Hidayatullah.com–Lebih dari 300 peserta bedah Jurnal Islamia yang bertema “Ahlus Sunnah dan Syiah: Beda Akidah, Syariah atau Politik?” di Aula Pascasarjana ITS Surabaya Sabtu kemarin (06/04/2013) nampak serius menyimak paparan tiga pembicara.
Pembicara pertama adalah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations/INSISTS dan Pimred Jurnal Islamia), menyampaikan keprihatinannya terhadapa kasus perselisihan Ahlus Sunnah dan Syiah di Indonesia akhir-akhir ini.
“Persoalannya sekarang, apakah Syiah itu toleran dengan Ahlus Sunnah?”, ujar Hamid mempertanyakan sikap Syiah saat ini.
Ia menerangkan, dalam kenyataannya Khumaini ternyata secara diam-diam memvonis mati Syeikh Ihsan Ilahi Dzahir ulama Sunni asal Pakistan karena Syeikh Ilahi Dzahir mengkritik Syiah.
Khumaini tahun 80-an menjatuhkan vonis mati kepada Salman Rusydi, penulis Novel ayat-ayat Setan. Mungkin kita bangga dengan keberanian ini. Tapi secara diam-diam ia menfatwakan Ihsan Ilahi Dzahir itu vonis mati karena mengkritik Syiah, jelasnya.
“Karena itu saya tidak bangga Khumaini.”
Menurut Hamid, Ahlus Sunnah tidak bisa bersatu dalam akidah. Perselisihan ajaran Ahlus Sunnah dan Syiah di Indonesia itu serius. Seperti tidak bisa didamaikan.
“Perbedaan Ahlus Sunnah-Syiah itu sulit didamaikan,” katanya.
Hal senada ditegaskan lagi oleh Henry Shalahuddin, MA yang menjadi pembicara kedua dalam seminar tersebut.
Perbedaan Ahlus Sunnah dan Syiah harus dipahami bahwa perbedaan itu bukan perbedaan fiqih. “Sunnah dan Syiah itu bukan perbedaan pada level shawab dan khata’ tapi masuk wilayah haq dan bathil,” papar Henry.
Henry yang juga anggota MIUMI Pusat menerangkan keanehan-keanehan ajaran Syiah dan membeber gerakan Syiah di Indonesia.
“Di media sosial, banyak kita jumpai cacian-cacian yang tidak patut diungkapkan. Seperti menista secara keji dan terang-terangan terhadap Abubakar, Umar dan ‘Aisyah,” terangnya.
Kenyataan seperti itu tidak bisa lagi dibohongi. Sebab, hal tersebut dilakukan dengan terang-terangan. Sebagaimana tertulis di kitab-kitab Syiah.
Selain itu Henry menyebutkan bahwa ada sekitar lima gerakan Syiah di Indoensia. Di antaranya mendirikan pusat kebudayaan ICC di Jakarta, mendirikan lembaga pendidikan dan ilmiah, menyusup ke Parpol, mendirikan penerbitan dan membuat lembaga keagamaan seperti ABI dan IJABI.
Bahkan, telah menyusupkan kepada kurikulum SD. “Di daerah Solok, ditemukan buku berjudul Qolbun Salim yang menjadi buku pegangan siswa SD menerangkan tentang siapa imamah dua belas itu dan tentang taqiyah,” jelas Henry.
Kultur perlawanan pada Syiah
Sementara Idrus Romli, dosen STAIN Jember Jatim lebih banyak menyoroti Syiah dalam konteks keindonesian dan ke-Nu-an. Ia menjelaskan bahwa Syiah masuk ke Indonesia sekitar tahun 1850, hal itu dibuktikan dengan adanya surat konsultasi tokoh agama Indonesia kepada mufti Islam di Yaman, Sayyid Abdullah bin Abubakar tentang amalan Syiah di indonesia.
Dalam surat konsultasi itu ditanyakan adanya perilaku orang-orang Syiah di Indonesia yang memukul-mukul badan masuk kategori halal atau haram? Kemudian surat tersebut dijawab haram si mufti. Dari sini mulailah merebak perlawanan kultural terhadap ajaran Syiah oleh ulama-ulama yang ada di Indonesia.
Sehingga kita bisa saksikan ada pujian-pujian yang dilantunkan untuk para sahabat Nabi.
Juga sisipan shalawat di sela-sela shalat tarawih yang memuji para Sahabat juga dalam rangka melawan kultur Syiah yang justru mencelanya.
Menurut Idrus, justru dalam sejarah, kultur Islam Indonesia itu menolak Syiah. Dan para ulama Indonesia dulu memiliki cara unik melawan Syiah.
“Para ulama Sunni Indonesia menangkalnya dengan menyebarkan biografi para Sahabat melalui dzikir dan puji-pujian, seperti yang kita dengar di kampung-kampung isinya memuji nama Sahabat. Sebenarnya ini dalam rangka melawan syiahisasi yang melanda Indonesia sejak tahun 1800-an,” ungkapnya.
Dalam penjelasannya, Idrus Ramli juga mengungkapkan propaganda-propaganda Syiah dalam berdakwah.
“Salah satu dari propaganda mereka mengaku bahwa Syiah madzhab Ahlul Bait. Madzhab keluarga Rasulullah shalallahu’alaihi Wassallam,” kata anggota LBM NU Jawa Timur ini.
Juga klaim dengan mengatatakan bahwa Syiah adalah pengikut Imam Ja’far al-Shadiq.
“Seorang muhadis Ibn Syahin mengatakan, ada dua orang shalih yang dirusak reputasinya yaitu Ja’far al-Shadiq dan Imam Ahmad bin Hambal. Syiah selalu menisbatkan diri kepada madzhab Ja’far. Padahal Imam Ja’far tidak ada hubungan dengan Syiah,” ujarnya.
Selain itu, terang Idrus, propaganda Syiah yang lain seolah ia berjasa melawan Amerika dan Barat serta pembela terdepan Palestina. Padahal itu semua tidaklah benar.*/Kholili Hasib