Oleh: Aditya Abdurrahman Abu Hafizh
Kedua, pemunculan sosok banci/waria di tayangan komedi televisi secara berulang-ulang akan memberikan dampak pada peningkatan rasa percaya dirinya kaum banci/waria di masyarakat.
Masyarakat pun demikian, karena terbiasa ditayangkan di televisi, dan begitu digemari gurauannya, lama kelamaan sosok banci/waria bukan menjadi hal yang asing. Mereka tidak lagi minder menunjukkan dirinya di ranah publik. Karena mereka juga telah merasa mendapat porsi peran di media massa.
Masih ingat bagaimana fenomena The Virgins menjangkiti remaja-remaja perempuan jaman sekarang?
Sesekali-lah jalan-jalan di beberapa mall di Surabaya ketika malam minggu, anda akan melihat banyak pasangan sesama perempuan yang jalan berduaan sambil bergandengan tangan mesra.
Tipikal style-nya sama: yang satu berambut lurus panjang, sedangkan pasangannya berambut gaya polem emo-style. Keduanya persis seperti sosok duo The Virgins yang ketika itu sedang booming di Indonesia.
Mengapa dampak terpaan tayangan televisi demikian berpengaruh?
Hal ini terjadi karena media massa memiliki power yang luar biasa dalam membentuk opini dan kepercayaan terhadap publik. Mungkin ini yang dimaksud oleh John Fiske dengan istilah, “persuasion in matters of opinion & belief.”
Ketiga, tayangan komedi dengan sosok banci bisa memicu kemunculan pelaku-pelaku banci yang baru di masyarakat.
Dalam satu kuliah Manajemen Media Massa di sebuah kampus ternama di Surabaya, salah satu owner stasiun televisi swasta paling bergengsi di Indonesia mengatakan bahwa media massa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat.
Tidak sulit bagi kita membayangkan jika tayangan-tayangan humor dengan menonjolkan sosok banci itu ditayangkan di televisi kemudian di tonton oleh anak-anak kecil yang seharusnya diusia itu mereka harus tegas diberikan pengajaran tentang pembedaan jenis kelamin.
Disaat usia yang seharusnya dia tahu bahwa celana itu pakaian untuk jenis kelamin laki-laki saja, sedangkan rok itu pakaian untuk jenis kelamin perempuan saja, dan masing-masing tidak boleh saling bertukar pakaian untuk menegaskan identitas dirinya secara tegas, kemudian dia harus diterpa dengan representasi membingungkan para banci di televisi, jelas itu akan merusak pemahamannya.
Belum lagi, anak-anak itu akan lebih bingung melihat orang-orang dewasa disekitarnya justru menikmati lawakan yang dimainkan para banci itu di televisi.
Sikap kita
Hidup ditengah arus globalisasi komunikasi dan informasi seperti sekarang ini memang penuh dengan fitnah dan tantangan. Hampir mustahil kita bisa melepaskan diri sepenuhnya dari arus fitnah yang ada.
Media massa sudah bukan lagi agen yang bisa kita berikan kepercayaan penuh untuk mendidik dan memberikan informasi positif kepada kita.
Keharusan mereka untuk bertahan hidup di era persaingan ini membuat mereka buta dengan nilai-nilai positif yang seharusnya mereka bawa.
Mereka lebih tergiur dengan nilai keuntungan material yang bisa menyokong kelangsungan hidup perusahaan meskipun itu tidak mengandung manfaat apapun, atau bahkan justru berdampak negatif, daripada harus berjuang menyebar nilai-nilai positif dimasyarakat yang tidak mendatangkan keuntungan melimpah dari rating. Maka berinteraksi dengan media televisi yang menjadikan rating sebagai tujuan utamanya harus super hati-hati.
Menjadi pemirsa yang kritis dan selektif menjadi wajib demi memproteksi diri kita dan generasi penerus kita. Namun menjadi kritis dan selektif itu tidak mudah, ada modal berupa ilmu dan keistiqomahan yang harus kita miliki sebelumnya.
Sementara itu tugas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sesuai Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3 harusnya bertujuan memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Nah, melihat kasus waria, apakah KPI sudah cukup mampu ‘membia watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa? Wallahua’lam.*
Penulis adalah Pimred situs Undergroundtauhid.com