Konsep e-commerce adalah bisnis masa kini yang digemari. Apa hukum menjual barang dengan pre-order di platform online
Hidayatullah.com | KONSEP pre-order merupakan konsep bisnis masa kini, yang banyak digunakan oleh para pedagang di platform e-commerce. Keuntungan dari konsep ini adalah penjual tidak perlu mengeluarkan modal dan juga menyimpan barang untuk dijual.
Biasanya, pedagang akan mencari produsen atau grosir di dalam atau di luar negeri yang menawarkan produk dengan harga murah dan kemudian menggunakan bahan seperti gambar dan informasi produk yang disediakan oleh produsen atau grosir untuk berpromosi di platform e-commerce dengan harga lebih mahal.
Setelah menerima pesanan dari pelanggan, penjual akan memesan barang dari produsen atau grosir untuk dikirim ke pelanggan. Uang yang dibayarkan oleh pelanggan akan tetap berada di platfotm dompet elektronik sampai ia menerima barang yang dipesan.
Setelah pelanggan menerima barang dan menyatakan telah menerima dan puas dengan barang tersebut, uang yang disimpan di platform e-commerce akan masukkan ke akun penjual. Karena itu, konsep bisnis ini sangat populer di kalangan pedagang, terutama pedang pemula dan pembeli. Nah kita simak hukum menjual barang dengan sistem pre-order;
Hukum menjual barang yang tidak dimiliki
Hukum yang berkaitan dengan muamalah adalah boleh, selama tidak ada dalil yang membuatnya haram. Allah s.w.t berfirman:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰو
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli (bisnis) dan mengharamkan riba.” [Surat al-Baqarah (275)]
Imam al-Thabari menafsirkan ayat ini untuk menyatakan bahwa Allah SWT membolehkan keuntungan yang diperoleh melalui bisnis dan jual beli.
وأحلّ الله الأرباح في التجارة والشراء والبيع
“Dan Allah s.w.t menghalalkan keuntungan yang diperoleh melalui perniagaan dan jual beli.” (dalam Tafsir al-Tabari 13/6).
Sementara itu, Ibnu Munzir menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan bukti adanya jual beli yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam Islam seperti gharar.
دل عَلَى أن من البيوع مَا يجوز وما لا يجوز، فمما ثبت أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نهى عن بيع الغرر
Ayat ini merupakan bukti jual beli yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan, misalnya sebagaimana hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengharamkan jual beli yang gharar. (Lihat Al-Iqna ‘Ibn al-Munzir 243/1).
Imam Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir mengutip bahwa setiap jual beli adalah halal kecuali yang dilarang oleh Allah s.w.t melalui hadits Nabi atau hal-hal yang memiliki unsur yang sama.
(قال الشافعي): قال الله وجل عز: {لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ} [النساء: ٢٩] فَلَمَّا نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ بُيُوعٍ تَرَاضَى بِهَا الْمُتَبَايِعَانِ اسْتَدْلَلْنَا أَنَّ الله وجل عز أَحَلَّ الْبُيُوعَ إِلَّا مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، أَوْ مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُ.
Artinya: Imam Syafii telah bersabda: Allah s.w.t berfirman: “Janganlah kamu makan harta di antaramu dengan cara yang batil kecuali berlakunya jual beli yang kamu ridhai antara kamu” (QS an-Nisa’: 29) maka ketika Rasulullah ﷺ melarang suatu jual beli yang diridhai antara penjual dan pembeli maka dapatlah dijadikan dalil bagi kita bahwa Allah menghalalkan segala jual beli kecuali apa yang diharamkan Allah melalui perkataan nabi-Nya atau apa yang seperti dengannya. (Lihat al-Hawi al-Kabir, 3/5)
Selain itu, ada metode fikih yang menyatakan bahwa hukum asal untuk hal-hal yang berkaitan dengan muamalah adalah boleh kecuali ada yang melarangnya.
الأصل في المعاملات الحل والإباحة
Artinya: Hukum asal mu’amalah adalah halal dan boleh. (Lihat Yasalunaka ‘An al-Mu’amalat al-Mu’asarah hal.89).
Allah s.w.t berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [QS: an-Nisa’ (29)].
Tata cara perlunya suatu perkara yang berkaitan dengan mu’amalat didasarkan pada perkataan (إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡ) yang artinya kecuali dengan cara perniagaan (jual/beli) yang dilakukan dengan kesepakatan bersama (suka sama suka di antara kamu) sedangkan dalil yang menghilangkannya dari keharusan berasal dari perkataan (لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ) yang artinya janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan cara yang salah. (Lihat Yasalunaka ‘An al-Mu’amalat al-Mu’asarah hal.89).
Oleh karena itu, setiap jual beli harus jika memenuhi syarat dan rukun jual beli. Dr. Wahbah Zuhayli dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh menyatakan bahwa mayoritas ulama telah menyepakati rukun jual beli sebagai berikut.
- Pembeli
- Penjual
- Sighah akad
- Barang untuk dijual
(Lihat al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, 3309/5)
Sedangkan syarat barang yang dijual dan dibeli harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:
- Ada barangnya
- Bukan hal yang ilegal seperti najis
- Bisa diserahkan ke pembeli
- Barang milik penjual
- Diketahui oleh pihak yang membuat akad
(Lihat al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafii 23-28/3)
Selain bab tentang rukun jual beli, para ulama juga secara khusus membahas hal-hal yang berkaitan dengan khiyar seperti; khiyar majlis, khiyar ‘aib dan khiyar al-shart dimana pembeli berhak melihat barang yang dijual dan sekiranya ada kerusakan atau cacat pada barang maka pembeli dapat mengembalikannya dan mendapatkan kembali uang yang telah dibayarkan.
Mengenai jual beli barang yang tidak ada, kami kutip sabda Nabi ﷺ sebagai berikut:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Jangan menjual barang yang tidak kamu miliki.” [HR: Abi Daud (3503)].
Al-Khattabi menjelaskan bahwa larangan yang terdapat dalam hadits ini karena adanya unsur gharar. Al- Khattabi di dalam Ma’alim as- Sunan (3/672): “Asal gharar adalah segala sesuatu yang anda tidak mengetahuinya, dan tersembunyi rahasianya… , maka setiap jual beli yang tujuannya masih samar-samar dan belum diketahui serta tidak bisa diserahterimakan barangnya maka termasuk jual beli gharar “ (Hal senada juga disampaikan imam Nawawi di dalam al-Majmu’ ).
Unsur gharar yang dimaksud adalah risiko dapat tidaknya barang diserahkan kepada pembeli dan juga risiko barang yang dikirimkan tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.
Kami melihat jual beli dengan konsep pre-order paling dekat dengan konsep bai’salam dan juga ijarah (upah) yang disepakati oleh para fuqaha’.
1.Dalam konsep jual beli salam, pembeli akan memberikan uang terlebih dahulu kepada penjual kemudian penjual akan memesan dari pemasok atau produsen kemudian diserahkan kepada pembeli pada waktu yang telah ditentukan. Konsep ini menurut Imam Nawawi berbeda dengan larangan Rasulullah ﷺ menjual barang yang tidak ada.
والسلم بيع من البيوع الجائزة مستثنى من نهيه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ ما ليس عندك، فإن صاحب رأس المال محتاج إلى أن يشترى الثمرة وصاحب الثمرة محتاج إلى ثمنها قبل إبانها لينفقه عليها، فظهر أن بيع السلم من المصالح الحاجية
“Dan akad salam adalah suatu bentuk jual beli yang dibolehkan berbeda dengan larangan Rasulullah ﷺ tentang menjual barang yang tidak dimiliki, karena pemilik harta bermaksud membeli buah dan pemilik buah menginginkan uang terlebih dahulu sebelum menyerahkan buah tersebut kepadanya, maka timbullah jual beli salam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.” (Lihat al-Majmu ‘Syarh al-Muhazzab 97/13).
2. Sedangkan untuk ijarah atau upah, pembeli dianggap memberikan upah kepada penjual untuk membelian barang tersebut. Dalam hal ini upah yang diterima penjual adalah untuk usaha mencari dan memesan barang yang diinginkan.
- Sekalipun konsep ini telah disepakati, syarat-syarat berikut harus dipenuhi dalam jual beli pre-order untuk menghindari unsur jahalah (tidak diketahui) pada barang yang dijual.
- Barang yang dijual dapat dijamin keberadaannya oleh penjual
- Waktu pengiriman barang ke pelanggan jelas.
Kesimpulan
Dimungkinkan untuk menjalankan bisnis konsep pre-order di platform online karena termasuk dalam bentuk jual beli akad salam (bayar dulu, barang bisa belakangan) dan juga akad ijarah (upah) yang disepakati oleh para fuqaha’ tentang keharusannya. Selain itu, kebijakan pengembalian (return/refund) atau pengembalian dana kepada pelanggan dapat menghilangkan resiko barang tidak terkirim atau tidak memiliki spesifikasi yang sama yang sesuai dengan prinsip khiyar dalam Islam.
Kami juga menyarankan bagi pedagang yang ingin menjalankan bisnis dengan konsep seperti itu untuk meminta izin terlebih dahulu dari pemasok untuk menjadi perwakilan penjualan guna memastikan kemampuan barang yang akan dikirim ke pembeli dan juga waktu pengiriman.* (Irsyad al-Fatwa, laman muftiwp.gov.my)
Selain artikel tentang hukum menjual barang dengan pre-order di platform online Anda bisa dapatkan artikel hukum lain di SINI