oleh: Muh. Nurhidayat
ISRAEL kembali melancarkan agresi militer kepada negara jajahannya, Palestina. Dewan Keamanan PBB mengerahkan pasukan perdamaian untuk membantu Palestina.
Salah satu anggota PBB yang bertugas menghentikan agresi Israel adalah Indonesia. Negara ini mengirimkan lebih dari seribu personil Pasukan Garuda dari semua matra (TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU). Untuk mempermudah tugas personilnya, Indonesia mengerahkan alat utama sistem persenjataan (alutsista) berupa: 1 kapal perang kelas frigat, 3 pesawat tempur jet, 7 helikopter serbu, 5 tank darat, 6 tank amfibi, 1 truk peluncur misil antar benua, serta 8 truk peluncur misil anti serangan udara.
Selain itu, Pasukan Garuda juga dilengkapi armada pendukung alutsista, yang meliputi: 3 pesawat angkut tipe turboprop, 7 helikopter angkut, 30 truk angkut, 12 panser, 10 kendaraan taktis (rantis), 9 truk pemadam kebakaran, 10 ambulan, 3 truk ‘rumah sakit’ bergerak, 1 truk tanki air bersih, 3 truk genset, serta 1 trailer kargo.
Semua armada alutsista maupun kendaraan pendukung alutsista itu tidak ada yang diimpor dari negara lain, alias buatan dalam negeri. Kehebatan kendaraan tempur ‘made in Indonesia’ terbukti dapat memukul mundur tentara Israel. Para pasukan penjajah itu tidak berkutik menghadapi kecanggihan armada militer Pasukan Garuda.
Berkenalan dengan Minikar
Peristiwa di atas belum pernah terjadi di dunia nyata. Hanya sebatas ‘peristiwa’ dalam permainan. Semua kendaraan tempur yang disebutkan di atas bukanlah alat perang sungguhan, melainkan hanya minikar. Penulis senang bermain minikar bersama anak laki-laki penulis.
Sejak 2011 lalu, penulis memiliki hobi membuat mainan yang penulis namakan “minikar”. Penulis juga mengajarkan tutorial secara otodidak cara pembuatan mainan tersebut kepada anak-anak, remaja, maupun orang dewasa secara terbatas. Baik di lingkungan rumah maupun kantor (kampus) penulis.
Istilah “minikar” merupakan kependekan dari frase kata “miniatur ukir dari karet penghapus”. Jadi, batangan-batangan karet penghapus diukir sedemikian rupa hingga bentuknya menyerupai kendaraan darat, laut, maupun udara.
Setelah diukir, penghapus dilapisi cat poster, yang warnanya disesuaikan dengan warna kendaraan aslinya. Seperti minikar panser yang beroperasi di gurun, tentu saja dicat coklat kekuning-kuningan (krem) yang sesuai dengan warna padang pasir.
Mungkin minikar tergolong sebagai mainan yang masih baru. Sebab hingga kini belum ada buku-buku maupun artikel-artikel di media massa yang membahas mainan tersebut.
Sebenarnya minikar telah lama dipakai sebagai pajangan pelengkap pada maket desain arsitektur. Namun bentuk maupun warna minikar pada maket umumnya sangat sederhana. Sebab penentu utama bagus-tidaknya maket adalah desain arsitektur itu sendiri, bukan minikarnya. Lagipula dalam skala tertentu, peran minikar telah lama pula digantikan oleh miniatur mobil pabrikan berbahan utama metal.
‘Militainment’ yang Dipersalahkan
Pakar cultural studies Barat, Stahl (2011) menyebut segala mainan yang bertema militer dengan istilah “militainment”. Secara epistemologis, istilah ini berasal dari 2 kata: “military” (militer) dan “entertainment” (hiburan). Sehingga militainment dapat diartikan sebagai sarana hiburan yang bertema kemiliteran.
Berdasarkan pendapat Stahl, maka bisa dikatakan bahwa minikar berbentuk kendaraaan tempur termasuk dalam kategori ‘militainment’. Meskipun secara umum ada pula minikar yang tidak tergolong sebagai ‘militainment’ seperti minikar berwujud kendaraan untuk bidang lainnya. Penulis juga aktif membuat minikar kendaraan non militer, seperti armada untuk pembangunan sarana fisik yang meliputi: truk dam (pengangkut material pembangunan), truk mikser, truk kren (katrol), traktor, buldoser,eskavator, serta ‘sepur tumbuk’ (pengaspal jalan).
Stahl (2011) menganjurkan agar para orangtua tidak memberikan anak laki-laki mereka sarana ‘militainment’, seperti mainan senjata, miniatur kendaraan tempur, ataupun ‘game’ perang-perangan. Sebab mainan seperti ini dapat menjadikan anak (laki-laki) bertemperamen kasar dan senang dengan kekerasan.
Benarkah pendapat Stahl? Data empiris di AS memang mencatat ada beberapa tindakan kekerasan bersenjata oleh anak-anak di bawah umur yang ‘keranjingan’ bermain ‘video game’ bertema perang-perangan. Seperti kasus sekelompok murid SMP yang membawa senjata api ke sekolah mereka, lalu menembakkan senjatanya secara acak sehingga banyak teman dan guru mereka menjadi korban tewas maupun cedera.
Namun demikian, banyak pakar sosial yang mengisyaratkan bahwa ‘militainment’ tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya penyebab kekerasan yang dilakukan anak-anak. Sebab ada banyak faktor yang harus diperhatikan, seperti eksistensi berbagai institusi yang melingkupi anak-anak di antaranya: negara, keluarga, sekolah, dan–yang paling berpengaruh–media massa.
Jika anak-anak yang berada di lingkungan negara liberal–seperti AS–yang melegalkan peredaran senjata di masyarakat; hidup dalam keluarga bermasalah (“broken home’); belajar di sekolah yang diskriminatif dan permisif–terutama atas fenomena ‘bullying’ terhadap siswa minoritas; dan hidup dalam sistem media yang liberal-kapitalistik (banyak menampilkan tema maupun konten kekerasan); maka sang anak dapat terdorong melakukan kekerasan, dengan atau tidak didahului bermain perang-perangan.
Begitu pula sebaliknya, anak-anak aman mengakses ‘militainment’ (seperti bermain miniatur kendaraan perang) jika lingkungan sekitarnya tidak seliberal AS. Sehingga pendapat Stahl tidak dapat digeneralisir untuk semua anak dan semua tempat (negara).
Pandangan yang meyakini ‘militainment’ bukan satu-satunya penyebab munculnya perilaku kekerasan oleh anak, didukung oleh sejumlah teori sosial. Salah satunya adalah Teori Belajar Sosial yang pertama kali digagas Miller & Dollard tahun 1941 silam. Keduanya membuktikan bahwa seseorang belajar meniru (imitasi) dan mengidentifikasi sikap / perilaku dari pengamatannya terhadap banyak faktor lain di luar dirinya sendiri dalam lingkungannya. Teori ini beberapa tahun kemudian disempurnakan oleh pakar sosiologi komunikasi, Albert Bandura. (Baran & Davis, 2012)
Justru faktor paling kuat dalam melahirkan temperamen kasar dan perilaku kekerasan oleh anak adalah media massa, dalam hal ini televisi. Bandura mengungkapkan, “Media (televidi) dapat memiliki efek langsung terhadap orang-orang dan pengaruhnya tidak harus diperantai oleh pengaruh pribadi ataupun jejaring sosial.” (McQuail, 2011). Bandura juga menegaskan, “Manusia akan melakukan kekerasan jika banyak disuguhi tayangan kekerasan.” (West & Tuner, 2010)
Dengan demikian, insya Allah ‘militainment’ seperti miniatur kendaraan tempur, lebih khusus lagi dari jenis minikar sangat aman dimainkan oleh anak-anak di bawah umur, jika sang anak berada dalam suasana yang tidak seliberal AS. Apalagi, anak laki-laki insya Allah terhindar dari karakter kasar dan perilaku kekerasan jika dalam bermain minikar kendaraan tempur ditemani dan dibimbing orangtua, terutama ayah.
Secara fitrah, anak laki-laki perlu dikenalkan dengan bidang ketentaraan untuk menanamkan sifat kesatria pada mental mereka. Sebab dunia ini tidak hanya didiami oleh orang-orang (bangsa) baik saja, tetapi juga dihuni oleh orang-orang (bangsa) tidak baik, yang setiap saat dapat mengganggu keselamatan harta, jiwa, raga, bahkan kehormatan kita.
Dengan penanaman sifat kesatria pada anak laki-laki sejak dini, diharapkan setelah remaja dan dewasa kelak akan memiliki nyali–dan kemampuan tentunya–untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari gangguan pihak-pihak (terutama bangsa) pengganggu.
Soepriyadi (2001) mencontohkan bahwa Indian dan bangsa-bangsa pribumi Amerika dapat dengan mudah dijajah bangsa-bangsa Eropa yang dipimpin Christopher Columbus, Lazzaro Pizaro, dll. bukan karena mereka tidak pandai bertempur. Tetapi mereka tidak punya nyali untuk berperang melawan bangsa Eropa. Orang-orang pribumi Amerika memiliki–kekeliruan fatal dalam–keyakinan mereka, bahwa orang-orang yang datang dari lautan (di luar tanah Amerika) adalah bangsa keturunan dewa. Sehingga mereka pasrah saja dijajah dan dizhalimi bangsa Eropa selama beberapa abad.
Padahal, penulis sejarah kontemporer, Somadinata (2015) membuktikan bahwa bangsa-bangsa pribumi Amerika seperti Apache, Comanche, dan Aztec termasuk dalam daftar 21 komunitas yang paling brutal dan mematikan dalam sejarah peperangan antar manusia.
Rasulullah saw. dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan An Nasa’i menyebutkan bahwa mengajari anak-anak memanah bukan termasuk perbuatan yang sia-sia. Artinya, perbuatan tersebut merupakan amalan yang memiliki keutamaan. Begitu utamanya, sampai Khalifah Umar bin Khattab ra. menganjurkan, “Ajari anak-anakmu berenang, memanah, dan naik kuda.”
Panah merupakan senjata canggih zaman dahulu–sebelum diciptakannya senjata api–yang dipakai untuk 2 keperluan: berburu binatang dan berperang. Lantas, mengapa Rasulullah saw. dan Umar bin Khattab ra. memandang penting mengajari anak-anak memanah (bermain senjata)?
Jawabannya, tidak lain, bidang kemiliteran adalah modal yang harus dikuasai bangsa-bangsa baik, agar memiliki ‘izzah’ sehingga tidak gampang dijajah ataupun dizhalimi bangsa-bangsa tidak baik (kasarnya: bangsa jahat).
Dengan demikian, memberikan anak-anak mainan bertema militer (seperti minikar) sebagai sarana hiburan (‘militainment’) tidak sebahaya yang dikhawatirkan oleh Stahl. Wallahua’lam.*(Bersambung)
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro. Aktif membuat dan mengajarkan tehnik pembuatan minikar sebagai ‘edutainment’