Ibrahim Traoré yang seorang Muslim Sunni, mengakhiri ketergantungan ekonomi dan politik pada ‘penjajah’ Prancis, dan mendekat pada Rusia
Hidayatullah.com | IBRAHIM Traoré, Presiden sementara Burkina Faso, telah mengadopsi strategi geopolitik yang tegas sejak mengambil alih kekuasaan pada Oktober 2022.
Ia secara aktif menjauhkan negaranya dari pengaruh ‘penjajah’ Prancis dan mempererat hubungan dengan Rusia serta negara-negara non-Barat lainnya.
Mengakhiri Pengaruh Kolonial
Ibrahim Traoré bukan sekadar nama baru dalam peta politik Afrika Barat. Di usia 36 tahun, perwira militer ini telah menjadi ikon perlawanan terhadap sisa-sisa kolonialisme Prancis dan magnet baru pengaruh Rusia di Sahel.
Kudetanya pada September 2022 bukan hanya mengubah peta kekuasaan di Ouagadougou, tetapi juga mempercepat pergeseran aliansi geopolitik di kawasan yang kaya emas, uranium, dan konflik jihadis ini.
Traoré mengambil langkah signifikan dengan mengusir pasukan Prancis dari Burkina Faso pada Februari 2023, mengakhiri kerja sama militer yang telah berlangsung lama.
Salah satu di antara aksi yang ia lakukan Traoré mengakhiri hubungan dengan Prancis—bekas penjajah— secara dramatis:
Pertama, penarikan pasukan Prancis: Pada Februari 2023, ia mengusir 400 tentara Prancis dari pangkalan militer Kamboinsin.
Kedua, pencabutan perjanjian Pertahanan 1961: Langkah simbolis yang menegaskan penolakan terhadap intervensi asing.
Ketiga, nasionalisasi sektor strategis: Tambang emas, sebelumnya dikuasai perusahaan Prancis seperti Nordgold, dialihkan ke negara.
“Prancis menjajah kami selama 60 tahun. Apa yang mereka berikan? Hanya teror dan kemiskinan,” kata Traoré dalam wawancara eksklusif dengan Jeune Afrique.
Ia menuduh media Prancis melakukan “pencucian otak” terhadap masyarakat Afrika dan menyatakan bahwa negaranya tidak akan lagi menambang emas untuk Prancis, melainkan untuk rakyatnya sendiri.
Dalam sebuah pernyataan yang viral di media sosial, ia menyatakan: “Kami akan menambang emas kami sendiri, bukan untuk Prancis, tetapi untuk rakyat kami!”
Langkah-langkah ini mencerminkan upaya Traoré untuk mengakhiri ketergantungan ekonomi dan politik pada bekas penjajahnya serta menegaskan kedaulatan nasional Burkina Faso.
Mendekat ke Rusia: Membangun Kemitraan Strategis
Dalam upaya diversifikasi aliansi internasional, Traoré telah memperkuat hubungan dengan Rusia. Pada Mei 2025, ia melakukan kunjungan resmi ke Moskow dan bertemu dengan Presiden Vladimir Putin.
Pertemuan tersebut menandai komitmen kedua negara untuk mempererat kerja sama di bidang militer, ekonomi, dan ilmiah. Traoré menyatakan keinginannya untuk mengembangkan kerja sama yang lebih erat dan beragam dengan Rusia. (The Defense Post)
Selain itu, Burkina Faso telah menyambut kehadiran pasukan Rusia, termasuk kelompok Wagner, untuk membantu dalam upaya melawan pemberontakan jihad di wilayahnya.
Aliansi Sahel dan Kedaulatan Ekonomi
Bersama dengan Mali dan Niger, Burkina Faso membentuk Aliansi Negara-Negara Sahel (AES) sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap pendekatan Barat dalam menangani isu keamanan regional.
Aliansi ini bertujuan untuk memperkuat kerja sama militer dan ekonomi di antara negara-negara anggota serta mengurangi ketergantungan pada bantuan asing.
Dalam upaya mencapai kedaulatan ekonomi, Traoré juga menginisiasi pembangunan kilang emas pertama di Burkina Faso untuk meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam negara tersebut. Ia menekankan pentingnya mengelola kekayaan alam secara mandiri demi kesejahteraan rakyat.
Traoré bukan satu-satunya pemimpin Sahel yang beralih ke Moskow. Mali dan Niger melakukan hal serupa. Pola ini menunjukkan ada kelemahan strategis prancis, dimana diplomasi “Big Brother” Macron dianggap arogan.
Sementara taktik Rusia menawarkan “solusi instan” tanpa syarat demokrasi—sesuai selera junta militer. Hal ini dianggap sebagai kegagalan Barat di Afrikan.
“Ini bukan sekadar pilihan Traoré, tetapi kegagalan sistemik Barat di Afrika,” kata Dr. Folashadé Soulé, peneliti African Studies Centre, Oxford.
Dukungan dan Kritik
Traoré mendapatkan dukungan luas dari generasi muda Afrika yang melihatnya sebagai simbol perlawanan terhadap imperialisme dan penjajahan.
Namun, pemerintahannya juga menghadapi kritik terkait meningkatnya kekerasan akibat pemberontakan jihad dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan.
Di antara kritik lain adalah dibuka pintunya untuk Wagner Group, pasukan bayaran Rusia yang kontroversial.
Hal ini karena bisa berdampaknya pada;
Dukungan Militer: Dimana Wagner bisa membantu operasi anti-jihadis, termasuk pelatihan pasukan Burkina Faso.
Imbalan Tambang Emas: Laporan Africa Intelligence menyebut Rusia mendapat akses ke tambang emas Inata sebagai “bayaran”.
Risiko Pelanggaran HAM: PBB mencatat peningkatan eksekusi di luar hukum di wilayah operasi Wagner.
“Traoré terjebak dalam pertukaran yang berbahaya: keamanan vs. kedaulatan,” tulis analis Institut Montaigne, Paris.
Sunni yang Taat
Ibrahim Traoré adalah seorang perwira militer dan politisi asal Burkina Faso yang saat ini menjabat sebagai Presiden sementara negara tersebut sejak 6 Oktober 2022.
Ia naik ke tampuk kekuasaan setelah memimpin kudeta militer yang menggulingkan presiden sementara sebelumnya, Paul-Henri Sandaogo Damiba, pada 30 September 2022, dengan alasan ketidakmampuan Damiba dalam menangani pemberontakan jihad yang sedang berlangsung.
Ibrahim Traoré lahir pada 14 Maret 1988 di Kéra, sebuah desa di Departemen Bondokuy, Provinsi Mouhoun, Burkina Faso.
Informasi mengenai orang tua dan latar belakang keluarganya tidak banyak tersedia di domain publik. Namun, diketahui bahwa ia memiliki seorang paman bernama Kassoum Coulibaly.
Traoré menempuh pendidikan dasar di Bondokuy dan melanjutkan pendidikan menengah di Lycée Mixte d’Accart-Ville di Bobo-Dioulasso, kota terbesar kedua di Burkina Faso. Ia dikenal sebagai siswa yang tenang dan berbakat.
Pada tahun 2006, ia masuk Fakultas Ilmu dan Teknik di Universitas Ouagadougou (sekarang Universitas Joseph Ki-Zerbo), mengambil jurusan geologi.
Traoré aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, menjadi anggota Asosiasi Mahasiswa Muslim dan Asosiasi Nasional Mahasiswa Burkina (ANEB), sebuah organisasi berhaluan Marxis. Ia lulus dengan predikat cum laude pada tahun 2010.
Setelah menyelesaikan pendidikan universitas, Traoré bergabung dengan Angkatan Bersenjata Burkina Faso pada tahun 2010 dan menjalani pelatihan di Akademi Militer Georges Namoano di Pô, di mana ia lulus sebagai wakil terbaik di angkatannya.
Ia menerima pelatihan anti-pesawat di Maroko sebelum ditempatkan di unit infanteri di Kaya, wilayah utara Burkina Faso.
Traoré berpartisipasi dalam berbagai operasi militer, termasuk dalam misi penjaga perdamaian PBB di Mali (MINUSMA) dan operasi kontra-pemberontakan di dalam negeri.
Ia naik pangkat menjadi kapten pada tahun 2020 dan pada Maret 2022 ditunjuk sebagai kepala artileri di Resimen Komando Dukungan dan Bantuan ke-10 di Kaya.
Agama dan Pandangan Ideologis
Ibrahim Traoré adalah seorang Muslim Sunni yang taat. Selama masa kuliahnya, ia aktif dalam Asosiasi Mahasiswa Muslim dan sering mengaitkan nilai-nilai keagamaannya dengan gaya kepemimpinannya.*