GERIMIS membasahi bumi di pinggiran Kota Depok kala puluhan pria dan anak laki-laki berpakaian serba putih duduk melingkar di berbagai sudut sebuah bangunan besar. Angin subuh berhembus lembut di antara pilar-pilar tinggi yang menopang bangunan lapang semi terbuka itu, menambah dinginnya suasana di ujung malam. Sementara sang surya masih tenggelam di ujung gelapnya mega, puluhan orang yang melingkar berpencar tadi sibuk komat-kamit. Sebagian mereka mempelototi kitab suci.
Selang beberapa saat kemudian, dari sebuah sudut depan di teras bangunan bercat putih krem tersebut, sekelompok pria dewasa yang bergeser ke beranda mulai asyik meriung. Puluhan cangkir dan piring penuh makanan ditata melingkar.
Belasan orang itu terlihat membicarakan sesuatu, dimulai dari seorang lelaki tambun berjanggut klimis. Pria yang bertindak sebagai moderator itu lalu mempersilakan rekan di sampingnya yang berpeci hitam. Pembicaraan pun berlangsung hangat. Mirip sebuah halaqah.
Subuh hari itu sedang digelar sebuah diskusi, temanya sangat melangit, “Coffee Morning Peradaban” (CMP). Acara ini digelar selepas shalat dan tadarrus pagi di Masjid Ummul Quraa’.
Acara seperti ini adalah rutinitas mingguan yang diadakan DKM masjid di kompleks Pesantren Hidayatullah Depok. Biasanya digelar tiap akhir pekan. Sabtu di penghujung tahun 2011 ini, telah memasuki pertemuan bulan ketiga. Setiap pertemuan menyuguhkan tema diskusi dan hidangan ringan yang berbeda, kecuali minumannya yang tetap sama; kopi dan teh panas.
Pagi itu, selain hidangan ringan, ‘menu yang diseruput’ adalah tema pengkaderan di ormas Hidayatullah.
“Apa dagangan Hidayatullah?” demikian pancing pembicara pertama, Ustadz Nasfi Arsyad membuka dialog setelah dipersilakan oleh Farid Ma’ruf, moderator CMP.
Ustadz Nasfi saat itu mengangkat soal “dagangan” untuk umat. Idealnya, menurut dia, Hidayatullah harus punya sesuatu yang patut “dijual” ke publik. Kaitannya dengan tema utama diskusi, ormas ini merupakan lembaga yang konsisten di bidang pengkaderan dan dakwah. Hal “dagangan” tersebut demi konsistensi program-program Hidayatullah, paparnya.
Dia lantas mengkiaskan bank-bank syariah yang memiliki jualan berbeda dengan bank-bank lainnya (bank konvensional. red).
Harapan Ustadz Nasfi, salah satu “dagangan” dakwah Hidayatullah saat ini harus benar-benar memiliki nilai berbeda dengan areal-areal dakwah lain.
Usai paparan Ustadz Nasfi, moderator mempersilakan pemateri selanjutnya. Kali ini dari kalangan pemuda, yaitu Musliadi, Ketua Umum PP Syabab Hidayatullah yang terpilih pada Musyawarah Nasional ke-4 pertengahan Desember lalu di Depok.
Jamaknya seorang pemuda, Musliadi bersemangat mengatakan ada faktor ekternal yang membuat pengkaderan di berbagai organisasi massa Islam mengalami pasang surut. Salah satu yang ia tuding, banyak lembaga asing yang membuat program yang dinilai secara sengaja berniat “menghancurkan” peran dan nilai Islam, terutama melalui kader-kadernya.
Adu pendapat dan argumen mengalir begitu gayeng. Ujungnya keinginan besar dan ghirah dakwah dan pentingnya pengkaderan, khususnya bagi organisasi Hidayatullah di Bumi Nusantara.
Tanpa terasa, diskusi tersebut sudah berjalan satu putaran jarum pendek pada jam dinding masjid. Diskusi ini dimulai sekira pukul 05:30 WIB. Para pembicara maupun penyimak masih begitu menikmati hangatnya perbincangan. Puluhan makanan berbagai jenis, satu per satu mulai tinggal pembungkusnya.
Seiring redanya hujan di bilangan Kelurahan Kalimulya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, diskusi pagi jelang perpindahan tahun masehi itu ditutup dengan harapan besar, adanya langkah nyata.
Disksusi rutin CNP yang berlangsung sederhana, diharap tidak melahirkan konsep sederhana semata. Tetapi bukti nyata dalam kerja-kerja dakwah agar hasilnya bisa dirasakan lebih nyata di masyarakat.*/Abd Syakur, jurnalis KMH