Oleh: Imam Nawawi
“Kendati bukan satu-satunya jalan, menulis dapat mengejawantahkan eksistensi pelakunya. Dengan menulis orang sekaligus berekspresi, berkomunikasi dan – yang paling penting – meninggalkan jejak pikiran untuk masa yang tak terhingga. Wer liest, weiβ. Wer schreibt, bleibt, kata peribahasa Jerman. Siapa membaca akan mengetahui, dan siapa menulis tak akan mati,” demikian ungkap Syamsuddin Arif dalam bukunya Orientalis &Diabolisme Pemikiran.
Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di masa lalu jika tidak ada pena yang digerakkan untuk menulis apa yang telah terjadi. Soal kamera misalnya, publik memahami bahwa perekam moment dalam bentuk gambar itu adalah penemuan produsen kamera hari ini.
Padahal tidak. Adian Husaini dalam bukunya 10 Kuliah Agama Islam menjelaskan bahwa penemu kamera adalah Ibn Al-Haytam, ulama yang juga pakar fisika eksperimentalis yang hidup pada abad ke-11. Ia adalah seorang pakar optik, pencetus metode eksperimen. Karnyanya di bidang optik adalah al-Manazir, khususnya dalam teori pembiasan, yang kemudian diadopsi oleh Snell dalam bentuk yang lebih sistematis.
Adalah Al-Haytam juga yang dikenal sebagai pembuat perangkat yang disebut sebagai Camera Obscura atau “pinhole camera.” Bahkan kata “kamera” sendiri diduga berasal dari kata “qamara” yang bermakna “yang diterangi.” Ini karena kamera buatan Al-Haytam memang berbentuk bilik gelap yang diterangi berkas cahaya dan diberi lubang di salah satu sisinya.
Demikianlah tulisan, ia memberikan fakta masa silam dan tanpa adanya pena yang digerakkan, sungguh umat manusia akan sulit berkembang, mencapai kemajuan sains dan teknologi seperti saat ini. Namun, menulis bukan semata untuk ilmu dan teknologi, tetapi juga untuk membangun peradaban. Sebab, ilmu yang justru menghambat atau malah justru menimbulkan dehumanisasi sejatinya bukanlah ilmu, melainkan kebathilan yang terstruktur secara sistematis, membentuk hirarki yang solid, dan diabadikan dalam bentuk tulisan.
Soal LGBT misalnya, secara nalar awam, jelas perilaku tercela itu tidak memberikan manfaat apapun bagi kemanusiaan selain bicara hak dan hak semata, yang esensinya adalah pelampiasan ego manusia atas pemenuhan hawa nafsu menyimpang. Namun, sejak tahun 1973, homoseksual dihapuskan dari daftar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) sebagai penyakit jiwa, sehingga dari tulisan di DSM itulah, kelompok LGBT berdalih bahwa mereka tidak sakit.
Maka, dalam kontek ilmiah dan peradaban, gagasan seorang Muhammad Quthb dalam bukunya “Kaifa Naktubu Attarikhul Islam? yang diterjemahkan dalam edisi Indonesia dengan judul “Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam?” menjadi satu kesadaran yang wajar. Mengingat dunia di abad modern ini telah terhegemoni sedemikian rupa oleh peradaban materialistik Barat.
Senafas dengan apa yang digagas Muhammad Quthb, Ahmad Mansur Suryanegara termasuk sosok yang memiliki kesadaran tinggi terhadap pentingnya menghadirkan literasi sejarah yang mengangkat kontribusi, kiprah dan perjuangan umat Islam sebagaimana benar-benar pernah terjadi dalam sejarah panjang bumi Nusantara hingga terbentuk Indonesia merdeka yang belum ditulis secara komprehensif oleh pemerintah.
Dan, dengan hadirnya buku Api Sejarah, bangsa Indonesia pun semakin paham bahwa umat Islam tidak bisa dipisahkan dari sejarah berdirinya bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mesti disadari secara ilmiah bahwa dalam setiap masa kehidupan umat manusia, interaksi peradaban baik yang bersifat saling serang dalam kontek senjata maupun pikiran tidak bisa ditanggalkan. Termasuk seperti yang sekarang massif terjadi, yakni perang informasi.
Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh tinggal diam, berpangku tangan dengan apa yang menggelegar di setiap momentum yang mengitari kehidupan bangsa dan negara di mana kita hidup dan eksis. Gerakan kembali menyalakan tradisi menulis sangat penting untuk menyadari bahwa selama ini bangsa ini telah terseret jauh dengan cara pandang peradaban Barat dengan meyakini segenap metodologi dan impor pemikiran yang terus dihujamkan di bumi pertiwi, sehingga umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini kerapkali menjadi sasaran empuk pengkambinghitaman dari segenap isu-isu negatif yang ramai dibicarakan publik internasional, seperti terorisme, intoleran, anti HAM dan lain sebagainya.
Tetapi, justru dari situlah kita mesti memahami bahwa sitgmatisasi Barat terhadap umat Islam bukan sebatas ketidaktahuan, tetapi merupakan cara pandang yang terbangun dalam sejarah panjang perjalanan Barat sendiri.
Tulisan tidak bisa lepas dari yang namanya pemikiran dan demikian pula gagasan dan pemikiran, tidak bisa terlepas dari konteks peradaban dimana sebuah teori, metodologi dan cara pandang dilahirkan, yang semua itu berpangkal dari perjalanan sejarah sebuah bangsa. Dalam kontek peradaban barat tentu tidak bisa dipisahkan bagaimana problema sejarah dan keagaam Kristen di Barat.
Dengan kata lain, menulis gagasan sesuai dengan apa yang menjadi cara pandang kita sebagai Muslim adalah hal yang biasa-biasa saja, bukan sebuah keanehan apalagi sampai disebut sebagai pembuat “onar.” Dan, dalam konteks keilmuan, sebuah argumen harus diakui benar jika memang secara nalar, empiris dan hati nurani tidak bisa dibantah lagi.
Sebagai Muslim yang mesti juga ber-Indonesia dengan baik, nasehat KH. Agus Salim untuk bangsa ini yang tertuang dalam artikelnya “Cinta Bangsa dan Tanah Air” (Harian Fajar Asia, 28 Juli 1928) yang dikutip oleh Adian Husaini dalam bukunya 10 Kuliah Agama Islam, “…demikian juga dalam cinta tanah air, kita mesti menunjukkan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Jika dalam Al-Qur’an ada perintah “fastabiqul khairat,” berlomba-lomba dalam kebaikan, maka sudah saatnya kini generasi muda Muslim bangkit dan menulis, sebab bagaimanapun Barat juga memiliki berbagai keunggulan; bisa kita lihat dari etos keilmuannya selama berabad-abad, melalui pena yang terus mereka gerakkan dan sebarkan.*
Wakil Ketua Umum PENA [Penulis Muda Nusantara]