Hidayatullah.com—Sebuah rancangan undang-undang buatan kelompok sayap kanan parlemen Israel untuk menggilir penggunaan Al Aqsha sebagai tempat ibadah Muslim dan Yahudi mendapatkan kecaman.
Al Arabiya melaporkan (12/8/2012), kantor berita Palestina WAFA mengatakan bahwa usulan itu akan menjadikan Masjid Al Aqsha bernasib sama seperti Masjid Ibrahimi di Hebron. Di mana usulan semacam itu hanya akan menyebabkan bentrokan bersenjata di kawasan itu.
Middle East Monitor melaporkan, imam senior Masjid Al Aqsha Syeikh Ikrimah Sabri mengecam usulan itu, dengan menyebutnya sebagai “tindakan aggresif” dan hal itu menegaskan adanya rencana busuk Yahudi terhadap Masjid Al Aqsha di semua tingkatan.
Syeikh Sabri, yang juga pimpinan Dewan Tertinggi Islam di Al Quds (Yerusalem), menegaskan bahwa Al Aqsha bukan “bahan untuk dinegosiasikan, dan adalah kewajiban setiap pemimpin dan rakyat Muslim untuk mempertahankan dan menjaganya.”
“Yahudi tidak ada urusannya dengan Masjid Al Aqsha,” tegas Syeikh Sabri.
Anggota Knesset Aryeh Eldad dari Uni Nasional hari Rabu lalu merancang RUU itu, setelah sebuah laporan pemerintah Amerika Serikat mengkritik kebijakan Zionis yang melarang non-Muslim beribadah di kompleks Haram Al Syarif, tempat Masjid Al Aqsha berada.
Eldad kepada Jerusalem Post berdalih bahwa tempat itu merupakan tempat paling suci umat Yahudi, yang juga dikenal Yahudi dan Kristen sebagai Temple Mount.
Anggota legislatif Israel yang lain dari Partai Likud, Zeev Elikin, kemudian mengumumkan bahwa ia akan berjuang untuk menjadikan Al Aqsha sebagai tepat ibadah yang hanya diperuntukkan bagi umat Yahudi.
Dalam RUU tersebut dikatakan bahwa Al Aqsha harus dibuka setiap hari untuk Yahudi, kecuali Jumat dan pada hari-hari raya Islam. Dan harus ditutup bagi Muslim setiap hari Sabtu serta pada hari-hari raya Yahudi. Dengan jadwal jam ibadah Yahudi pukul 08:00-11:00, 14:00-18:00 dan 21:00-23:00. Sementara jam ibadah Muslim pukul 04:00-07:00, 11:00-14:00 dan 18:00-21:00. Jika hari raya Islam dan Yahudi bertepatan pada hari yang sama, maka jadwal khusus harus ditetapkan oleh Kementerian Pelayanan Keagamaan, tulis Jerusalem Post.*