Memasuki Bulan Ramadhan, kajian tentang pentingnya mempersiapkan diri, utamanya untuk meningkatkan ibadah begitu luar biasa. Ceramah di online, TV, radio tidak sedikit yang mengupasnya. Tentu ini berkah tersendiri.
Namun sebagai Muslim, bagaimana ibadah bisa ditingkatkan, apalagi dengan kualitas kesadaran dan keikhlasan yang memadai jika dari sisi pemikiran belum benar-benar sesuai dengan konsep berpikir Islam, dimana hidup adalah untuk mengabdikan diri hanya kepada Allah Ta’ala (QS. Ad-Dzariyat [51]: 56).
Seperti kita pahami bersama, bagaimana keadaan begitu drastis berubah pada jiwa mereka yang hatinya diterangi hidayah. Sebut saja Ummu Sulaim radhiyallahu anha, yang saat masih dalam kekafiran, meninggalnya saudara tiri saja sampai menangis meraung-raung. Yang tidak terjadi saat semua putranya sahid di medan jihad. Ada perubahan watak dan perilaku serta cara pandang.
Ramadhan, dimana peristiwa turunnya wahyu yang menjadi fakta bersejarah pertama dialami oleh Nabi Muhammad Shallallahu alayhi wasallam terjadi, mesti juga menghadirkan penjernihan pemikiran, dimana Al-Qur’an tidak sekedar dibaca dalam pengertian dilafalkan, tetapi juga diejawantahkan dalam segenap sisi kehidupan.
Kita bisa ambil permisalan. Bagi seorang rektor perguruan tinggi, menjadikan wahyu sebagai basis pengembangan ilmu adalah kewajiban dan merupakan wujud dari ketaqwaan yang paling nyata. Demikian pula dengan pakar ekonomi, bagaimana bersegera menjadikan sistem ekonomi syari’ah hidup, membumi dan memberikan solusi kemiskinan umat. Spirit Ramadhan harusnya juga mendorong diri memikirkan implementasi terdalam dari ajaran Islam itu sendiri pada diri, profesi, dan keahlian yang dimiliki.
Meluaskan Interpretasi Sejarah Nabi
Saat Ramadhan, Nabi Muhammad memang sangat intens dalam ibadah secara bathiniyah dan dhohiriyah. Tetapi, jangan juga dilupakan bahwa Ramadhan adalah bulan perang dan kemenangan. Nyaris setiap pertempuran di Bulan Ramadhan kemenangan selalu Allah berikan kepada umat Islam.
Logikanya sederhana, orang berangkat ke medan perang dengan tanpa kejernihan pemikiran atas landasan iman sebagai soerang Muslim dan dalam keadaan berpuasa bukan perkara mudah. Namun, karena cara berpikir dan orientasi hidupnya adalah Allah Ta’ala, sejarah gemilang dalam perjalanan waktu umat Islam bertemu Ramadhan selalu menghadirkan catatan penuh keindahan.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita menjernihkan pemikiran selama Ramadhan dan melanjutkan setelah Ramadhan?
Pertama, iqra’ bismirabbik
Seorang Muslim tidak sama dengan orang kafir. Seorang Muslim memandang apapun dengan dan atas nama Rabb yakni Allah Ta’ala.
KH Abdullah Said (pendiri PP Hidayatullah) mengatakan, iqra’ bismirabbik melahirkan kesadaran bersyahadat, sehingga makna syahadat mengejawantah pada kesiapan diri hidup untuk Allah Ta’ala.
Seperti yang terkandung pada makna dalam firman-Nya;
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحۡيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ
لَا شَرِيكَ لَهُ ۥۖ وَبِذَٲلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۟ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matikuhanyalah untuk Allah, Rabb sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya, dandemikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”(QS. Al-An’am [6]: 162-163).
Dengan kata lain, adakah diri ini memandang segala sesuatu sebagai media beribadah dan dengan itu berkorban untuk Allah?
Soal uang misalnya, dalam kuliah di fakultas ekonomi uang adalah alat tukar dalam transaski perdagangan. Tapi bagi seorang Muslim, dibalik uang ada konsep rezeki. Rezeki dalam Islam mesti diberikan haknya, zakat 2,5 persen jika memenuhi ketentuan syariah, kemudian diberikan kepada yang tidak mampu dan untuk menolong agama Allah. Jadi, uang dalam Islam tidak menjadikan orang egois dan kapitalis seperti yang terjadi pada peradaban Barat.
Kemudian, jabatan. Bagi seorang Muslim, jabatan adalah amanah. Maka terhadap kursi kekuasaan seorang Muslim tidak perlu sampai meminta-minta kepada siapapun, apalagi sampai mencari selain Allah sebagai penguat upayayanya sampai di singgasana. Andai pun diberikan kepercayaan, ditunjuk atau dipilih, jabatan bukan media memperkaya diri, melainkan jembatan untuk semakin mudah sampai pada surga. Sebab salah satu yang dinaungi Allah kelak di hari kiamat adalah pemimpin yang adil. Dan, upaya menjadi pemimpin adil itu jelas tidak mudah dan murah.
Selanjutnya pendidikan. Apakah kita yang sudah kuliah S1, S2, bahkan sudah S3 telah merasa bangga dengan gelar akademik itu dan kemudian menjadikan sisa hidup untuk mencari pengaruh untuk mendapat gelar lebih tinggi di hadapan manusia? Atau semakin gelisah tentang bagaimana diri mengamalkan ilmu yang telah Allah percayakan pada dirinya. Apalagi kalau dikembalikan pada konsep ilmu dalam Islam, yang kata ‘ilm’ itu sendiri tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, karena ‘ilm’ dalam Islam inheren dengan makna iman dan amal.
Jadi, iqra’ bismirabbik mesti menjadikan kita kembali menjadikan apapun yang kita sandang, kita pandang dan rasakan sesuai dengan bagaimana Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Dan, Ramadhan adalah momentum tepat untuk menajamkan kembali ruh iqra’ bismirabbik ini, sehingga ada kesadaran diri dalam bidang apapun ruh ibadah kepada Allah terus menyala-nyala.
Dengan demikian kita tidak lagi semata akan sholat, haji dan menikah serta berkeluarga dengan aturan Islam. Dalam bekerja, mengelola hasil bumi, mengatur ekonomi, mengatur pertahanan sesuai dengan ajaran Islam. Termasuk dalam berperilaku sehari-hari baik di jalanan, di tempat bekerja, di laboratorium, di ruang-ruang publik, juga sesuai dengan aturan islam. Inilah tantangan yang membutuhkan ketajaman kita dalam ber-iqra’ bismirabbik.
Kedua, interaksi dengan Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menegaskan;
سَنُرِيهِمۡءَايَـٰتِنَافِىٱلۡأَفَاقِوَفِىٓأَنفُسِہِمۡحَتَّىٰيَتَبَيَّنَلَهُمۡأَنَّهُٱلۡحَقُّۗأَوَلَمۡيَكۡفِبِرَبِّكَأَنَّهُۥعَلَىٰكُلِّشَىۡءٍ۬شَہِيدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.” (QS. Fushshilat [41]: 53).
Sejauh ini, mungkin harus jujur diakui, terhadap Al-Qur’an masih lebih sering sekedar membaca. Sekalipun amalan ini telah mendatangkan banyak keutamaan, namun tidak cukup bagi kita, mengingat Al-Qur’an bukan semata bacaan, tetapi ajaran yang mesti diimplementasikan untuk kemaslahatan hidup dan kehidupan.Kemaslahatan itu sendiri akan tercipta manakala umat Islam sendiri mampu mengungkap kebenaran dari apa yang terkandung, tersamar, tersembunyi dan tersimpan di dalam makna dan hikmah setiap ayat demi ayat Al-Qur’an.
Beberapa tahap mungkin perlu dicoba, mulai dari membaca, menghafal, memikirkan (mengkaji), mencintai, mentablighkan, dan mengamalkan. Langkah-langkah ini penting sebab kebenaran Al-Qur’an tidak mungkin diungkap tanpa pengkajian dan penguasaan ilmu.
Mengingat semua itu membutuhkan perangkat ilmu dan kesungguhan serta kedisiplinan tinggi, maka jelas upaya mendekatkan diri dengan Al-Qur’an mengharuskan kita dekat dengan tradisi ilmu dan pemikiran para ulama yang mu’tabar (bukan ulama su’). Atau kepada para cendekiawan Muslim yang tidak sekuler dan liberal dalam pemikiran dan karya-karyanya.
Terlebih menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas bahwa problem utama umat Islam bukan pada ekonomi, politik dan kepemimpinan, tetapi pada problem ilmu pengetahuan. Dengan menjadikan Ramadhan sebagai bulan penjernihan pemikiran, melalui penguatan semangat iqra’ bismirabbik dan interaksi dengan Al-Qur’an secara lebih komprehensif, insya Allah adab akan tumbuh dan Islam akan mewujud dalam keseharian dan kehidupan di mulai dari Ramadhan tahun ini. Insya Allah.*