Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Fahmi Salim
TENTU saja 4 butir sikap resmi PP Muhammadiyah itu keluar setelah mengkaji doktrin dan ajaran Syi’ah Imamiyah (Rafidhah, yang berkembang di Indonesia) dengan menjadikan Al-Quran dan Sunnah Shahihah sebagai alat dan standar penelitiannya. Apalagi, Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Ketua PP Muhammadiyah sekaligus Ketua MUI Pusat bidang Pengkajian telah mensupervisi langsung buku Panduan MUI tentang “Penyimpangan Syi’ah di Indonesia”.
Ijinkan saya yang bodoh ini bertanya kepada Buya Maarif yang mumpuni ilmunya melebihi kapasitas saya yang fakir ilmu. Apakah ada di dalam Al-Qur’an, ada ayat yang menyatakan bahwa imam (pemimpin politik dan agama) itu maksum (infallible, suci dari dosa)?
Adakah ayat Qur’an atau satupun hadis Nabi yang sahih menegaskan penunjukan Ali bin Abi Thalib dan 11 keturunannya sebagai imam pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam? Adakah ayat Qur’an atau hadis shahih yang menyatakan imamah Ali dan keturunannya itu adalah salah satu pokok ajaran agama Islam (termasuk Rukun Iman yang Enam)? Adakah ayat Qur’an atau hadis Nabi yang membolehkan bahkan menganjurkan kita mencela dan mengkafirkan para Sahabat dan istri Nabi sebagaimana yang diamalkan oleh kaum Syi’ah [plus Khawarij]? Adakah ayat Qur’an atau hadis sahih yang membenarkan doktrin bahwa Al-Qur’an yang di tangan muslimin se-dunia sejak wafatnya Nabi hingga saat ini dan nanti adalah palsu, tidak lengkap dan tidak orisinil, juga telah hilang karena turut hilangnya (ghaib) Imam Mahdi yang ditunggu kaum Syi’ah itu? Sebagaimana yang diimani dan didoktrinkan Syi’ah selama ini, sehingga meresahkan umat Islam di tingkat akar rumput, dengan penyebarannya yang massif.
Pertanyaan sederhana saya itu adalah dalam rangka memverifikasi doktrin-doktrin Syi’ah itu dengan Al-Qur’an dan Sunnah Shahihah yang menjadi pedoman akidah Muhammadiyah, sebagaimana keinginan Buya Maarif.
Keempat, benarkah Sunni lahir karena perpecahan politik? Tentu saja hemat saya, tidak benar seperti itu. Sunni adalah doktrin dan ajaran Islam yang diyakini dan dipraktekkan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya pada masa Nabi hidup maupun sesudah wafatnya, bahkan jauh berpuluh tahun sebelum terjadinya konflik politik (Perang Onta dan Perang Shiffin) seperti yang diuraikan oleh Buya Maarif. Ia adalah akidah yang diajarkan langsung oleh Rasulullah yang diturunkan langsung dari Al-Qur’an berupa penjabaran rukun Iman, Islam dan Ihsan, sikap terhadap keutuhan dan keaslian Al-Qur’an, sikap terhadap sahabat Nabi dan lain-lain. Berbeda dengan Sunni, maka Syi’ah dan Khawarij lah yang merupakan produk sejarah konflik politik tersebut. Ajaran dan doktrin mereka tidak pernah dikenal di jaman Rasulullah, sebagai puncak sempurnanya ajaran Islam sebagaimana diwahyukan Allah dalam surah al-Maidah ayat 3.
Lalu apa benar Sunni diberhalakan? Yang lalu dituding penyebab hancurnya persaudaraan sejati umat Islam? Apa pernyataan Buya tersebut tidak paradox dan justeru bertentangan dengan rumusan akidah yang baku dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah? Apakah pendapat Buya yang khas Sunni mengatakan, “Menurut hadist, sebagai sahabat Nabi, mereka yang terlibat dalam peperangan ini telah dijamin masuk surga” itu juga sebagai suatu yang diberhalakan?
Mari kita lihat pedoman akidah dalam Kitab Iman HPT Muhammadiyah halaman 22 sebagai berikut:
“Inilah pokok-pokok akidah [Rukun Iman yang Enam] yang benar sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta didukung oleh atsar yang mutawatir. Barang siapa yang meyakini semuanya itu dengan mantap maka ia adalah termasuk ahlul haq wal sunnah (golongan yang menetapi kebenaran dan konsisten dengan sunnah Nabi), dan berlepas dari ahlul bid’ah wal dholal (golongan yang menetapi bid’ah dan kesesatan).” (lihat HPT Muhammadiyah, cet. Penerbit Suara Muhammadiyah, November 2011, hlm.22-23)
Begitu pula teologi Muhammadiyah menegaskan mengikuti manhaj Ahlus Sunnah yang diistilahkan oleh HPT Muhammadiyah (hlm.13) sebagai al-Firqoh an-Najiyah min al-Salaf, yaitu firqoh yang terjamin keselamatannya dari kalangan salaf. Dimana istilah itu merujuk kepada hadis Abdullah bin ‘Amr RA, yang dimaktubkan pada halaman 23 Kitab Iman HPT, bahwasanya Rasulullah Shallahu ‘aihi Wassallam bersabda, “Niscaya akan datang kepada ummatku apa yang telah datang kepada Bani Israil, teladan jejak kaki mengikuti jejak kaki (hadzwan na’li bil-na’li) sampai kalau ada orang yang menggagahi ibunya dengan terang-terangan pastilah diantara ummatku ada pula yang berbuat demikian. Dan bahwa Bani Israil telah bercerai-berai menjadi 72 aliran dan ummatku akan bercerai-berai menjadi 73 aliran; semuanya masuk neraka, kecuali satu aliran”. Kata sahabat: “Siapakah aliran yang satu itu ya Rasulullah?” Jawab beliau: “Ialah mereka yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku.” (HR. at-Tirmidzi)
Jika demikian halnya rumusan akidah dan manhaj Muhammadiyah itu adalah Sunni, apakah Muhammadiyah yang telah lewat berusia 100 tahun ini pula dianggap memberhalakan Sunni, dan turut pula dituding sebagai penyebab hancurnya persaudaraan sejati umat Islam?
Pun tokoh besar ulama Muhammadiyah, Buya Prof. HAMKA, dalam artikelnya di Kompas pada tanggal 11-Desember-1980, telah menulis, “Kita di Indonesia ini adalah golongan Sunni”, “Dan saya pun tetap seorang Sunni yang tak perlu berpegang pada pendapat orang Syi’ah dan ajaran-ajaran Ayatullah”. Apakah lalu Buya Maarif berani dan tega mengatakan bahwa Buya HAMKA dengan ketegasan ucapannya itu, adalah telah menjadikan Sunni sebagai ‘berhala’, dan karena afiliasi Sunni-nya lalu dianggap ikut menghancurkan persaudaran sejati ummat Islam? Insya Allah Buya Maarif tidak setega itu.
Semoga saya tidak berlebihan menilai Buya Maarif dengan tulisan ringan ini. Dan semoga juga ada yang berbaik hati menyampaikan guratan pena ini kepada Buya Maarif, tokoh yang saya hormati. Wallahu a’lam bil-shawab.*
Penulis adalah anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 2010-2015