Hidayatullah.com–Prancis hari Sabtu (1/1/2022) mengambil alih rotasi jabatan presiden Uni Eropa untuk masa enam bulan ke depan.
Pada tengah malam tahun baru, Prancis menerima estafet kepresidenan UE dari Slovenia, yang memegang amanah itu sejak 1 Jul 2021. Setelah enam bulan, Prancis akan digantikan Republik Ceko, lansir BBC.
Sebagai simbol serah terima, Menara Eiffel dan Istana Elysée menyala bersamaan dengan warna biru, warna khas bendera Uni Eropa.
Namun, pemasangan bendera Eropa di bawah Arc de Triomphe di Paris justru memicu kontroversi.
Kandidat presiden dari aliran kanan-jauh Marine Le Pen dan Eric Zemmour mengatakan bahwa mereka “marah” karena bendera Prancis “di atas tugu makam prajurit tak dikenal” digantikan dengan bendera Uni Eropa.
“Bendera Prancis pastinya akan dipasang kembali,” jawab Menteri Luar Negeri untuk Urusan Eropa Clément Beaune, mencela polemik yang menurutnya tak berfaedah itu.
“Anda dapat mengandalkan komitmen total saya,” kata Presiden Emmanuel Macron dalam pidato malam tahun baru, menjanjikan program ambisius untuk Uni Eropa selama enam bulan ke depan kepemimpinan Prancis yang hanya terjadi setiap 13 tahun sekali.
Selama enam bulan, Prancis akan memiliki pengaruh yang cukup besar untuk mendorong isu-isu tertentu dan menemukan kompromi untuk 27 negara anggota UE. Isu-isu yang perlu mendapat perhatian lebih menurut Macron antara lain kontrol perbatasan, pertahanan, perubahan iklim, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, pembangunan aliansi baru dengan benua Afrika, pengawasan platform internet, serta kebudayaan Eropa.
Macron menetapkan standar yang sangat tinggi: “2020 harus menjadi tahun titik balik Eropa,” katanya.
French Presidency of the European Union (FPEU) telah menetapkan tiga bidang prioritas: penetapan upah minimum di seluruh UE, regulasi terhadap raksasa-raksasa digital dan penetapan pajak karbon atas produk yang diimpor ke Eropa sesuai dengan dampak lingkungan yang ditimbulkannya.
Akan tetapi, pemilu presiden pada bulan Mei dan pemilu legislatif pada bulan Juni di Prancis sepertinya akan agak mengusik kinerja Prancis di kepresidenan Uni Eropa. Kemunculan coronavirus varian Omicron juga menjadi kendala tersendiri, setidaknya di bulan Januari ini saja banyak pertemuan yang akan digelar secara daring.
“Ini bisa menjadi aset bagi Presiden Prancis Emmanuel Macron … tetapi juga bisa jadi risiko” jika lawan politiknya memilih untuk menyerangnya secara langsung pada kebijakan Eropanya, kata Thierry Chopin, profesor ilmu politik di Catholic University of Lille.*