PERASAAN muslim sejati, saat agamanya (termasuk Allah, Rasul ﷺ dan generasi terbaik setelahnya) dihina, tak ada perbedaan; mereka sama-sama membencinya. Adapun terkait reaksi, ada yang menggunakan jalur damai dan lembut (ketika masih memungkinkan); dan ada juga yang terpaksa menggunakan kekuatan fisik jika itu mendesak untuk dilakukan.
Rasulullah ﷺ –sebagaimana petunjuk Allah— memberikan teladan jalan yang penuh kesejukan dan kelembutan. Namun, ada saat di mana cara lembut tak digunakan, ketika sudah masuk pada pelecehan harga diri dan agama. Kasus pelecehan dan penistaan agama terhadap wanita muslim di pasar oleh oknum Yahudi Bani Qainuqa’ –yang kemudian dibela oleh kaumnya—disikapi beliau dengan tindakan tegas; pengusiran.
Semasa nabi hidup, Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat yang dikenal santun, lembut, murah hati, kalem dan suka cara-cara persuasif. Sementara Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat yang cendrung mengunakan tindakan keras jika agamanya diusik.
Meski begitu, bukan berarti Abu Bakar tak pernah menggunakan kekuatan fisik untuk memberi pelajaran kepada orang yang menghina agama. Demikian juga Umar, bukan berarti tak pernah bersikap persuasif dan lembut, terutama ketika menjadi khalifah; karena banyak bukti-bukti sejarah yang menunjukkan kelembutannya. Namun, keduanya sama-sama benci ketika agamanya dihina.
Suatu saat, Abu Bakar memasuki “Baitul-Midrās” (Rumah Pengajian) orang-orang Yahudi. Begitu masuk, ia menyaksikan banyak orang berkumpul mendengarkan wejangan salah seorang dari mereka. Orang itu bernama Finhash. Salah satu tokoh sekaligus rahib Yahudi. Saat itu, ia bersama dengan rahib yang lain.
Tujuan Abu Bakar ke sana adalah untuk berdakwah sekaligus mengingatkan bahwa sebenarnya ia tahu tentang kebenaran Muhammad sebagai Nabi; namun karena hawa nafsu, kebenaran itu sengaja ditutup-tutupi. Reaksi Finhash mendengar ajakan Abu Bakar bukan menyejukkan suasana, malah menyulut amarah.
Kata Finhash, Allah itu fakir, sedangkan kami adalah kaya. Bukan kami yang butuh kepada Allah, justru Dialah yang butuh kepada kami. Kalau dia kaya, tak mungkin meminta pinjaman sebagaimana anggapan nabimu. Dia melarang riba, tapi justru Dia meminta pinjaman kemudian dan ketika dipinjami, maka akan dikembalikan dengan berlipat ganda. Bukankah itu riba?
Mendengar ucapan itu, ayah Aisyah yang pembawaannya lembut dan kalem ini seketika naik pitam dan geram. Dirinya mungkin bisa menerima kalau dirinya dihina, namun jika agamanya bahkan Allah yang dihina, ia tak bisa membiarkannya.
Hinaan Finhash ini ditanggapi dengan tinjuan yang amat keras ke arah wajah. “Wahai musuh Allah!” tuturnya geram, “jika tidak ada perjanjian di antara kita maka aku sudah menebas lehermu!” Finhash tak terima diperlakukan seperti itu. Ia pun melapor kepada Rasulullah atas tindakan keras Abu Bakar dan merekayasa berita atau bahasa sekarang: membuat hoaks.
Dipanggillah Abu Bakar oleh Rasulullah, kemudian beliau mengklarifikasinya. Sahabat yang merupakan khalifah pertama ini menjelaskan duduk perkaranya. Bahwa dirinya melakukan seperti itu adalah karena Allah. Ia tak terima jika Allah dihinakan seperti itu. Rupanya, Finhash menyangkalnya. Sehingga, kemudian turunlah ayat yang membenarkan pengakuan Abu Bakar (baca: Ali Imran [3] ayat 181). Meski demikian, pada surah Ali Imran ayat 186, Abu Bakar Ash-Shiddiq diingatkan, meski tindakannya benar, tapi bersabar dan menahan diri, itu lebih baik baginya. (Ibnu Hisyam, Sīrah Ibnu Hisyām, I/558, 559)
Masalahnya kemudian adalah justru pada orang muslim yang sudah jelas-jelas agamanya dihina namun santai-santai saja dan berlindung di balik toleransi. Dicarilah berbagai alasan untuk membenarkan pendapatnya. Kisah Nabi yang dianiaya penduduk Thaif seringkali diseret-seret sebagai sikap beliau yang mutlak memilih jalur memaafkan, padahal tak dipelajari bagaimana konteksnya dan seperti apa sikap beliau dalam kesempatan lainnya.
Jabir bin Abdullah pernah mengingatkan, “Jika ada umat di akhir zaman yang melaknat (melecehkan, menghina dan mengutuk) generasi terbaik di masa awal (Rasulullah, sahabat bahkan Islam), maka bagi yang punya kemampuan untuk membela, maka belalah. Karena, orang yang berpangku tangan, padahal dia tahu, maka sama halnya dengan orang yang menyembunyikan wahyu Allah. (Ibnu Taimiyah, Minhāj al-Sunnah, I/17)
Begitulah muslim dari masa ke masa. Ketika agamanya dihina, dia tidak akan diam saja. Penulis jadi teringat bagaimana umat Islam Indonesia dari sejak pra kolonialisme hingga setelahnya, mereka tak pernah jemu menunjukkan pembelaan ketika Islam dihina. Artikel penistaan agama dibalas dengan artikel, melakukan aksi damai (seperti yang dimimpin Cokro Aminoto terhadapan pelecehan majalah Bangun), bahkan seperti A. Hassan dan Natsir dengan Komite Pembela Islamnya, siap debat dengan mereka yang melecehkan Islam.
Apa yang dilakukan Khabib Nurmagomedov terhadap Conor McGregor (6/10/2018), bisa jadi tak sepenuhnya membuat orang setuju, namun pembelaanya ketika agamanya dihina dan dilecehkan adalah suatu hal semestinya yang dilakukan oleh setiap muslim.
Suatu saat, Datuk Alimin Sati (Sati Alimin), bertemu A. Hassan. Dirinya bercerita mengenai maraknya pelecehan terhadap Islam, oleh orang-orang sekular dan kebatinan. A. Hassan pun memberi nasihat, “Bi1a Tuan dengar Islam direndahkan orang di depan Tuan. maka saat itu juga dengan cepat Tuan harus berpikir Islam apa tidak? Kalau Tuan merasa bukan orang Islam, masa bodo.. .habis perkara! Tak ada persoalan lagi. Tapi kalau Tuan merasa seorang Islam. maka Tuan harus berpikir babak kedua: Siapa lagi yang akan bela islam di saat seperti itu selain Tuan? Bulatkan tekad, Islam harus Tuan bela!” (Artawijaya, 2014: 4) Lalu, bagaimana dengan kita, saat agama Islam dihina?*/Mahmud Budi Setiawan