Oleh: Ali Akbar Bin Agil
JUM’AT, (26/10/2012), umat Islam di berbagai penjuru dunia akan merayakan salah satu hari raya Idul Adha. Idul Adha juga mempunyai nama lain, hari raya Qurban. Qurban memiliki keterkaitan erat dengan keteladanan Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS.
Dalam Quran surah Ash-Shaffat ayat 102, Allah mengabarkan tentang pengorbanan Nabi Ibrahim saat ia diperintahkan untuk menyembelih putra kecintaannya yang digadang-gadang menjadi penerus dakwah, seorang anak yang dinanti kelahirannya sejak lama.
Orangtua mana yang tega menyembelih darah dagingnya sendiri, kecuali dia yang tak memiliki peri kemanusiaan. Persoalannya menjadi berbeda, ketika perintah menyembelih ini datang dari Allah SWT. Sebagai bentuk ketaatan paripurna kepada Allah, Ibrahim melaksanakan perintah yang bagi sebagian orang merupakan perintah yang teramat ekstrem. Tapi dengan keyakinan bahwa Allah Mahaadil dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi para hamba-Nya, Ibrahim tetap menjalankannya.
Detik-detik pelaksanaan penyembelihan ‘Qurban’ manusia, Allah mengganti ‘Qurban’ yang ada dengan Qurban yang sesungguhnya. Iya, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba.
Kejadiaan di balik kisah ini menyimpan pesan moral tentang pentingnya nilai kehidupan seorang manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Baik tersirat maupun tersurat, peristiwa dramatis pengurbanan Ibrahim merupakan bukti bahwa Allah tidak sudi menjadikan manusia sebagai objek Qurban, meski kala itu Ismail rela dengan keputusan-Nya.
Berangkat dari peristiwa pengurbanan ini, ada pesan moral yang penting untuk kita ambil. Yaitu keadaan paradoks dengan kenyataan yang terjadi belakangan ini. Sikap individualistis, matrealistik, dan vandalistic telah meracuni sebagian orang sehingga dengan membabi buta berani mengusik jiwa, darah, dan kehormatan sesamanya. Nyawa manusia seolah tidak ada harganya lagi.
Di Lombok, misalnya, kita saksikan bagaimana orang-orang yang belum tentu bersalah, diamuk massa. Mereka menghakimi lima orang yang baru diduga sebagai pelaku penculikan anak-anak dengan sangat sadis.
Dalam contoh lain, dengan mudah kita bisa melihat beberapa orang melakukan dengan cara-cara yang tidak terbayangkan sebelumnya. Tubuh manusia yang sempurna dimutilasi, rumah yang dibakar, orang yang dianiaya, merupakan contoh ekstrem yang kerap mampir dalam pandangan dan pembicaraan kita.
Melihat kejadian yang begitu mengerikan, kita perlu bertanya apakah masih tersisa kasih sayang dan cinta, sehingga tega menghabisi sesamanya? Padahal sekalipun seseorang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak kesalahan, tidak dibolehkan diperlakukan semena-mena, terlebih dengan tindakan main hakim sendiri apapun dalihnya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam berkata, “Hancurnya bumi ini beserta isinya merupakan perkara kecil, bagi Allah, dibanding tertumpahnya setetes darah manusia tanpa jalan hak.”
Dalam hadis yang lain Nabi menjelaskan, “’Tuntutan perkara dalam hubungan antarmakhluk yang pertama dibuka di akhirat nanti ialah yang menyangkut darah manusia.”
Di masa kekhalifaan Umar bin Khatab RA beliau pernah menginterograsi anak Gubernur Mesir, Amar bin Ash, karena melakukan penganiayaan kepada teman bermainnya, seorang rakyat biasa. Umar menyampaikan pertanyaan sekaligus pernyataan tegas bahwa darah, harta, dan kehormatan manusia harus dijaga sebaik-baiknya, “Mengapa engkau memperlakukan anak manusia seperti budak? Padahal ibunya melahirkan mereka sebagai manusia merdeka.”
Harapan kita semua, semoga hari raya Qurban 1433 H ini dapat membawa perubahan besar kepada diri kita, dari perilaku culas kepada mempertebal rasa kemanusiaan, dari keteledoran kepada kedisiplinan dalam mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.*
Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota Malang