Rumus bahagian menurut Imam Al-Ghazali mengutarakan sesungguhnya manusia itu memiliki sifat-sifat hewan, setan dan malaikat
Hidayatullah.com | BAHAGIA adalah komponen terpenting dalam kehidupan umat manusia. Karenanya tidak sedikit mencari rumus Bahagia.
Siapa orang yang ingin menderita? Jawabannya, pasti tidak ada. Sayangnya, kebahagiaan dan penderitaan merupakan ciptaan Tuhan ini seperti roda, berputar semaunya.
Semua umat manusia sepakat bahwa semua makhluk hidup berhak bahagia. Tetapi, adakah yang berteriak sebaliknya, “semua yang bernyawa mempunyai hak untuk menderita?”
Maka, menurut Yuval Noah Harari, proyek besar dari agenda Homo Sapiens adalah menemukan kunci atau rumus bahagia. Bagaimana manusia mencapai kesenangan dan kebahagiaan abadi.
Sebab manusia bodoh mana yang ingin menderita selama hidupnya?
Beribu-ribu tahun manusia mencoba mencari definisi kebahagiaan. Beratus-ratus filsuf berupaya menjelaskan makna kebahagiaan dan rumus bahagia. Tetapi, belum ada kata sepakat mengenai hakikat kebahagiaan.
Bahkan, filsuf Epicurus dari Yunani Kuno sampai pada kesimpulan sesungguhnya rumus bahagi atau pencarian kebahagiaan adalah pencarian personal. Sekalipun Epicurus mengatakan demikian, pemikir modern menolak kesimpulan tersebut.
Menurut mereka kebahagiaan cenderung sebagai proyek kolektif. Harari mencoba memberikan ilustrasi mengenai kebahagiaan sebagai proyek kolektif.
“Tanpa perencanaan pemerintah, sumber daya ekonomi, dan riset saintifik, individu-individu tidak akan bisa jauh melangkah dalam mencari kebahagiaan. Jika negara Anda dipecah oleh perang, jika ekonominya diterjang krisis, dan perawatan kesehatan tidak ada, tentu Anda akan menderita.”
Tinjuan Harari itu berdasarkan pembacaannya terhadap filsuf Inggris, Jeremy Bentham yang hidup akhir abad 18. Pendirian Bentham menyatakan bahwa kebaikan tertinggi adalah “kebahagiaan terhebat bagi paling banyak anggota”, dan menyimpulkan sebenarnya tujuan tunggal negara, pasar, dan komunitas santifik adalah meningkatkan kebahagiaan global.
Para Politis, pembisnis, sarjana, bekerja bukan bertujuan demi kejayaan raja, negara, atau Tuhan, melainkan agar Anda dan saya bisa menikmati kehidupan yang lebih bahagia. Pada dua hipotesis tersebut, kita menangkap tidaklah mudah.
Kita hanya harus terus bekerja untuk mencari dan mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan bukan semata perkara kaya atau tidak kaya, atau hanya dengan ukuran mempunyai pasangan atau masih menjomlo.
Sekalipun perut kita kenyang, dan orang lain kelaparan menjadikan kita bahagia, belum tentu. Bahkan, Epicurus mengatakan pencarian yang membabi-buta terhadap uang, ketenaran, dan kesenangan hanya akan membuat kita menderita.
Rumus bahagia Imam Al-Ghazali
Bertolak belakang dari pendapat di atas, Imam Al-Ghazali telah menyampaikan rumus bahagia. Di abad 11 M beliau telah mencoba membentangkan hakikat kebahagian dalam bukunya Kimiya al-Saadah.
Uraian al-Ghazali dalam buku tersebut kunci atau rumus bahagia pertama adalah kenali diri sendiri. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan, “siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya.”
Di sini al-Ghazali menerangkan mengenal diri adalah langkah awal untuk bahagia, persis seperti pandangan Epicurus. Namun, rumus bahagia dari al-Ghazali menerangkan lebih jauh, bahwa mengenal diri bukan soal manusia terdiri dari jasad dan ruhani saja.
Rumus bahagia dari Imam Al Ghazali mendalami hakikat mengapa manusia diciptakan, unsur apa saja yang ada pada diri manusia, dan sifat-sifat yang berada dalam tubuh manusia. Al-Ghazali mengutarakan sesungguhnya manusia itu memiliki sifat-sifat hewan, setan dan malaikat.
“Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur, dan berkelahi. Karena itu, jika engkau hewan, sibukkanlah dirimu dalam aktivitas itu. Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan, tipu daya, dan dusta. Jika kau termasuk golongan setan, lakukan yang biasa ia kerjakan. Sementara, malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sepenuhnya bebas dari sifat hewani. Jika kau punya sifat malaikat, berjuanglah menemukan sifat-sifat aslimu agar kau dapat mengenali dan merenungi Dia Yang Mahatinggi, serta terbebas dari perbudakan syahwat dan amarah. Beri upayalah untuk mencari tahu mengapa kau diciptakan dengan kedua insting hewan ini— syahwat dan amarah—sehingga kau tidak ditundukkan dan diperangkap keduanya. Alih-alih diperbudak keduanya, kau harus menundukkan mereka dan mempergunakannya sebagai kuda tunggangan dan senjatamu.” (Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah, Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abad, Zaman).
Setelah mampu mengenali diri seutuhnya, maka kita akan mengenal dunia, mengetahui adanya akhirat sebagai tempat terakhir, dan puncaknya adalah mengenal siapa yang menciptakan sekaligus mencintai-Nya. Berkata Imam al-Ghazali senyatanya orang yang hatinya telah dikuasai cinta kepada Allah tentu akan menghirup lebih banyak kebahagiaan dari penampakan-Nya dibanding orang yang hatinya tidak didominasi cinta kepada-Nya.
Maka, pencarian membabi-buta yang dikatakan Epicurus tersebut tidak akan terjadi. Karena rumus bahagia menurut al-Ghazali dunia itu seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan pergi silih berganti. “Di sana disediakan piring-piring emas dan perak, makanan dan wewangian yang berlimpah. Tamu yang bijaksana makan sesuai kebutuhannya, menghirup wewangian, berterima kasih kepada tuan rumah, lalu pergi.”
Bagaimanapun rumus bahagia selama hidup di dunia menurut Imam al-Ghazali, adalah ”manusia harus menjalankan dua hal penting, yaitu melindungi dan memelihara jiwanya, serta merawat dan mengembangkan jasadnya. Jiwa akan terpelihara dengan pengetahuan dan cinta kepada Allah. Sebaliknya, jiwa akan hancur jika seseorang terserap dalam kecintaan kepada sesuatu selain Allah,” kata beliau.*/Hamdi Ibrahim