Oleh: Jauhar Ridloni Marzuq
AWAL bulan ini, dunia international diramaikan dengan berita dimulainya pemberlakukan hukum pidana Islam (Qanun Hukuman Jenayah Syar’iah) di Brunei Darussalam.
Negara kesultanan yang terletak di wilayah utara Kalimantan itu resmi memberlakukan hukum pidana Islam sejak 1 Mei 2014 M/1 Rajab 1435 H, sesuai dengan titah Sultan HassanalBolkiah yang disampaikan pada 30April 2014 lalu.
Ini adalah pemberlakukan Qanun Hukuman Jenayah Syar’iah (QHJS) fase pertama hari, yang meliputi hukuman denda atau penjara atas pelanggaran seperti kehamilan di luar nikah, meninggalkan shalat Jumat dan mengajarkan agama tanpa izin.Tahapan kedua rencananya akan diberlakukan sebelum akhir tahun ini, yang meliputi hukuman potongtangan bagi pencuri dan cambuk bagi pemakai barang-barang yang memabukkan.
Sementara tahapan ketiga akan diberlakukan 12 kemudian, yang meliputi hukuman lebih berat lagi, seperti hukuman mati dengan cara rajam untuk tindak pidana seperti homoseksual, sodomi dan perzinahan setelah menikah.
Dengan mulai berlakunya fase pertama QHJS ini, maka Brunei telah menjadi Negara pertama yang menerapkan hukum pidana Islam di Asia Tenggara pada era modern ini.
Hukum Islam dan HAM
Keputusan Brunei untuk menerapkan hukum pidana Islam tentu tidak lepas dari kritik. Sebelumnya, hari Kamis (08/05/2014), media-media internasional memberitakan adanya ancaman boikot dari para selebritis Holywood terhadap jaringan The Beverly Hills Hotel yang dimiliki Sultan Hassanal Bolkiah.
Beberapa waktu sebelumnya, PBB dan AS juga telah memberikan peringatan kepada Brunei agar meninjauulang keputusan penerapan hukum pidana Islam ini. Kesemuanya itu didasarkan pada alasan bahwa hukum pidana Islam dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM).
Tentu, HAM yang dimaksud oleh Barat adalah HAM berdasarkan perspektif mereka. Kesalahan Barat selama ini adalah memaksakan ide-ide mereka agar menjadi ide global dan harus diikuti oleh seluruh dunia, termasuk masalah HAM ini. Padahal, jika mau ditilik lebih dalam, HAM Barat memiliki banyak perbedaan dengan HAM dalam Islam.
HAM Barat lebih menitik beratkan pada sisi-sisi kebinatangan manusia, seperti kebebasan seks dengan siapa saja, termasuk sesama jenis. Initerbukti dengan bentuk keberatan yang paling dipermasalahkan oleh AS dan PBB adalah hukuman rajam bagi pezinah, pelaku homoseksual dan sodomi.
Islam memandang manusia sebagai makhluk terbaik ciptaan Tuhan. Sebagai makhluk terbaik, manusia diberikan hak-hak yang tidak diberikan olehmakhluk-makhluk lainnya. (QS Al-Isra [17]: 70).
Makhluk-makhluk yang lain mungkin hanya diberi hak hidup saja.Tapi manusia diberi hak hidup, hak berpikir, hak beragama, hak memiliki, dan hak untuk memanfaatkan dan mengeksplorasi alam untuk kepentingan mereka.
Dengan hak yang sedemikian istimewa, maka manusia harus mempunyai satu sistem untuk menjaga dan memeliharanya. Jangan sampai ada yang menodai hak-hak tersebut, baik menodainya dengan diri sendiri atau dinodai oleh orang lain. Di sinilah Allah sebagai pemberi hak-hak tersebut “turun-tangan” untuk menjaganya. Hukum-hukum dalam Islam, tidak lain adalah salah satu cara Allah –setelah memberikan hak-hak istimewa kepada manusia-untuk menjaga hak-hak tersebut.
Hukum Islam ditetapkan bukan untuk menyiksa manusia.Hukuman yang tegas dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan ketakutan kepada orang lain. Dengan efek jera tersebut, maka diharapkan akan lahir ketenangan dan rasa aman antar para anggota masyarakat. Dari sinilah landasan awal lahirnya kehidupan bermasyarakat yang aman, damai, sentosa dan sejahtera.
Dengan demikian, maka hukum Islam sejatinya sangat humanis.Hukum Islam tidak diturunkan kecuali untuk kebaikan manusia.Menjaga hak-hak asasi mereka. Hak beragama (hifdzuddin), hak berpikir (hifdzul ’aql), hak berketurunan (hifdzunnasl), hak hidup (hifdzunnafs), dan hak kepemilikan (hifdzul mal).
Pertaruhan Masa Depan Hukum Islam
Selama ini, yang sering dipersepsikan sebagai contoh negara yang menerapkan hukum Islam secara penuh adalah Saudi Arabia. Namun, Saudi yang mengikuti mazhab fikih Hambali dan mazhab akidah Wahabi memberikan stigma sebagai negara yang kaku dan rigid.
Disadari atau tidak, kondisi ini menimbulkan suatu pemikiran bahwa seperti itulah jika hukum Islam ditegakkan di suatu negara. Sehingga ada kesan, hukum Islam dipersepsikan sebagai sebuah hukum yang sadis dan ganas. Sedikit-sedikit serba haram, bid’ah atau potong tangan.
Belum lagi letak geografis Saudi yang berada di kawasanTimur Tengah, di mana berdekatan dengan sumber-sumber konflik global seperti Palestina, Iraq, Suriah dan Mesir, memberikan persepsi bahwa ajaran Islam seakan-akan jauh dari nilai-nilai perdamaian.
Tentu ini berbeda dengan Brunei Darussalam.
Brunei mengikuti mazhab fikih Syafii yang terkenal sangat lentur dan adaptif terhadap adat-istiadat dan kemaslahatan setempat. Mazhab akidah yang diikuti Brunei juga Asy’ari yang cukup terbuka dengan penalaran akal. Belum lagi, letak geografis Brunei yang berada di Asia Tenggara dengan tradisi melayunya dicitrakan sebagai bangsa yang ramah, damai dan jauh dari zona konflik global.
Dari sinilah penerapan hukum Islam di Brunei bisa menjadi pertaruhan bagi masa depan hukum Islam. Jika berhasil membawa kemajuan, keadilan, keamanan dan kesejahteraan, maka Brunei bisa menjadi altertatif baru bentuk negara Islam selain Saudi Arabia atau Pakistan yang sering bergejolak. Jauh dari zona konflik global memberikan peluang bagi Brunei untuk mensinergikan ajaran-ajaran Islam dan nilai-nilai kedamaian.
Jika berhasil, Brunei akan menjadi prototipe baru bagi penerapan hukum Islam di era modern ini. Dan itu bisa jadi akan menarik perhatian negara-negara Islam lain untuk mengikutinya.
Selain itu, doktrin bahwa ajaran Islam tidak hanya terbatas pada masyarakat Arab, tetapi untuk semua umat manusia di seluruh penjuru tempat tidak akan lagi bisa terbantahkan. Di sinilah kenapa respon Barat, aktivis HAM nampak begitu ketakutan mendapatkan Brunei menerapkan hukum jenayah syariah ini.*
Penulis adalah alumnus Universitas Al-Azhar Mesir, Pengajar Agama danBahasa Arab di Sekolah Islam Al-Falaah, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam