Oleh: Ahmad Zarkasih
Hidayatullah.com | SEMINGGU ini umat Islam dikejutkan dengan berita gugatan mahasiswi berjilbab yang duduk di semester IX Fakultas Hukum UI yang memohon pada Mahkamah Konstitusi (MK) guna melakukan uji materi UU Perkawinan UU 1/1974 Pasal 2 Ayat 1.
Anbar Jayadi, mahasiswi berjibab itu menggugat UU Perkawinan dengan alasan, padahal jodoh adalah salah satu rahasia Allah sehingga tidak ada yang bisa memastikan kelak ia akan mendapatkan pasangan hidup yang memeluk agama yang berbeda dengannya.
“Harapan saya tidak ada pemaksaan pindah agama untuk menikah,” ujar Anbar di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (4/9/2014).
Bagaimana Islam melihat ini?
Pada dasarnya ulama membolehkan menikah beda agama, namun dengan kondisi seorang Muslim laki-laki menikah dengan wanita Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi). Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Dalam beberapa litalatur dan juga kitab-kitab Tafsir disebutkan perbedaan pendapat apakah selain wanita Ahli Kitab, seorang Muslim boleh menikahinya? Artinya ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menikahi wanita non-Muslim yang dari selain Ahli Kitab.
Intinya bahwa seorang Muslim dibolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab. Ini pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Nah adapun jika kondisinya berbalik; yaitu wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim (Musyrik/Kafir), apakah boleh? Ini yang menjadi pembahasan kita di sini.
Ijma’ (konsensus) ulama: tidak diperbolehkan seorang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, apapun jenis ke-non-Muslimannya. Entah itu dia seorang Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu atau agama pun, yang penting ia bukanlah seorang Muslim.
Apa dalilnya?
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ
“dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka,” ( QS: Al-Baqoroh 221)
لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“mereka (wanita-wanita Muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka… “ (QS: Al-Mumtahanah 10)
Dua ayat ini secara tegas mengatakan bahwa wanita Muslimah itu haram dinikahkah dengan orang kafir bagaimana pun alasannya. Dan ulama telah mengatakan bahwa ini adalah Ijma’ ulama.
Jika suatu hukum itu sudah dihukumi oleh sebuah Ijma’, maka sudah tidak ada lagi perselisihan pendapat didalamnnya. Begitu suatu masalah dihukumi, dan hukum itu tidak diperselisihkan oleh ulama yang lain, maka itu menjadi ijma’. Dan ketika sudah menjadi Ijma’, sudah tidak perlu lagi dipertanyakan. Ini prinsip yang di[egang oleh para fuqaha’ (ahli fiqih).
Adapun ayat yang terkandung dalam surat AL-Maidah ayat 5, seperti dibawah ini:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Adapun hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang Ahli kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan bagimu kaum Muslimim mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang Ahli kitab sebelum kamu.” (QS: Al-Maidah 5)
Ayat ini ialah Takhshish [تخصيص] untuk ayat 221 surat al-baqoroh diatas. Disebutkan bahwa wanita non-Muslim (musyrik) itu tidak boleh dinikahi oleh laki-laki Muslim. Pada ayat ini terjadi pengkhususan, bahwa larangan yang ada di surat al-baqoroh itu untuk wanita musyrik saja, sedangkan Ahli Kitab, dibolehkan.
Artinya bahwa kalau wanita itu Ahli Kitab, tetap boleh. Walaupun ia seorang wanita kafir. Karena yang dilarang itu ialah wanita kafir yang selain Ahli Kitab (yang tidak diturunkan Kitab; Nasrani dan Yahudi).
Nah larangan bagi wanita Muslimah untuk menikah dengan laki-laki non-Muslim tetap berlaku. Karena ayat ini ialah Takhshish [تخصيص] bukan Naskh [نسخ] yang menghapus kandungan hukum dalam ayat. Ini hanya pengkhususan saja. Maka yang tidak dikhususkan dalam ayat, hukumnya tetap berlaku.*/ bersambung