Hidayatullah.com | SEBUAH takdir terindah yang Allah berikan kepada aku adalah terlahir dari rahim seorang perempuan hebat dan ibu luar biasa. Perempuan yang telah mencurahkan segala kasih sayang dan keteladanan yang begitu indah dalam perjalanan kehidupan yang aku lalui sampai saat ini.
Jika orang lain mengenalnya dari dunia kampus, seminar dan pemikiran keagamaan yang beliau gagas dan tuliskan, maka Allah mentakdirkanku untuk mengenal perempuan ini jauh daripada itu.
Aku tumbuh dan hidup dalam hangatnya dekapan dan kasih sayangnya yang menyejukkan. Perempuan yang tidak sekalipun aku pernah mendengar keluhannya dalam segala keterbatasan. Perempuan kuat yang tidak sedetik pun meninggalkanku saat gontai dan gagal. Perempuan yang selalu hadir menjadi semangat dan motivasiku dalam melangkah menjadi diriku saat ini.
Saat orang lain mengenalnya sebagai guru besar, dosen, ulama perempuan, dan sederet gelar lainnya, maka aku mengenalnya sebagai seorang ibu; ibu yang darahnya mengalir di dalam nadiku; kesabaran dan keteladanannyalah yang telah merawat dan membentukku; seorang perempuan yang dukungan dan semangatnya telah mengantarkanku untuk dapat menyelesaikan program S3 sebagai salah satu pencapaian akademikku di usia yang terbilang muda kala itu.
Jika banyak orang bercerita tentang prestasi akademiknya saat beliau menjadi wanita pertama yang menyelesaikan program doktoral di Universitas Al-Azhar, Kairo, maka semangat yang sama telah beliau wariskan kepadaku untuk terus maju meraih harapan dan mimpi besar itu. Beliau adalah ibuku: Umi Huzaemah.
Dalam pandanganku, umi adalah seorang ibu dan istri yang sangat baik. Segudang aktivitas di luar rumah yang umi miliki, tidak pernah menjadikan umi melupakan perannya di dalam rumah, baik sebagai seorang istri terlebih sebagai ibu.
Tidak ada sehari pun terlewatkan di dalam rumah kami kecuali ada sebuah kitab yang umi baca dan muraja’ah. Itupun tidak menghalangi umi untuk selalu menyapa dan menanyakan semua aktivitas yang aku lakukan. Aku bersakasi bahwa segala khidmahnya untuk umat dan bangsa, tidak sedikit pun menafikan curahan perhatiannya untuk kami di rumah.
Bahkan, sejak pagi, sebelum beliau berangkat mengajar dan beraktivitas, setidaknya beliau tidak pernah lupa untuk memasak makanan untuk kami semua. Kadang, aku sering bergumam dalam hati, “Begitu baiknya Allah kepadaku, sampai sarapan harianku saja dibuatkan oleh seorang ulama dan guru besar perempuan kebanggan Indonesia itu.”
Umi juga seorang istri yang sangat berbakti kepada suami, Abiku sendiri. Mereka berdua memang sama-sama guru besar dalam bidang yang berbeda, namun tidak sekalipun aku pernah menemukan umi membantah keputusan dan pendapat abi.
Aku bersaksi bahwa umi tidak pernah menunda saat abi memanggil dan membutuhkannya. Umi tidak pernah sekalipun keluar rumah kecuali tanpa izinnya. Bahkan di akhir hayat umi, saat kami ingin membawa beliau ke rumah sakit, ridha dan izin abilah yang umi minta untuk terakhir kalinya.
Umi adalah guru besar perempuan yang takzim dan penghormatannya kepada suami selalu menjadi prioritas utama. Pun kepada dua cucunya. Dalam kesibukannya, umi selalu menyempatkan diri untuk bermain dan mendidik cucu-cucunya.
Seingatku, Umi Huzaemah adalah orang yang tidak pernah berburuk sangka terhadap orang lain. Saat aku pernah hendak marah pada seseorang, umi selalu mengingatkan agar berhusnuzan kepada orang lain. “Mungkin kamu salah dengar, mungkin kamu salah paham,” begitu nasehat umi yang selalu aku kenang.
Umi adalah orang yang sangat menghargai waktu dan kedisiplinan. Dalam aktivitasnya, baik mengajar maupun menghadiri sebuah rapat kelembagaan, umi selalu berusaha untuk datang tepat waktu, bahkan menjadi orang pertama yang hadir. Di dalam kamar mandi beliau, umi meletakkan jam dinding sebagai pengingatnya akan waktu, agar umi tidak datang terlambat dalam acara apapun.
Dedikasi umi pada ilmu pengetahun sungguh luar biasa. Saat kondisi sakit sekalipun, umi tetap menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya, termasuk mengoreksi desertasi, tesis, dan skripsi para mahasiswanya hingga larut malam.
Tak jarang, saat aku hendak tidur di malam hari, aku melihat umi masih membaca, menulis atau mengoreksi, dan saat aku terbangun, kulihat umi sedang sujud atau muraja’ah al-Qur’an sebagai wirid harian yang memang beliau istiqomahkan.
Dalam urusan sosial, umi adalah orang yang selalu berusaha hadir dalam berbagai momen yang beliau diundang di dalamnya, mulai dari pengajian majelis taklim, pernikahan, khitanan, takziah, dan sebagainya, selama beliau memiliki kelenggangan waktu dari jadwal akademik dan kelembagaan beliau.
Aku pernah mengantarkannya untuk hadir ke sebuah pernikahan muridnya jauh di pelosok kota Serang beberapa tahun yang lalu. Meskipun harus menempuh perjalanan berjam-jam, umi selalu menikmati setiap perjalanan yang beliau lalui kala itu.
Sejak kecil, rumahku selalu ramai. Dalam rumah sederhana kami, umi selalu mengajak para kerabat dekat dan jauh beliau untuk tinggal bersama kami, termasuk sahabat-sahabatku yang sudah umi anggap sebagai anaknya sendiri. Umi tidak pernah membedakan siapapun. Beliau selalu peduli terhadap suksesnya pendidikan semua orang yang berada dalam rumah kami. Pun, sampai hari ini.
Seingatku sudah banyak generasi asuhan umi yang telah sukses menyelesaikan pendidikan tingginya. Tentu, setelah kepergiannya, aku dan semua orang yang pernah tinggal di rumahku sangat merindukan ‘daging goreng’ special khas Sulawesi yang umi masak untuk kami semua dengan tangannya.
Tidak ada sedikit pun kenangan buruk tentangnya, sebab hidupnya selalu penuh dengan kebaikan. Semua nasehat berharganya akan selalu aku ngat sebagai bekal menjalani kehidupan dan tentu akan aku wariskan kepada anak-anakku kelak.
Ada satu nasehat umi yang sangat membekas bagiku mengenai konsep keikhlasan. Beliau yang tidak pernah kenal lelah ini pernah berucap, “Orang yang mudah lelah/capek berarti dia kurang ikhlas, karena kalau seseorang ikhlas, maka ia tidak akan merasakan hal tersebut.”
Allah mentakdirkanku untuk dapat berkhidmat kepada umi sampai pada detik-detik terakhirnya. Meski dalam kondisi yang sangat terbatas, aku berkesempatan untuk memandikan jenazahnya sampai mengantarkan beliau ke peristirahatan terakhirnya. Sebuah hal yang menjadi khidmat terakhirku kepadanya
Selamat jalan Umi, Ibunda kami, terima kasih untuk setiap perhatian, kasih dan cintamu. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan kami. Semoga kami bisa meneruskan perjuanganmu, mendidik dengan penuh keikhlasan. Dan semoga kelak kita bisa bertemu di surga Allah. Amin.*/ Ditulis putranya, Dr. Syarif Hidayatullah di Sanad Media