Hidayatullah.com—Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) berbadan ormas, namun dalam tatanan kehidupan umat Islam Indonesia, posisi MUI ditempatkan sebagai mufti atau lembaga pemberi fatwa dalam persoalan yang dihadapi umat Islam. Dan yang lebih penting, keberadaan MUI diakui sebagai satu-satunya produk fatwa yang diserap oleh lembaga negara dan sistem hukum di Indonesia.
“Posisi MUI secara faktual dan juridis umat tidak bisa diingkari oleh siapapun,” ujarnya Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Fahmi Salim kepada hidayatullah.com, Rabu (06/02/2013).
Pendapat Fahmi Salim ini disampaikan menanggapi pernyataan Ketua sub-komisi Pemantauan Komnas Anti Kekerasan, Arimbi Heroepoetri di BBC Indonesia yang mengecam fatwa MUI menyangkut khitan pada wanita.
“Kita berbeda pendapat dengan MUI. Tetapi mereka bukan otorita resmi, mereka ormas biasa, dan bukan panutan sebenarnya,” kata Arimbi dikutip BBC Indonesia, Selasa (05/02/2013).
Lebih jauh, Fahmi Salim mengatakan, dibanding lembaga-lembaga yang mengecam MUI, kredibilitas fatwa yang dikeluarkan MUI jauh lebih otoritatif dan lebih layak. Menurut alumni Al Azhar, Mesir ini, fatwa MUI telah menjadi rujukan seluruh umat Islam Indonesia, bahkan internasional.
“Kredibilitas fatwa-fatwa MUI telah menjadi rujukan bersama seluruh umat dan ormas Islam di tanah air dan diakui dunia internasional, sebagai representasi ulama Indonesia,” lanjutnya.
Sebelum ini, MUI Pusat telah mengeluarkan fatwa bahwa khitan bagi perempuan adalah “makrumah” atau ibadah yang dianjurkan. Meski ibadah yang dianjurkan, posisi MUI dalam hal ini tidak menganjurkan atau melarang.
Sebelumnnya, Anggota Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh sempat mengatakan, asal muasal upaya pelarangan khitan perempuan berangkat dari sentimen kelompok feminis dan liberal.*