Hidayatullah.com—Hillary Clinton boleh berbesar hati karena menjadi wanita pertama dalam sejarah Amerika Serikat yang dicalonkan sebagai presiden, tetapi dia tidak akan mendapatkan suara dari sebagian pendukung Partai Demokrat, terutama pendukung Bernie Sanders, menyusul kebocoran email kongkalikong pencalolannya.
Hari Rabu (27/7/2016) ribuan pendukung Bernie Sanders berunjuk rasa di luar gedung Konvensi Nasional Demokrat (DNC) di Philadelphia. Mereka meneriakkan pencabutan dukungan terhadap istri mantan presiden Bill Clinton itu.
Dalam pemilihan kandidat calon presiden Partai Demokrat, Bernie Sanders berhasil mengumpulkan 1.865 suara dari 14 negara bagian dan teritori, sementara Clinton menang di 42 negara bagian dan teritori dengan 2.842 suara. Untuk menjadi calon unggulan partai seorang kandidat wajib mengumpulkan sedikitnya 2.382 suara.
Awalnya, kekalahan Sanders itu bisa diterima dengan lapang dada, bahkan Bernie Sanders memberikan dukungan untuk pencapresan Clinton. Namun, setelah kebocoran puluhan ribu email tentang kongkalilong dalam tubuh partai agar kandidat capres selain Clinton dimarjinalkan dan dukungan penuh diberikan kepada Hillary Clinton, tak ayal hujan protes dan kecaman pun bermunculan dari para pemilik suara terutama pendukung Bernie Sanders, yang sempat digadang-gadang sebagai capres AS dari Demokrat.
Akibat email-email tersebut terungkap ke publik lewat WikiLeaks, Debbie Wasserman Schultz mundur dari jabatannya sebagai ketua Partai Demokrat.
“Saya tidak kehilangan respek terhadap Bernie. Saya paham dia dipaksa ‘bermain bola’ dengan Demokrat dan dia melakukan yang diperintahkan,” kata Maria Guido dari Pittsburgh yang mengenakan atribut bertuliskan #NeverHillary seperti dikutip Deutsche Welle.
Christopher Norris aktivis dari NextGen Climate berkata dengan bangga, “Saya sudah memilih Bernie.”
“Saya tidak mendukung korupsi,” imbuhnya, merujuk pada kongkalikong yang terkuak lewat bocoran email belum lama ini.
Sejumlah pengunjuk rasa anti-Hillary Clinton itu mengaku akan menuliskan nama Bernie Sanders di surat suara dalam pemilu mendatang, daripada memilih capres dari partai ketiga. Pasalnya, jika mereka memilih kandidat ketiga dalam pilpres mendatang hal itu justru akan menguntungkan Donald Trump dari Partai Republik.*