Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Muh. Nurhidayat
Prinsip prediktabilitas ini akan membuat wartawan televisi menjadi ‘bodoh’, tidak lagi memiliki ‘sense of investigation’. Sehingga ketika terjadi pengeboman Alam Sutra pada 2015 kemarin, televisi juga ramai-ramai mengutip pendapat ‘terburu-buru’ dari seorang pegawai BNPT, yang menyebut pelakunya salah satu kelompok jaringan teroris Islam. Padahal tidak berapa lama kemudian polisi berhasil menangkap pelakunya, yang ternyata seorang non muslim.
Sikap tidak cerdas lainnya ditunjukkan wartawan Metro TV, yang awal 2016 ini entah dapat ‘kabar burung’ dari mana, menyebut Wahdah Islamiyah dan ketua umumnya (Dr. Zaitun Rasmin) sebagai teroris. Televisi ‘biru’ itu sempat menyebut BNPT sebagai sumber referensinya. Tetapi tidak berapa lama kemudian, lembaga anti terorisme itu menegaskan tidak pernah memberi data ke Metro TV, bahkan juga tidak pernah sekalipun memasukkan nama Wahdah dan Dr. Zaitun sebagai perusuh.
Sejak kasus Bom Bali I tahun 2002 silam, hingga kini televisi tidak penah membuat reportase investigatif tentang seluk-beluk terorisme di Indonesia. Kalaupun sempat membuat liputan khusus, sumber beritanya juga sama, yaitu hasil press release dan jumpa pers yang digelar polisi dan BNPT. Padahal polisi dan BNPT adalah manusia biasa juga yang tidak luput dari kesalahan. Polisi pun sering salah tangkap. Bahkan beberapa orang tak berdosa terpaksa dipenjara bertahun-tahun, dan keluarganya malu karena dicap ‘teroris’ oleh masyarakat, hanya karena kasus salah tangkap.
Sudah semestinya televisi memberi fasilitas memadai kepada para wartawannya untuk melakukan investigasi atas kasus-kasus pengeboman yanag terus saja mengguncang Indonesia. Jika televisi berhasil mengungkap seluk-beluk terorisme di negeri ini, maka televisi akan membantu polisi untuk menumpas terorisme. Sehingga bangsa ini akan aman dan damai. Para kru televisi pun akan semakin dicintai kaum muslimin, penduduk terbesar Indonesia, sekaligus penonton layar kaca terbanyak, yang selalu terganggu nama baiknya setiap ada pengeboman dan kasus terorisme lainnya.
Namun demikian, sejujurnya penulis juga sangat kasihan terhadap para wartawan ‘layar kaca’. Prinsip prediktabilitas yang diterapkan stasiun televisi memang seakan membuat wartawan kehilangan ‘kecerdasan’ apalagi daya kritisnya. Televisi tanpa disadari memperlakukan wartawannya bukan sebagai pekerja (manusia), tetapi seperti robot yang nilainya setara dengan alat produksi material lainnya (bukan manusia). Dengan kata lain, McDonaldisasi televisi menciptakan dehumanisasi bagi para wartawannya.
Dehumanisasi seperti ini pernah menimpa seorang kameraman senior sebuah televisi swasta. Suatu ketika ia ditugaskan meliput berita di TKP. Dalam perjalanan menuju lokasi TKP, ia mengalami kecelakaan lalu lintas. Ia pun dilarikan ke rumah sakit. Ketika ia menghubungi kantornya melalui ponsel, manajemen televisi tidak menanyakan tentang diri pribadinya, seperti, “Bagaimana keadaanmu? Luka parah enggak?”. Tetapi manajemen justru hanya bertanya, “Gimana kameramu? Rusak enggak?”
Kontrol
Prinsip kontrol McDonaldisasi menjadikan perusahan terlalu mengandalkan (untuk tidak dikatakan: memuja) teknologi. Jika pada prinsip prediktabilitas seorang wartawan (manusia) disamakan dengan alat produksi lain (bukan manusia), maka pada prinsip kontrol ini ‘nilai’ wartawan dianggap lebih rendah daripada teknologi.
Prinsip kontrol membuat wartawan televisi harus memiliki banyak keahlian (multy skilling) yang mendukung tugas-tugas jurnalistiknya. Maka tidaklah mengherankan saat ini ada reporter merangkap kameraman, sekaligus juga produser berita. Malah ada pula stasiun televisi yang menugaskan penyiar beritanya (news anchor) seperti penjual sate. Semuanya nyaris dikerjakan sendiri. Sehingga dia yang mewawancarai sumber berita di TKP, dia yang merekam gambar TKP dengan kamera, dia pula yang membuat naskah beritanya, hingga akhirnya dia sendiri lah yang membacakan beritanya di studio. Untungnya, dia tidak ditugaskan menjadi sumber berita (mewawancarai dirinya sendiri) sekaligus.
Fenomena ini dikritik oleh Ritzer dalam Franklin (2005), yang mengungkapkan bahwa prinsip kontrol pada McDonaldisasi mengakibatkan terjadinya pengurangan karyawan. Banyak wartawan dan karyawan produksi televisi kehilangan lahan pekerjaan mereka. Jika ada yang bertahan, mereka dibebani konvergensi tugas (multy role), namun nilai salary-nya hanya untuk satu beban tugas saja.
Maka tidak mengherankan jika Aliansi Jurnalis Independen (AJI) selalu meminta media massa, terutama televisi untuk menaikkan salary wartawannya, yang selama ini masih jauh dari standar kesejahteraan, apalagi jika dilihat dari banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan wartawan.
Irasionalisasi
Penerapan 4 prinsip McDonaldisasi (efisiensi, kalkulabilitas, prediktabilitas, serta kontrol) yang masing-masing memiliki kelemahan, ternyata juga melahirkan kelemahan baru. Kelemahan baru inilah yang dikenal sebagai prinsip ke-5 McDonaldisasi, yaitu irasionalisasi. Kelemahan ini akan memicu kebalikan dari apa yang diharapkan manajemen. Seperti ‘efisiensi’ menjadi ketidakefisienan, ‘prediktabilitas’ menjadi ketidakpastian, ‘kalkulabilitas’ menjadi kesulitan dalam kalkulasi, serta kontrol menjadi kehilangan kontrol itu sendiri.
Kasus bom Thamrin pun secara langsung maupun tak langsung, juga mengungkap betapa buruknya McDonaldisasi pada televisi. Banyak televisi berusaha menjadi ‘yang pertama’ dalam pelaporan berita terorisme. Akibatnya, televisi—secara langsung maupun tidak langsung—memaksa wartawan untuk bersikap irasional. Mudah percaya ‘kabar burung’ yang beredar di media sosial. Lalu ‘kabar burung’ yang ternyata ‘hoax’ (kata para netizen media sosial) dilaporkannya tanpa cek dan ricek terlebih dahulu, sehingga terjadilah kepanikan sosial di ibukota. Untung saja kepanikan sosial itu tidak berujung chaos yang sangat berbahaya, seperti kerusuhan Mei 1998 silam.
Penyebarluasan berita ‘hoax’ tidak sejalan dengan etika jurnalistik. Jauh-jauh hari, Karl Jasper (1955) berkata, “Kenenaran adalah hal prinsip. Sehingga pers (media) berkewajiban menyajikan kebenaran sebagai standar aktivitas jurnalistik. Dengan demikian, berita media diharapkan bisa menjadi ‘cermin’ dari realitas yang sesungguhnya.”
Para pemilik dan pengelola stasiun televisi berita hendaknya sebisa mungkin menjauhi McDonaldisasi. Sebab model pengelolaan yang buruk itu pada akhirnya dapat menjerumuskan wartawan untuk melaporkan berita yang dapat meresahkan masyarakat.
Penulis yakin, sebagai insan beragama, para wartawan televisi tidak ingin mendapat ancaman dari Allah subhanahu wata’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. 24 : 19). Wallahua’lam.*
Penulis dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo