Oleh: Luthfi Al-Abidy
SUDAH saatnya kita berhenti berpura-pura mengakui bahwa Amerika Serikat (AS) telah memberikan urgensi demokrasi kepada undang-undang dan hak-hak manusia di Timur Tengah.
Dalam kritiknya yang tidak biasa—yang memang jarang disampaikan oleh orang Barat terhadap kebijakan mereka sendiri, apalagi kebijakan yang terkait dengan Timur Tengah, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Chase Freeman dalam orasinya di Dewan Kebijakan Timur Tengah PBB pada 21 Juli 2014 mengatakan, “Kita telah membayar atas pelanggaran secara terang-terangan ini dengan terbentuknya ‘Israel’. Kita telah menolak ‘Israel’ di Mesir. Dan kita tidak akan menghalangi kefanatikan politik atas rezim kerajaan di Bahrain, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.”
Sudah banyak bukti-bukti yang menyimpulkan bahwa sebenarnya kebijakan Amerika Serikat itu sepenuhnya didasari oleh kepentingan mereka, bukan didasari oleh nilai-nilai kebaikan.
Kejadian-kejadian di Timur Tengah sepanjang puluhan tahun terakhir ini semakin menegaskan apa yang telah disampaikan oleh Lord Temple Palmerston, seorang Perdana Menteri Inggris, dalam pidatonya di British House of Commons pada 1 Maret 1848. Di sana ia menegaskan, bahwa hal yang menjadi dasar kepentingan dalam hubungan internasional, adalah hal yang sama yang mampu mengubah hubungan negara-negara Barat dengan negara lain di seluruh dunia.
“Kita tidak memiliki teman sejati atau musuh abadi. Namun, kepentingan kita adalah kepentingan yang abadi, dan kita harus mengikuti kepentingan tersebut,” kata Lord Palmerston.
Baca: Turki Kritik Negara-negara Arab Yang “Loyo” Dalam Ikut Serta Pertemuan OKI Bahas Al Quds
Ucapan seperti itu nyatanya benar-benar diterapkan oleh Churchill pada masa Perang Dunia Kedua dan masa-masa setelahnya.
Yang dianggap paling penting oleh Barat di dalam hubungan mereka dengan Timur Tengah adalah tercapainya kepentingan materiil mereka. Hal ini mungkin telah terjadi sejak awal tahun 2000, dengan diekspornya paham demokrasi dan disebarluaskan dengan bahasa Inggris yang sombong dan diagung-agungkan. Mereka juga jelas-jelas mendukung para tokoh Arab yang membawa kepentingan Barat dan tunduk kepada tujuan-tujuan Barat.
Dengan kebijakan-kebijakan yang egois dan ‘berstandar ganda’, pihak Barat mendukung tokoh dunia Arab yang memenangi Pemilu dan memiliki kesamaan kepentingan dengan mereka. Tentu saja, kemenangan para pejuang di Palestina dan Libanon tidak akan membuat Barat senang. Setelah itu, pihak Barat melanjutkan peran mereka dengan kebijakan yang memojokkan pusat-pusat perjuangan, dengan menekan keuangan dan menjatuhi sanksi ekonomi bagi semua pihak yang tidak mau menerima logika Barat yang rendah dan hina, dan bagi pihak tidak menurut di bawah perintah Amerika Serikat dan teman-temannya.
Dalam setiap pemilu yang diselenggarakan di negara-negara Arab, pihak Barat akan menyukai kepentingan-kepentingan para tokoh Arab yang sejalan dengan mereka di wilayah Arab yang luas ini. Sehingga ‘Pemilu Cinderella’ hanya akan dimenangkan oleh tokoh yang memiliki sepatu (kepentingan) yang pas. Apabila yang memenangi pemilu bukan merupakan tokoh yang demikian, maka Barat akan mempertanyakan niat tulus mereka dalam memimpin negara, dan pada akhirnya akan dijatuhkan dengan segala cara.
Kejadian semacam ini telah dijamin kelancarannya oleh komunitas dunia dan badan-badan PBB, dan telah terjadi dalam pemberontakan militer terhadap pemerintahan Ikhwanul Muslimin yang telah terpilih secara demokratis di Mesir. Sebelumnya di Palestina, Hamas juga telah memenangi Pemilihan Dewan Legislatif Palestina (PLC) pada 2006, dan setelah itu semua pihak berbalik menyerang Hamas. Padahal, sebagaimana yang dilihat oleh dunia, Pemilu di di Mesir dan Palestina itu telah berlangsung secara bebas dan bersih. Meski tujuan Amerika Serikat dalam kejadian di Mesir berbeda dengan Arab Saudi, yang menginginkan dukungan finansial untuk memperkuat militer mereka demi melawan para pejuang Islam.
Baca: Sudan Minta Negara Arab Akhiri Perselisihan Hadapi ‘Israel’
Amerika menginginkan kejatuhan para pemimpin Islam secara ekonomi, serta hilangnya paham Islamis, tanpa melalui pemberontakan militer. Sangat mudah bagi mereka untuk mengatur terjadinya hal-hal seperti itu, demi menjaga keadaan negara Arab agar tetap digerogoti masalah kemiskinan, kenaikan harga, pengangguran, dan agar negara Arab selalu memiliki ketergantungan dengan hutang dan pinjaman asing. Sudah merupakan hukum alam apabila ekonomi tidak membaik, selama tidak ada kestabilan politik. Sebaliknya, kekuasaan yang dimiliki oleh rezim politik akan berkurang apabila pemulihan ekonomi tidak tercapai.
Sudah sangat jelas bahwa kekacauan di wilayah Arab ini terjadi karena Amerika Serikat. Amerika Serikat berusaha untuk memetakan dunia Arab secara ekonomi dan politik, yang telah menghasilkan hasil yang beragam. Lalu Amerika Serikat menggunakan hasilnya untuk membuktikan kesimpulan dari para tokoh-tokoh mereka di Timur Tengah Baru, yang termasuk dalam ideologi ‘Meng-Amerika-kan Dunia’, dan tercapainya ideologi tersebut akan dijaga oleh ‘Paman Sam’. Seperti Bernard Lewis, yang berpendapat bahwa peruntuhan Khilafah Utsmaniyah hendaknya tidak berhenti begitu saja ketika Utsmani terpecah menjadi beberapa negara yang merdeka. Apabila negara-negara tersebut keras kepala untuk tidak tunduk kepada Barat, maka hal itu dikarenakan orang-orang Arab akan selalu merindukan kejayaan masa lalu dan mengeluhkan keadaan mereka saat ini.
Sangat mudah bagi Arab untuk kembali menuju keadaan mereka seperti semula, setelah mereka memahami sebuah paham radikal yang menolak segala macam perundingan dan pembicaraan dengan Barat.
“Peta dunia Arab harus dirancang kembali, dan negara-negara Arab harus terpecah menjadi negara-negara berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan mereka. Dengan begitu, maka orang-orang Arab akan kembali pada masa sebelum Muhammad ﷺ tiba.”
Dengan menuntut hak-hak sekte dan minoritas, serta hak bagi sebuah bangsa untuk mendirikan negara mereka sendiri, maka Sudan dipecah, Irak serta negara-negara lain direncanakan untuk dipecah belah. Dan dengan menaikkan isu-isu nasionalisme dan kesukuan, maka Libya dipecah belah dan diubah menjadi sebuah negara gagal dalam berbagai indikator. Sementara itu berbagai kekacauan melanda wilayah Arab sisanya, dari Tunisia hingga Mesir dan Suriah. Hal ini diperparah dengan ‘kesepakatan-kesepakatan abad ini’ yang menargetkan Palestina, dan impian-impian untuk mendirikan sebuah negara merdeka.
Sebagaimana kita termasuk dalam sebuah proyek Timur Tengah Baru, maka kami menyerukan bahwa saat ini telah memasuki tahap perpecahan. Pembagi-bagian dan pengubahan wilayah Arab ini telah dilakukan sebelumnya dengan ditandatanganinya Perjanjian Sykes-Picot.*
Artikel ditulis www.alquds.co.uk, diterjemahkan Ja’far Auzan Muzakki