Fenomena Islamofobia, yang kali ini berbentuk penistaan terhadap Muslimah India, bukan terjadi baru kali ini saja. Disayangkan, India sebagai “negara demokrasi” terbesar di dunia tapi diskriminatif dan intoleran
Oleh: Dr.Fadli Zon
Hidayatullah.com | GELOMBANG Islamofobia terus terjadi hingga saat ini di India. Baru- baru ini, penistaan kembali dialami umat Islam, khususnya muslimah yang menghadapi pelarangan jilbab di sekolah di negara bagian
Selatan India. Meluasnya tindakan intoleran bahkan brutal terhadap minoritas muslim di India, bukan saja menodai rasa kemanusiaan, tapi juga bentuk pelanggaran HAM yang tak bisa dibenarkan alasan apapun. Endemi Islamofobia dan diskriminasi terhadap kaum muslim menjadi wajah pemerintahan Narendra Modi.
Ada dua catatan penting kenapa Islamofobia di India harus disikapi secara serius oleh masyarakat internasional.
Pertama, fenomena Islamofobia, yang kali ini berbentuk penistaan terhadap Muslimah India, bukan terjadi baru kali ini saja. Agustus 2021 lalu, misalnya, seorang tukang becak Muslim yang sedang membawa anaknya, dipukuli oleh kelompok Hindu garis keras di negara bagian utara Uttar Pradesh.
Begitupun insiden main hakim sendiri yang dilakukan sebuah kelompok garis keras Hindu terhadap Munawar Faruqui, seorang komedian Muslim pada Agustus 2021. Rentetan kejadian tersebut menandakan bahwa kekerasan yang dialami minoritas Muslim di India, bukan lagi sekedar fenomena gunung es. Namun, Islamofobia yang berpotensi menjadi endemi.
Bahkan jika tak disikapi serius oleh masyarakat internasional, kekerasan dan sikap anti-Islam bisa menjadi norma baru di India. Apalagi ternyata ada impunitas terhadap para pelaku karena mereka beroperasi dengan kedok agama. Kelompok-kelompok garis keras ini akan menjadi semakin berani melakukan serangan anti-Islam.
Kedua, meski kekerasan dan kebencian yang dilakukan kelompok garis keras Hindu tidak mewakili masyarakat India, namun tindakan tersebut berangkat dari adanya kebijakan pemerintah daerah dan bahkan pemerintah pusat India yang diskriminatif.
Meluasnya insiden penistaan terhadap kelompok Muslimah baru baru ini, dipicu adanya kebijakan larangan jilbab di perguruan tinggi dan sekolah di India oleh pemerintah negara bagian selatan. Pemerintah setempat menganggap jilbab sebagai pakaian yang mengganggu kesetaraan dan ketertiban umum.
Bukan itu saja, di level pemerintah pusat, sikap diskriminatif terhadap umat Islam juga terjadi setelah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mengesahkan Undang-Undang (UU) Amandemen Warga Negara atau Citizenship Amendment Bill (CAB). Melalui UU ini India bisa memberi kemudahan hak kewarganegaraan kepada para imigran gelap dari tiga negara Muslim tetangganya, yaitu Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan.
Perdana Menteri Narendra Modi mengklaim UU ini akan memberi perlindungan bagi kaum minoritas yang mengalami persekusi agama.Namun faktanya, kemudahan itu hanya berlaku bagi mereka yang beragama Hindu, Sikh, Buddhist, Jain, Parsi dan Kristen. Hak yangg sama tak diberikan kepada imigran beragama Islam. Jelas sekali Modi bersikap diskriminatif.
Padahal, konstitusi India sebenarnya melarang diskriminasi berdasar agama terhadap warga negara, serta menjamin semua orang sama di hadapan hukum. Sehingga, agama dan kepercayaan seharusnya tak boleh dijadikan syarat untuk meraih kewarganegaraan.
Sangat disayangkan, India sebagai “negara demokrasi” terbesar di dunia tapi diskriminatif dan intoleran. Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang memiliki peranan penting dan hubungan historis dengan India, saya berharap Pemerintah Indonesia, ikut menyuarakan aspirasi umat Islam Indonesia yang prihatin dengan politik diskriminasi yang mengancam saudara-saudara Muslim di India, baik secara bilateral maupun multilateral.
Secara bilateral, sebagai sesama negara demokrasi terbesar di dunia, pemerintah Indonesia bisa membangun proses dialogis dengan pemerintah India. Kedekatan kedua negara, baik secara historis maupun personal antara Presiden/Kepala Pemerintahan, sangat memungkinkan bagi Indonesia untuk membahas isu yang sangat sensitif tersebut secara lebih terbuka.
Secara multilateral, Indonesia juga dapat mengoptimalkan perannya saat ini sebagai Anggota Dewan HAM PBB. Sehingga, baik secara bilateral maupun multilateral, Indonesia memiliki kapasitas memadai untuk berperan lebih aktif. Ini semua tentunya sejalan dengan konstitusi kita, yaitu ikut menciptakan perd amaian dunia.
Sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia, dan Anggota Dewan HAM PBB, Indonesia memiliki kapasitass untuk turut merespon situasi yang terjadi di India hari ini. Bahkan situasi yang dialami muslim di Palestina, Rohingya, Uighur dan lain-lain.*
Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR RI, Anggota Komisi I DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra. Artikel diambil dari akun IG penulis