Hidayatullah.com–Saat ini, bukan hanya film-film yang mengumbar pornografi, mistis dan kekerasan, sinetron yang menggunakan simbol agama sebagai tersangka kejelekan (sinesara) juga marak ditayangkan stasiun TV.
Hampir setiap hari sinetron-sinetron yang memperlihatkan kekerasan, sadisme, kebencian, permusuhan, gaya hidup konsumtif, hedonis berseliweran di depan mata kita. Fenomena seperti itu, tentu menimbulkan pertanyaan banyak orang.
“Di mana peran dan fungsi Lembaga Sensor Film (LSF) yang merupakan lembaga yang diamanahkan Undang-undang untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif tayangan film, sinetron, dan iklan melalui penyensoran,” demikian ujar Pembina Masyarakat TV Sehat Indonesia, Fahira Idris, saat menemui beberapa anggota LSF, Senin (20/04/2013) di kantor LSF.
Dalam pertemuan itu, beberapa anggota LSF hadir menemui. Di antaranya Nunus Supardi, Djamalul Abidin, Prof. Dr. H. Artani Hasbi, dan Endro Subekti.
Sementara perwakilan Masyarakat TV Sehat Indonesia, selain Fahira, hadir juga Ardy Purnawan Sani dan Bayu Priyoko (Koordinator) dengan membawa banyak surat titipan aspirasi dari masyarakat.
Dalam pertemuan tersebut Fahira melontarkan kritik terhadap kinerja LSF dinilainya belum maksimal.
Menurut Fahira, seharusnya, LSF dapat bekerja lebih maksimal agar tayangan-tayangan yang merugikan dan tidak mencerdaskan masyarakat tidak semakin banyak.
“Sebab, jika LSF tidak berfungsi dan berperan dengan baik, maka bukan tidak mungkin pelan-pelan ketahanan moral bangsa bisa hancur, ” tutur Fahira.
Namun, upaya melakukan penyensoran terhadap tayangan-tayangan yang tidak mendidik dan mencerdaskan bukan hanya menjadi tugas LSF.
Yang tidak kalah pentingnya adalah peran masyarakat sendiri untuk melakukan swa sensor.
“Daripada mengandalkan LSF, langkah swa sensor bisa jauh lebih efektif, ” ujar Fahira.
Semua stakeholders perfilman, tambah Fahira, juga harus selalu berpedoman kepada aturan P3SPS dan UU Perfilman saat memproduksi film yang dapat menunjukkan mereka sudah melakukan sensor sebelumnya di internal mereka, mulai dari awal produksi film.
Minim anggaran
Menyikapi masalah tersebut, selain merevisi UU No.33 Tahun 2009 tentang Perfilman, Fahira mendorong pemerintah meningkatkan kualitas sumberdaya manusia LSF dan juga anggarannya.
“Dengan anggaran yang memadai, teknologi penyensoran bisa lebih ditingkatkan dengan cara memperkuat infrastruktur teknologi dan juga memberi kesempatan mengikuti pelatihan-pelatihan kepada tim LSF,” pungkas Fahira.
Wakil Ketua LSF, Nunus Supardi mengamini pernyataan Fahira. Menurutnya, untuk menangkal tayangan-tayangan yang tidak berkualitas, strategi yang paling efektif sebenarnya adalah swa sensor dari masyarakat.
Sementara terkait dengan lemahnya peran dan fungsi LSF, Nunus beralasan penyebabnya adalah problem regulasi. Saat ini, kata Nunus, menurut UU No.33 Tahun 2009 tentang Perfilman, peran dan fungsi LSF hanya sekadar lembaga penilai dan penyensor.
“Padahal, kalau ingin diperkuat LSF harus menjadi lembaga penindak seperti posisi LSF di Malaysia,” ujar Nunus.
Selain itu, tambah Nunus, LSF juga menghadapi perkembangan teknologi perfilman yang saat ini berkembang pesat. Teknologi perfilman sedang berkembang ke arah digitalisasi sehingga LSF tidak bisa lagi secara langsung menyensor film dengan cara memotong bagian-bagian yang melanggar.
Ke depan Fahira dan Nunus sepakat perlu segera dirumuskan UU tentang Kebudayaan. Penerbitan UU ini, selain melindungi kebudayaan nasional juga akan menjadi benteng/ filter dari pengaruh budaya-budaya asing yang bila kebablasan, akan dapat menghancurkan moral bangsa.*