Mohammad Hatta menafsiran Pancasila mengandung maksa, Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam dan menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah NKRI
Oleh: Kholili Hasib
Hidayatullah.com | PENAFSIRAN Pancasila semestinya sesuai dengan cara pandangan pendiri bangsa terhadap Negara ini sebagaimana yang telah disepakati. Sila Pertama Pancasila, misalnya, tentu tidak mungkin bisa didamaikan dengan ateisme.
Akar-akar ateisme tidak ditemukan dalam jati diri bangsa Indonesia. Dalam catatan sejarah, justru ateisme – melalui alat komunisme – banyak dilumuri oleh kekerasan dan radikalisme.
Pada 21 Desember 1983, Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Situbondo, Jawa Timur, memutuskan satu poin penting tentang “tafsir” Pancasila. “Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam”.
Demikian salah satu keputusan Munas Alim Ulama NU tersebut. Keputusan ini bersejarah.
Sebelumnya, di kalangan umat Islam, bahkan internal NU masih pro dan kontra tentang asas tunggal Pancasila. Beredar juga beragam pendapat tentang tafsir-tafsir sila-sila Pancasila.
Maka itu, diperlukan keputusan tentang Pancasila oleh NU. Namun, alim ulama NU memutuskan poin di atas bukan tidak memiliki dasar.
Suatu ketika KH. Bisri Syansuri menghadap Presiden Soeharto dan bertanya: “Pak Presiden, apakah benar jika kami memahami Ketuhanan Yang Esa itu tauhid”? Presiden Soeharto menjawab: “Iya”. KH. Muhammad Isa Ansori berpendapat bahwa nilai ketuhanan menjadi asas filsafat Pancasila.
Penjagaan Pancasila haruslah dengan cara mengaplikasikan sila pertama ke dalam sila-sila lainnya.
Penafsiran Pancasila yang diputuskan Munas NU tahun 1983 tersebut sesungguhnya pernah dikemukakan oleh Bung Hatta. Pada 18 Agustus 1945, menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan UUD 1945, Bung Hatta bertemu dengan beberapa pemimpin Islam.
Dalam pertemuan itu, perwakilan Islam dapat menerima penghapusan “tujuh kata” yang tercantum dalam Piagam Jakarta, karena dua alasan yang diterima dan dikemukakan oleh Bung Hatta.
Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah negara yang baru diproklamasikan sehari sebelumnya (M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik, hal. 339).
Selain itu, yang menjadi dasar keputusan Munas NU itu adalah Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya sebenarnya dijiwai oleh Piagam Jakarta. Buktinya, perubahan kalimat “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam pembukaan dan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bukan sekadar artifisial belaka tanpa memiliki kesinambungan makna. Bahwa hal itu ditegaskan “menjiwai” dan “merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi”, yang merupakan kesinambungan makna.
Mendiang Jendral Abdul Haris (AH) Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta pada 22 Juni 1963 di Jakarta mengatakan, rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hal. 29-30).
Mantan Rais Am PBNU, KH. Achmad Siddiq pernah menyatakan: “Kata ‘Yang Maha Esa’ pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata ‘Yang Maha Esa’ merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu mencerminkan pengertian tauhid menurut akidah Islamiah. Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, kita bersyukur dan berdoa”.
Dengan mengamalkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa diharapkan, bangsa Indonesia dapat memelihara keimanan dan ketakwaan yang menjadi nilai penting pembentukan etika bangsa yang baik. Karena sumber etika itu dari Tuhan Yang Maha Esa.
Aplikasi nilai ketuhanan ini yang mendasarkan pada hablun minallah (hubungan dengan Allah) berkonsekuensi logis harus menyambung hablum minannas (hubungan sosial dengan manusia), yakni membangun harmonisasi sosial dengan sesama manusia sebagai keseimbangan hidup di dunia.
Penafsiran Pancasila semestinya sesuai dengan cara pandangan pendiri bangsa terhadap Negara ini sebagaimana yang telah disepakati. Sila Pertama Pancasila tentu tidak mungkin bisa didamaikan dengan ateisme.
Akar-akar ateisme tidak ditemukan dalam jati diri bangsa Indonesia. Dalam catatan sejarah, justru ateisme – melalui alat komunisme – banyak dilumuri oleh kekerasan dan radikalisme.
Ateisme pernah tumbuh subur di Indonesia melalui ajaran-ajaran partai politik PKI (Partai Komunis Indonesia). Pemberontakan PKI pada 30 September 1965 merupakan bukti nyata ateisme-komunisme berupaya mengkudeta ideologi bangsa.
Pahlawan yang sejati itu tidak pernah memerangi, membantai dan membunuh bangsanya sendiri. Apalagi seagama. Sebagian aktivis PKI dan simpatisannya pernah terlibat aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Namun, ketika PKI melakukan memberontakan dua kali (1948 Madiun dan 1965 di Jakarta), maka sulit mereka ini disebut pahlawan sejati. Korban yang dibunuh bukan bangsa kolonial, tetapi rakyat sendiri bahkan pemimpin sendiri.
Maka, kembali kepada “penafsiran” pendiri bangsa terhadap Pancasila merupakan gerakan rekonsiliasi Nasional. Tiada namanya rekonsiliasi dengan memafkan para pengkudeta Pancasila.
Tidak disebut rekonisiliasi Nasional jika memaafkan para pemberontak dan pembunuh para pahlawan. Jalan satu-satunya rekonsiliasi adalah kembali kepada Pancasila dan UUD 1945.
Hari rekonsiliasi Nasional juga harus diingat. Yaitu tanggal 22 Juni 1945. Di tanggal tersebut, Pancasila resmi disepakati oleh para pendiri bangsa dan para utusan yang berbeda suku dan agama.
Karena telah disepakati maka tidak ada jalan untuk memeras Pancasila menjadi trisila atau eka sila. Pancasila pada 1 Juni 1945 yang dibacakan oleh Bung Karno itu belum menjadi keputusan bersama.
Susunan sila yang dibaca tidak seperti yang kita kenal sekarang. Bisa dikatakan, belum ada Pancasila pada tanggal tersebut (tanggal 1 Juni) hingga tanggal 22 Juni 1945. Pada tanggal tersebut ditetapkan Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta, hasil kesepakatan bersama di antara berbagai elemen bangsa. Tanggal ini sesungguhnya hari bersejarah dari Pancasila itu.
Pancasila yang dikukuhkan pada tanggal tersebutlah (tanggal 22 Juni termaktub dalam Piagam Jakarta) yang menjadi lambang rekonsiliasi nasional.
Roeslan Abdulgani pada 1976, pernah mengatakan bahwa secara politis Pancasila merupakan lambang rekonsiliasi nasional. Meski begitu, dia mengatakan, “kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa” itu yang paling penting dalam nasionalisme.*
Aktivis muda Nahdhatul Ulama (NU), doktor bidang Akidah dan Filsafat Islam dan pengajar di Institut Agama Islam Darullughah Wadda’wah (IAI DALWA) Pasuruan
Yuk bantu dakwah media melalui BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH)