Hidayatullah.com– Sudah sepatutnya, mahasiswa Islam di negeri ini menjadikan tempat tinggalnya sebagai sarana berislam. Sebab peradaban Islam bagi mahasiswa mesti dimulai dari lingkup terdekat mereka masing-masing.
Demikian intisari diskusi sejumlah mahasiswa LIPIA dengan dua orang tokoh ormas Islam di asrama mereka, Jl Siyarridin, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta, Ahad (04/10/2015). Kedua tokoh dimaksud adalah para Ketua PP Hidayatullah, Ir Ahkam Sumadiana dan Drs Hasan Rofidi.
Menurut Ahkam Sumadiana dalam pemaparannya, eksistensi berislam adalah menjalankan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Termasuk bagi para mahasiswa.
“Dimana dilaksanakan al-Qur’an ini? Di asrama ini. Tapi kalau tidak bisa (al-Qur’an) diamalkan di asrama ini, jangan banyak bicara (Islam) di luar asrama,” ujarnya kepada puluhan mahasiswa yang tergabung dalam komunitas el-Mahalli itu.
Ia mengimbau agar para mahasiswa menjadi pelaku-pelaku tegaknya peradaban Islam. “Siapa yang melaksanakan? Kita sendiri,” ujarnya.
Ustadz yang dikenal sebagai mantan aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Makassar ini mengatakan, ada dua tugas utama para mahasiswa. Yaitu belajar dan beribadah.
Kata dia, mahasiswa harus rajin membaca. Kalau bisa 1 buku setiap hari.
Dari segi ibadah, di antara yang harus diseriusi oleh mereka adalah tahajud setiap malam.
“Modalnya itu dua, belajar dan ibadah. Antum (kalian) harus punya,” ujarnya.
Jika tak punya dua modal tersebut dengan kuat, lanjutnya, mahasiswa Islam akan rentan mengalami goncangan.
“Kalau ada kader (Islam) rentan, spiritualnya rendah,” jelasnya.
Sedangkan kalau mahasiswa itu kuat, ibarat tubuh, dia sudah punya imun. Orang yang bagus ilmu dan spiritualnya berarti dia kebal.
Mahasiswa Harus Terampil
Para mahasiswa Islam juga dipesankan agar tak terlena dengan dunia. “Jadikan dunia seperti orang asing. Tidur secukupnya, makan secukupnya, berpakaian secukupnya. Semua dunia itu secukupnya,” pesannya dalam acara yang digelar sederhana itu.
Sementara itu, Ustadz Hasan mengatakan, para mahasiswa Islam sepatutnya hidup berjamaah. “Hidup berjamaah dalam konteks sekarang itu harus memilih (harakah mana yang diikuti),” ujar Pembina Ma’had Al Burhan Semarang ini.
Kedua ustadz tersebut juga menyarankan agar el-Mahalli membuat program berbahasa Arab di lingkungan asrama mereka. Tak sebatas di kampus.
Mereka pun diimbau untuk meningkatkan keterampilan sebagai modal pengabdian masyarakat. Misalnya dengan membuat program cara mudah memahami bahasa Arab bagi kalangan umum.
Untuk diketahui, el-Mahalli merupakan salah satu komunitas yang ada di kalangan mahasiswa LIPIA. Anggota komunitas ini berasal dari berbagai wilayah se-Indonesia; Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Nusa Tenggara Barat, dan sebagainya.
Pengurus Syabab Hidayatullah Pusat, La Ilman, dalam kesempatan itu mengatakan, pihaknya siap menjadi mitra mahasiswa LIPIA tersebut dalam berbagai program kemahasiswaan. “Kami menjembatani kalian dengan para ustadz,” ujarnya.
Tawaran itu disambut baik oleh Ketua el-Mahalli Shiddiq Junihardin. Katanya, selama ini mereka sudah menjalankan sejumlah program non akademis. Seperti tahsin (perbaikan) baca al-Qur’an dan mengajar mengaji.*