang baik bisa menjadi sebab seorang menjadi baik. Sedangkan teman yang buruk bisa menjerumuskan dalam keburukan. Nabi mengibaratkan teman yang baik seperti penjual minyak wangi, dan teman yang buruk seperti pandai besi.
Atas dasar itu, memilih teman termasuk perkara yang penting. Perlu kehati-hatian dan juga panduan, sebab keberadaannya bisa mempengaruhi praktik beragama kita.
Keliru memilih sahabat bisa menjadi cikal bakal rusaknya agama. Rusaknya agama juga otomatis mensuramkan masa depan kita di akhirat.
Hati-Hati Berteman
Hadits di atas adalah berita yang mengandung peringatan. Peringatan agar berhati-hati dalam mencari sahabat. Baik buruknya pengamalan agama sangat dipengaruhi oleh teman atau orang dekat.
Lafaz ar-rajul dalam Hadits di atas maksudnya manusia secara umum. Sedangkan ‘ala dini khalilihi adalah di atas kebiasaan dan jalan sahabatnya.
Hendaklah seseorang merenungkan dan memikirkan ketika hendak menjalin persahabatan. Jika orang itu baik agamanya, maka bertemanlah. Jika buruk, maka menjauhlah, karena tabiat itu sangat mudah berpindah kepada orang lain. (Aunul-Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud, Bab Man Yu’mar an-Yujalas, 4/259, Maktabah Syamilah).
Salah satu kelemahan manusia adalah mudah terpengaruh dengan apa yang ada di sekitarnya. Bahkan seekor binatang sekalipun bisa memberikan warna pada tabiat seseorang.
Nabi ﷺ bersabda, “Kesombongan dan keangkuhan terdapat pada orang-orang yang meninggikan suara di kalangan penggembala unta. Dan ketenangan terdapat pada penggembala kambing.” (Muttafaqun ‘alaih).
Orang dekat pada hakikatnya adalah cermin diri kita. Itulah sebabnya jika orang ingin mengetahui tentang kita, maka cukup menanyakan siapa temannya.
Dalam syair Arab disebutkan, “Tentang seorang jangan engkau tanyakan, tapi tanyakanlah siapa temannya. Karena seorang akan mencontoh temannya.”
Karenanya pilihlah teman yang baik. Hanya saja berteman dengan orang baik butuh kesabaran. Sebab teman baik tak akan membiarkan kita jatuh dalam keburukan. Ia selalu gigih untuk mengalirkan kebaikan dalam diri kita. Nasehat dan peringatan menjadi bagian tak terpisahkan dari teman yang baik.
Allah SWT berfirman
وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini.” (al-Kahfi [18]: 28).
Belajar dari Sejarah
Membaca sejarah semakin mempertegas butuhnya setiap orang kepada sahabat yang baik. Sejarah juga berpesan betapa berbahayanya jika seorang dikelilingi oleh orang-orang yang buruk. Bahkan orang baik bisa menjadi buruk karena orang buruk yang ada di sekitarnya.
Kita tentu pernah mendengar nama Abdurrahman bin Muljam. Di zaman Umar bin Khaththab RA, ia termasuk salah seorang muqri (pengajar baca al-Qur’an).
Keadaan berubah saat kekhalifahan di tangan Ali bin Abi Thalib RA. Abdurrahman terpengaruh pemahaman Khawarij hingga nekad membunuh Amirul-Mukminin. Perubahan itu terjadi karena Abdurrahman menikah dengan seorang wanita yang beraqidah Khawarij.
Kisah serupa juga terjadi pada Khalifah al-Ma’mun. Secara pribadi dia orang baik dan memiliki ghirah yang tinggi dalam meluaskan wilayah kaum Muslimin. Tapi ia menangkapi dan menyiksa para ulama seperti Imam Ahmad. Penyebabnya karena ia gigih dalam menyebarkan paham Mu’tazilah. Ternyata, orang dekatnya adalah para dedengkot Mu’tazilah.
Dua kisah di atas adalah bukti betapa butuhnya seorang kepada teman yang baik. Apalagi yang sedang mengemban tugas kepemimpinan.
Dalam lingkup yang paling kecil seperti keluarga, seorang pemimpin yaitu suami butuh didampingi oleh istri yang shalihah. Terlebih lagi jika kepemimpian itu dalam lingkup yang besar seperti negara, tentu jauh lebih butuh kepada orang dekat yang shalih..
Akibat Keliru Memilih Teman
Keliru memilih teman dampak buruknya tidak hanya di dunia tapi berlanjut hingga di akhirat. Itulah sebabnya, perkara yang paling disesali oleh manusia kala itu adalah ketika salah dalam memilih teman saat di dunia.
وَيَوۡمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلٰى يَدَيۡهِ يَقُوۡلُ يٰلَيۡتَنِى اتَّخَذۡتُ مَعَ الرَّسُوۡلِ سَبِيۡلًا
يَٰوَيْلَتَىٰ لَيْتَنِى لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zhalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab (ku).” (QS: al-Furqan[25]: 27-28).
Teman yang buruk, minimal akan merusak citra dan wibawa. Mungkin kita bisa bertahan tidak mengikuti keburukan, tapi cepat atau lambat kita akan kebagian jatah keburukan dari sisi yang lain. Persis perumpamaan Nabi ketika mengibaratkan teman buruk seperti pandai besi. Mungkin pakaian kita tidak terbakar, tapi pasti akan mencium aroma yang tidak mengenakkan.
Itulah sebabnya para ulama terdahulu ekstra hati-hati dalam memilih teman dekat. Imam Syafi’i berkata, “Seandainya air yang dingin merusak kewibawaanku (kehormatanku), maka saya tidak akan minum air kecuali yang panas saja.” (Ma’alim fi Thariq Thalabil-’ilmi hal 166).
Boleh dengan Syara
Berteman dengan orang yang buruk itu memang berbahaya. Tapi tidak berarti bahwa orang yang buruk itu harus dijauhi secara mutlak. Bagaimanapun mereka adalah objek dakwah yang perlu didekati dengan tujuan untuk mendakwahinya.
Adapun dalam hal kadar kedekatan, maka dikembalikan pada maslahat dan mafsadat. Jika mendekatinya mendatangkan maslahat, kita wajib untuk mendekatinya. Namun jika dikhawatirkan akan menimbulkan keburukan, maka perlu menjaga jarak.*/Pengajar STIS Hidayatullah Balikpapan