Menegakkan peradaban Islam dimana saja, perintah Allah Ta’ala bahkan menegakkan Islam secara sempurna, penuh ketaatan dan rasa berserah diri
Oleh: Mahladi Murni
Hidayatullah.com | ISLAM adalah tatanan yang sempurna. Ia dibangun dari wahyu Ilahi. Karena itu, Islam tak akan bertentangan dengan fitrah mahluk.
Maka, tegaknya peradaban Islam sudah pasti menghasilkan tatatan masyarakat yang sempurna. Andai seluruh manusia mengimaninya, pastilah tegaknya peradaban Islam menjadi cita-cita bersama. Sayangnya, tak semua manusia mengimaninya. Bahkan sebagian memusuhinya.
Islam tak sekadar mengurus persoalan pribadi manusia. Islam juga menata hubungan antar manusia, termasuk hubungan struktural dalam kelompok-kelompok masyarakat, mulai dari kelompok kecil seperti keluarga, hingga kelompok besar seperti negara.
Bila tatanan ini telah terbangun, maka terbangun pula sebuah peradaban Islam. Jika bangunan itu ada dalam sebuah keluarga, maka terbangunlah peradaban Islam dalam keluarga tersebut.
Begitu pula bila bangunan tersebut ada dalam suatu kampung, maka tegaklah peradaban Islam di kampung tersebut. Bahkan, bila bangunan tersebut ada dalam suatunegara, maka terbangunlah peradaban Islam di negara tersebut.
Idealnya, bangunan tersebut mencakup seluruh dunia sehingga manusia bisa diatur sesuai fitrahnya dan tegaklah keadilan di seluruh muka bumi ini.
Namun, Rasulullah ﷺ memberi sinyal bahwa peradaban yang dulu pernah beliau bangun di Madinah baru akan terbangun kembali menjelang akhir zaman kelak.
Jadi, kita harus bersabar. Tak perlu tergesa-gesa. Tegakkanlah apa yang mampu kita lakukan terlebih dahulu.
Menegakkan peradaban Islam adalah seruan Allah Ta’ala kepada orang-orang yang beriman, sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an surat al-Baqarah [2] ayat 208, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam (as-silmi) secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”
Al-Aufi mengutip pendapat sejumlah ahli tafsir seperti Mujahid, Ikrimah As-Saddi, dan Ibnu Zaid, bahwa as-silmi berarti Islam. Sedangkan Ad-Dahhak mengutip pendapat Ibnu Abbas, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas bahwa as-silmi berarti taat. Adapun Qatadah berpendapat bahwa as-silmi berarti berserah diri.
Perintah Allah Ta’ala untuk menegakkan Islam secara sempurna, penuh ketaatan dan rasa berserah diri, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, akan mudah kita laksanakan manakala di lingkungan di sekitar kita sudah terbangun peradaban Islam. Wallahu a’lam.*
Pengurus MUI Pusat