Berbagai kisah miring tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), keluarga, dan partainya, bukan lagi dalam bisik-bisik, selebaran, atau SMS gelap. Sebuah buku berjudul Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik Skandal Bank Century, kini beredar luas di internet, melalui facebook, twitter, email, dalam bermacam versi. Ada yang disingkat, ada yang seutuhnya.
Buku ini ditulis oleh George Junus Aditjondro, bekas wartawan, aktivis, peneliti korupsi, dan pengajar. Sebetulnya, dalam bentuk cetakan, buku itu telah diluncurkan akhir bulan lalu, dan beredar di sejumlah toko buku, terutama toko buku dengan jaringan luas, Gramedia.
Tapi anehnya, baru sehari buku itu ditarik dari peredaran. ‘’Karena kontroversial, buku itu diperintahkan ditarik ke pusat,’’ kata seorang pelayan Toko Buku Gramedia di sebuah pusat perbelanjaan di Bintaro, Tangerang.
Tak jelas mengapa pengelola toko buku terbesar itu menarik buku tersebut dari peredaran. Boleh jadi karena Presiden SBY sendiri beberapa kali secara terbuka menyerangnya. Yang pasti, apa pun yang terjadi, cara Gramedia ini agaknya sebuah kiat baru untuk membreidel sebuah buku. Terbukti di mana-mana orang kesulitan membeli buku itu, sampai bisa berharga ratusan ribu rupiah.
Sebelum ini, budayawan dan bekas Ketua Umum HMI, Ridwan Saidi, kesulitan mengedarkan bukunya yang mengungkap tentang banyaknya bencana alam dan kecelakaan di zaman pemerintahan Presiden SBY. Toko buku besar menolak mengedarkannya.
Sementara itu, Membongkar Gurita Cikeas menjadi ajang perdebatan seru di televisi dan koran. Terjadi kontroversi yang cukup luas. Dan itu menyebabkan minat untuk membaca buku ini meningkat. Sekarang tampaknya masyarakat sudah terpuaskan dan bisa membaca Membongkar Gurita Cikeas, setelah salinan buku itu beredar luas di internet. Mungkin Ridwan Saidi perlu menempuh cara –cara George Junus Aditjondro.
Dihidangkan dengan gaya tulisan wartawan yang enak dibaca, lancar dan mengalir, tapi cukup lugas, Membongkar Gurita Cikeas segera menjadi buku paling top sepanjang tahun 2009 yang baru saja berlalu. Intinya, buku ini menggambarkan betapa sebuah kekuasaan politik dibangun dengan kolaborasi bersama para pemilik modal, dengan cara-cara yang manipulatif. Dengan demikian para Markus seperti Anggodo atau Artalyta Suryani alias Ayin menduduki posisi penting, bisa berteman dengan para pejabat tinggi, bahkan dengan presiden sekali pun. Mirip sebuah hasil reportase investigasi, George Junus Aditjondro membongkar semuanya.
Buku seperti ini dulu banyak terbit di Amerika Serikat, pada waktu atau terutama setelah terbongkarnya skandal Watergate, di tahun 1970-an. Yang terpenting di antaranya adalah All the President’s Men, ditulis dua wartawan koran The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein pada 1974, kemudian difilmkan dengan judul sama dua tahun kemudian, dan banyak meraih Oscar. Buku itu menceritakan kisah kedua wartawan ketika melakukan investigative reporting (reportase investigasi) untuk korannya, membongkar skandal politik yang melibatkan Presiden Richard Nixon.
Laporan investigasi Woodward dan Bernstein di korannya waktu itu sangat eksklusif berkat bantuan sebuah sumber yang mereka sebut Deep Throat. Woodward bertemu sumber itu di tempat rahasia dan tertutup pada tengah malam, misalnya, di gedung parkir bawah tanah. Identitas sumber itu tetap mereka rahasiakan sampai lebih 30 tahun, yaitu sampai sumber itu sendiri yang membuka rahasianya beberapa tahun lalu. Ternyata Deep Throat adalah W. Mark Felt, Wakil Direktur FBI pada masa itu.
Seperti sama diketahui kemudian, akhir dari skandal politik yang mengguncang Amerika itu, Agustus 1974, Presiden Nixon mengundurkan diri, digantikan Wakil Presiden Gerald Ford. Tapi Nixon tak sampai masuk penjara sebagaimana beberapa pembantunya, karena mendapat pengampunan dari Presiden yang baru.
Karya jurnalistik kedua wartawan itu, sampai kini dianggap sebagai paling hebat. Dan untuk itu mereka memperoleh hadiah Pulitzer, penghargaan jurnalistik, sastra, dan musik tertinggi di Amerika Serikat. Malah menurut pendapat Gene Robert, bekas Redaktur Eksekutif The New York Times, hasil reportase kedua wartawan itu boleh jadi akan menjadi karya jurnalistik terbaik sepanjang zaman.
Meski dulu Aditjondro adalah salah satu wartawan handal, Membongkar Gurita Cikeas tak termasuk karya jurnalistik yang mengagumkan, walau mengejutkan. Mungkin karena buku itu dipaksa segera terbit untuk mengejar kehangatan, ketika kini Presiden SBY sedang diterpa sorotan tajam dari pelbagai penjuru. Jadi seperti dijanjikan penulisnya, buku ini akan terbit lagi dalam edisi lanjutan atau revisi.
Sejak akhir tahun lalu, Presiden SBY banyak disorot setelah terbongkarnya berbagai konspirasi di balik upaya mengkriminalisasi dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, oleh Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Rekaman pembicaraan telepon pengusaha Anggodo Widjojo dengan sejumlah orang, yang kemudian diputar di depan sidang Mahkamah Konstitusi, telah membuka mata banyak orang.
Betapa pengusaha kaya semacam Anggodo bisa seenaknya mengatur aparat kepolisian dan Kejaksaan Agung. Hukum memang masih ada, tapi hanya prosedural, sudah kehilangan substansi karena semua bisa diatur lewat makelar kasus (Markus).
Malah nama Presiden SBY pun ada dalam rekaman itu, antara lain, lewat pembicaraan Anggodo dengan teman wanitanya Yuliana Ong, tukang pijat kelas atas dari Jawa Timur, yang ternyata beberapa kali terlibat kasus narkotik di kepolisian Surabaya. Yuliana menyebutkan bahwa dari pembicaraannya dengan Wakil Jaksa Agung AHR, diketahui Presiden SBY berada di pihak mereka dalam menghadapi KPK.
Para Pejabat Istana membantah. Tapi sangat aneh sampai sekarang Presiden SBY tak pernah melaporkan perkara pencatutan namanya atau pencemaran nama baiknya oleh Anggodo mau pun Yuliana Ong. Padahal SBY dikenal amat konsisten dalam menjaga citra dan nama baik. Karena itu dulu SBY didampingi istrinya pernah datang ke Polda Metro Jakarta Raya (sekalipun pada hari Minggu) guna melaporkan pencemaran nama baiknya oleh Zaenal Maarif, Wakil Ketua DPR, yang menuduh SBY telah menikah sebelum masuk AKABRI.
Tak ada penjelasan sepotong pun dari Istana, mengapa kali ini Presiden tak mengadu ke polisi padahal nama baiknya sudah dicatut terang-terangan oleh Anggodo dan Yuliana Ong di dalam rekaman yang diputar Mahkamah Konstitusi.
Berbagai hal seperti inilah, ditambah sikap Presiden SBY yang selalu tampak ragu, menyebabkan berbagai bisik-bisik dan SMS menjadi ramai. Dan George Junus Aditjondro, PhD dari Cornell University (Amerika Serikat) itu melalui Membongkar Gurita Cikeas, memperjelas semua bisik-bisik itu di dalam sebuah buku yang bisa dipertanggungjawabkan.
Aditjondro membeberkan sejumlah yayasan dari Cikeas yang bergerak demi kepentingan SBY. Salah satu yayasan, misalnya, rajin membiayai para ulama pergi umrah ke Tanah Suci. Lalu di musim kampanye yayasan ini aktif memenangkan SBY atau partainya. Yang menjadi persoalan: dari mana yayasan memperoleh duit demikian banyak?
Yang jelas pembentukan begitu banyak yayasan dengan melibatkan para pejabat tinggi dengan SBY dan keluarga berada di belakangnya, tak jauh beda dengan model yayasan di sekitar Presiden Soeharto di zaman Orde Baru, yang kemudian diberangus setelah reformasi 1998.
Aditjondro mencoba menjawab melalui bukunya, bagaimana sesungguhnya cara yayasan itu bisa punya banyak duit. Salah satu yayasan memperoleh 1 juta dollar (lebih Rp 9 milyar) dari pengusaha Djoko Tjandra, yang kini buron karena kasus Bank Bali. Lalu, Harian Jurnal Nasional milik Cikeas, yang beritanya dalam Pemilu lalu, mengkampanyekan Partai Demokrat dan Presiden SBY, mendapat dana Rp 150 milyar dari pengusaha Budi Sampurna.
Bekas salah satu pemilik pabrik rokok Sampurna ini adalah deposan terbesar di Bank Century. Salah satu alasan menyelamatkan Bank Century, seperti selama ini banyak dibicarakan di tengah masyarakat, tak lain untuk menyelamatkan deposito pengusaha kaya-raya ini yang berjumlah triliunan rupiah di bank abal-abal itu.
Maka seandainya Budi Sampurna terbukti membantu Jurnal Nasional seperti dituliskan Aditjondro, terang-benderanglah sudah penyebab mengapa Bank Century yang teramat kecil, harus di-bail-out atau ditalangi oleh pemerintah sampai Rp 6,7 triliun. Bagaimana sebuah bank yang pemiliknya merampok duit para nasabah lalu melarikannya ke luar negeri, tetap dibantu dana ratusan milyar rupiah oleh Bank Indonesia. Bagaimana berbagai rekayasa dilakukan aparat Bank Indonesia agar bisa membantu Bank Century. Artinya, bermacam spekulasi yang timbul selama ini segera berakhir karena jawabannya sudah ditemukan di dalam Membongkar Gurita Cikeas.
SBY dan Artalita Suryani
Sebenarnya dari hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah ditemukan keanehan perlakuan terhadap Budi Sampurna. Pada 14 November 2008, Budi Sampurna memindahkan depositonya senilai 96 juta US Dollar (lebih Rp 1 triliun dengan kurs rupiah pada waktu itu) dari Bank Century Kantor Cabang Surabaya-Kertajaya ke Kantor Pusat Operasional Senayan, Jakarta.
Pada 15 November, atau sehari kemudian, sebagian deposito itu, yaitu sebesar 18 juta US Dollar telah dicairkan Robert Tantular dan Dewi Tantular, pemilik dan pengelola bank itu, dengan alasan sudah ada kesepakatan dengan Budi Sampurna untuk meminjamkan uang itu kepada mereka. Tapi belakangan Budi Sampurna membantah punya kesepakatan utang-piutang. Selain itu BPK mengungkap rencana Robert Tantular dan Budi Sampurna melakukan rekayasa dengan memecah depositonya menjadi di bawah Rp 2 milyar. Dengan demikian jika Bank Century ambruk, deposito itu akan dijamin pemerintah.
Baiklah, itu sebenarnya urusan silang-sengketa Budi Sampurna dengan Robet Tantular yang kini mendekam dalam penjara, atau dengan Dewi Tantular yang kini buron. Ternyata setelah pemerintah menalangi (bail-out) Bank Century, deposito Budi Sampurna yang 18 juta dollar (atau lebih Rp 160 milyar) itu diganti dengan uang dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Apa urusannya LPS atau pemerintah dengan penggelapan atau pencurian deposito Budi Sampurna?
Itulah yang dijawab Aditjondro di dalam Membongkar Gurita Cikeas: ternyata Budi Sampurna mendanai koran Jurnal Nasional Rp 150 milyar. Yang hendak dikatakan di sini ternyata Budi Sampurna, deposan terbesar Bank Century itu, adalah koneksi Cikeas pula.
Itu sama saja dengan kasus dua konglomerat pengemplang BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) puluhan triliuan rupiah, Syamsul Nursalim dan Antony Salim (putra konglomerat Liem Soei Liong). Keduanya telah diperiksa oleh Kejaksaan Agung, tapi kemudian diumumkan tak bersalah.
Sialnya, hanya beberapa hari kemudian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap basah Urip Tri Gunawan, jaksa yang menjadi Ketua Tim BLBI di Kejaksaan Agung . Ketika itu Urip sedang memasuki mobilnya yang diparkir di depan rumah milik Syamsul Nursalim di kawasan Simprug, Jakarta,. Dari dalam mobil, KPK menemukan uang dollar senilai Rp 6 milyar rupiah yang baru diterima Urip dari Artalyta Suryani, makelar kasus dan orang dekat Syamsul Nursalim.
Bukti-buktinya lengkap, bahkan ada rekaman pembicaraan telepon Artalyta, bukan saja dengan Jaksa Urip, tapi dengan sejumlah Jaksa Agung Muda, termasuk dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman yang membawahi langsung kasus BLBI itu.
Malah bisik-bisik menyebutkan ada lagi rekaman pembicaraan telepon Artalyta alias Ayin dengan seorang penting dari Cikeas, tapi tak dirilis oleh KPK kepada publik. Pengadilan kemudian menghukum Jaksa Urip dan Artalyta Suryani bersalah dalam pidana penyuapan.
Tapi menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat, kenapa hanya seorang Jaksa Urip yang diadili? Bagaimana para atasannya, termasuk Jaksa Agung Muda Pidsus Kemas Yahya Rahman? Kemas ternyata hanya dicopot dari jabatan.
Yang lebih penting dari semua itu adalah pembebasan dua konglomerat, Syamsul Nursalim dan Anthony Salim, dari perkara BLBI yang diumumkan Jampidsus Kemas Yahya Rahman beberapa hari sebelum penangkapan Jaksa Urip dan Artalyta Suryani. Menurut akal sehat, karena Jaksa Urip telah terbukti menerima uang sogok dari Artalyta Suryani untuk perkara dua konglomerat itu, maka pembebasan itu yang merupakan hasil kerja dia dan timnya seharusnya ditinjau ulang atau dibatalkan. Tapi bukan itu yang terjadi. Pembebasan Syamsul Nursalim dan Anthony Salim tak pernah ditinjau. Soal uang sogok , terbatas hanya Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta yang dihukum penjara.
Aditjondro tak melupakan kasus itu. Di bukunya ia tampilkan foto Artalyta Suryani sedang pesta mengawinkan anak dengan tamu VVIP: Presiden SBY dan Nyonya Ani Yudhoyono. Mereka tampak akrab. Kenapa Presiden menghadiri perhelatan Artalyta yang tak lain salah satu Markus (makelar kasus) paling top di Indonesia? Apakah ini yang menyebabkan perkara Anthony Salim dan Syamsul Nursalim dibatalkan oleh Kejaksaan Agung, sekalipun terbukti ada uang suap di baliknya?
Lebih mengejutkan lagi Presiden SBY sendiri membantah mengenal Ayin. Nah, melalui bukunya, Aditjondro menunjukkan bukti-bukti foto, serta kesaksian sejumlah sumber, bahwa SBY dan Ayin sudah kenal lama.
Apa yang terjadi pada Presiden SBY sekarang tampaknya mirip pengalaman Presiden Amerika Serikat Richard Nixon di tahun 1970-an, dalam apa yang dikenal sebagai peristiwa Watergate. Suasana kebebasan sekarang di Indonesia (terutama kebebasan pers), sama saja dengan kebebasan di Amerika Serikat di tahun 1970-an.
Ketika itu, 17 Juni 1972, polisi menangkap 5 maling sedang membobol kantor Partai Demokrat di gedung perkantoran Watergate, Washington DC. Ternyata mereka bukan maling biasa. Mula-mula polisi menemukan alat penyadap. Rupanya pembobolan itu guna memasang alat penyadap telepon di kantor itu.
Lebih jauh lagi, salah satu dari maling ternyata adalah petugas keamanan Partai Republik. Kecurigaan lain, maling itu membawa banyak duit. Pemeriksaan lanjutan, menghubungkan para maling dengan CRP (Committee to Re-elect the President) alias Tim Sukses Presiden Nixon. Di dalam rekening salah satu maling, ditemukan cek senilai 25.000 dollar dengan tanda khusus milik CRP.
Sejak itu, koran dan televisi (sebagaimana sekarang terjadi di Indonesia dalam kasus Bank Century dan kasus Bibit-Chandra) berlomba-lomba mengusut kasus yang dicurigai melibatkan Presiden Nixon dan para pembantunya, terutama Tim Suksesnya. Nixon memang berusaha menutupi keterlibatannya dalam kasus ini. Polisi federal, FBI, dan Jaksa Agung coba dikendalikannya. Tapi dia tak berhasil mengendalikan pers yang bebas.
Seperti sama diketahui, akhirnya sejumlah rekaman percakapan Presiden Nixon dengan anggotaTim Suksesnya terbongkar dan kian membuktikan keterlibatan Nixon dalam skandal politik ini. Yang paling mematikan ketika rekaman percakapan Presiden Nixon dengan Kepala Staf Gedung Putih H.R Haldeman dibongkar ke publik atas perintah Mahkamah Agung (Ini mirip dengan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan membuka rekaman percakapan Anggodo Widjojo beberapa waktu lalu).
Di dalam percakapan itu diketahui bagaimana Nixon dan Haldeman berencana menutupi keterlibatan sang Presiden dalam kasus Watergate dengan memperalat FBI dan terutama CIA. Rekaman itu kemudian dijuluki a smoking gun, betul-betul menghancurkan citra Presiden Nixon. Ia segera mengundurkan diri, dan tercatat sebagai satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir.
Seperti diketahui, di tengah hebohnya isu Watergate, pada 7 November 1972 berlangsung pemilihan presiden Amerika Serikat. Sebagai calon Partai Republik dan presiden incumbent, Nixon menang besar dengan mengumpulkan 60% suara pemilih, mengalahkan Senator George McGovern, Capres Partai Demokrat. Nixon terbukti disukai mayoritas rakyatnya. Tapi ketika ia terbukti melawan hukum dalam skandal Watergate, toh ia harus dijatuhkan.
Foto dari : http://tweetphoto.com/7578716
Penulis adalah Direktur Institute For Policy Studies (IPS) dan kolumis hidayatullah.com