Hidayatullah.com–Menjadi sebuah dilema bagi umat Islam di belahan dunia, ketika berkunjung ke negara mayoritas non-Muslim untuk menemukan makanan-makanan dengan label halal. Hal ini menjadi salah satu sorotan yang melahirkan sebuah keperdulian bagi seorang pengusaha negeri Jiran Malaysia Tan Sri Halim Saad untuk mulai mempromosikan keutamaan label halal makanan di negara mayoritas non-muslim.
“Seorang muslim hanya boleh mengkonsumsi makanan halal. Jika tidak halal, seorang muslim dilarang untuk mengkonsumsinya” kata Halim Saad yang juga Direktur Eksekutif dari perusahaan Markmore Energy ini.
Berbicara disebuah konferensi bisnis di Universitas Auckland Selandia Baru. Tanpa rasa canggung dan penuh percaya diri, Halim Saad menegaskan betapa pentingnya masyarakat dunia memahami bahwa memprioritaskan legalisasi halal dalam kacamata Islam bukan hanya merupakan aspirasi umat Islam semata, namun itu juga potensi bisnis yang sangat besar yang akan saling menguntungkan antara umat Islam dan para pebisnis international.
“Jika kamu adalah produsen makanan, lalu makananmu itu berkualitas. Jika potensi itu ditambahkan dengan label halal, maka anda juga bisa menjadi pemasok makanan bagi komunitas Islam. Itu adalah potensi yang baik untuk merambah pasar yang lebih luas” Jelasnya saat menjadi berbicara di Konferensi tersebut seperti yang dikutip halaljournal.com
Halim Saad yang juga anggota Halal Industry Development Corporation (HDC) di Malaysia, saat ini sedang gencar-gencar mengkampanyekan kepedulian atas ketahanan pangan international terutama di dunia Islam Sendiri.
Gagasannya untuk mengsinergikan potensi kekayaan alam negara-negara produktif seperti New Zealand untuk menghasilkan makanan yang bisa diekspor ke negara-negara Islam yang tidak memiliki area yang subur untuk menghasilkan makanan, menurutnya, bisa menjadi solusi bagi krisis pangan yang terjadi di hampir di 58 negara yang sebagian besarnya justru negara mayoritas Islam.
“Dari tujuh miliar orang di dunia, 900 juta adalah kurang gizi, Mereka punya banyak minyak, banyak uang tapi sedikit makanan dan air,” jelasnya alumni Universitas Victoria, yang saat ini diberi gelar sebagai profesor kehormatan di Sekolah Bisnis Universitas Auckland ini menggambarkan kondisi negara-negara mayoritas Muslim seperti Sudan, Ethopia hingga Somalia.
Halim juga menegaskan bahwa potensi halal tidak hanya mencakup masalah makanan semata, tapi juga mencakup non-makanan industri seperti produk IT, jasa keuangan, travel, kosmetik, hingga pariwisata dan sebagainya.
Ia berharap dengan diimplementasikannya gagasan ini, umat islam diseluruh dunia tidak perlu sulit lagi untuk mengkonsumsi makanan halal ketika ada dilingkungan mayoritas non-muslim, terlebih bagi mereka yang berada di area lemah pangan. Tentunya ini juga akan membuka peluang keuntungan bagi para investor international yang terjun ke dalam industry bisnis dengan label halal.*