Oleh: Muhammad Nurhidayat
Republika disomasi oleh sebagian penderita kelainan seksual. Suratkabar harian yang terbit di Jakarta ini dianggap melakukan character assassination terhadap komunitas neo-sodomis. Sebab Republika memberitakan kelainan seksual sebagai penyakit berbahaya, apalagi jika penyakit itu ditularkan secara sengaja oleh para penderitanya kepada anak-anak sekolah. Sementara itu, para neo-sodomis mengklaim bahwa disorientasi seksual sebagai hal natural, bukanlah suatu penyakit yang berbahaya.
Sejumlah ulama dari MUI dan ormas Islam besar (Muhammadiyah, NU, Hidayatullah, DDII, Wahdah Islamiyah, serta Persis) telah menyatakan pembelaannya kepada Republika dalam menghadapi ‘ketidaktenangan’ para pelaku seks menyimpang. Tidak hanya itu, umat agama lainnya di Indonesia yang diwakili Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Wali Umat Budha Indonesia (Walubi), serta Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pun diyakini juga akan mendukung Republika. Sebab resistensi terhadap penyakit seks menyimpang buka hanya datang dari umat Islam saja, namun juga lahir dari hati nurani para penganut agama lainnya.
Buktinya, pada September 2015 lalu gubernur Bali, I Made Mangku Prastika beserta para pemuka Hindu mengecam ‘pembajakan’ upacara pernikahan secara Hindu, untuk mengawinkan pasangan homoseksual, seperti yang dipublikasikan di medsos. Ketidaksukaan terhadap kaum neo-sodomis ini disuarakan I Made karena homoseksual tidak sesuai dengan ajaran Hindu. (Liputan6.com, 16/09/2015)
Selain umat Hindu, para pemeluk Kristiani pun insya Allah akan sependapat dengan Republika, yang menyatakan kelainan seksual sebagai bahaya besar. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Maruli Bonardo Tua (2014), mengkhawatirkan tayangan televisi yang banyak mempromosikan perilaku banci, sehingga para orangtua harus lebih ekstra dalam mengawasi anak-anaknya. Sebab nilai-nilai agama yang telah diberikan secara baik kepada anak-anak, seolah dilemahkan dengan tayangan televisi yang banyak menampilkan, apalagi cenderung mempromosikan kaum banci.
Menurut peneliti kebijakan media. FP. Amalo (2016), umat Kristiani menentang praktek penyimpangan seksual, karena bertentangan dengan ajaran agama mereka. Amalo mengutip Alkitab yang menegaskan, “Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci (transgender), orang pemburit (homoseks), pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah, dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam kerajaan Allah.” (Korinus 6 : 9 – 10)
Sebenarnya Republika bukanlah media massa pertama yang menjadi sasaran ketersinggungan para penderita kelainan seksual. Hampir 2 dekade silam, Time juga sempat membuat marah para neo-sodomis AS. Penyebabnya, pada edisi 12 Oktober 1998, majalah yang didirikan oleh Briton Hadden dan Henry Luce, melaporkan hasil analisisnya, bahwa terdapat propaganda naturalisasi seks menyimpang, khususnya homoseksual kepada anak-anak pra-sekolah dalam film Teletubbies.
Menurut Time, ‘ketidakwajaran’ film boneka asal Inggris yang pertama kali dirilis tahun 1997 itu dibuktikan dengan tidak jelasnya jenis kelamin para tokoh boneka Teletubbies, yang terdiri dari Tinky Winky, Dipsy, Lala, dan Poh. Yang paling banyak disoroti Time adalah Tinky Winky. Tokoh boneka berwarna ungu ini memiliki antena berbentuk segitiga terbalik di atas kepalanya. Padahal segitiga terbalik adalah simbol homoseksual di Inggris. Selain itu, tas merah yang sering dibawa—dan dianggap sebagai barang kesayangan—Tinky Winky, merupakan simbol persatuan kaum banci Inggris, negara tempat pembuatan Telettubbies.
Beberapa bulan kemudian, Jerry Falwell, pendeta Kristen ternama AS mengalami tindakan tidak simpatik dari para pelaku disorientasi seksual di negaranya. Pasalnya, tulisan Falwell yang dimuat jurnal nasional AS, Liberty, edisi Februari 1999 tentang bahaya film Teletubbies bagi anak-anak balita, telah membuat marah komunitas neo-sodomis. Kecaman pelaku homoseksual kepada Falwell didukung dan diekspose besar-besaran oleh New York Observer, The Voice, serta 2 jaringan televisi (PBS dan CBS). Media-media tersebut bahkan menyebut pemuka agama itu sebagai (maaf) orang yang kurang waras.
Anak-anak sebagai Khalayak Labil
Dalam kajian kebijakan media, sebenarnya Republika (yang melaporkan bahaya penyakit kelainan seksual), Time dan Jurnal Liberty (yang menyampaikan analisis tentang bahaya film Teletubbies), menunjukkan bahwa ketiga media tersebut telah menjalankan fungsi idealnya. Harold Laswell menyebut ada 4 fungsi ideal media massa, yaitu: surveillance of the environment, correlation of the parts of society in responding to the environment, transmission of the social heritage from one generation to the next, serta fungsi tambahan: entertainment. (Baran & Davis, 2010)
Dengan demikian, Republika patut didukung khalayak. Dengan fungsinya surveillance of the environment, koran yang ‘lahir’ pada 1993 itu telah menjadi pengawas yang memberi warning bagi khalayak tentang betapa bahayanya jika anak-anak diserang kaum neo-sodomis yang dengan sengaja berusaha menularkan penyakitnya. Republika telah melakukan fungsi correlation of the parts of society in responding to the environment, dengan mengajak khalayak sadar dan bahu-membahu mengatasi penyakit disorientasi seksual agar tidak semakin meluas, apalagi mengganggu kesehatan fisik dan mental anak-anak. Dalam transmission of the social heritage from one generation to the next, koran yang pernah dipimpin Parni Hadi berusaha mewariskan nilai-nilai luhur bangsa yang bersumber dari ajaran agama kepada anak-anak, komunitas yang akan menjadi generasi pemimpin bangsa pada masa mendatang. Republika ingin menegaskan bahwa perilaku seks menyimpang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan semua agama di Indonesia.
Republika tidak ingin bangsa Indonesia dihukum oleh Allah subhanahu wata’ala karena membiarkan komunitas neo-sodomis menyebarkan penyakitnya. Dalam sejarah, kaum Sodom diadzab dengan siksaan yang mengerikan, seperti tercatat abadi dalam Al Qur’an, “Kami jadikan negeri (Sodom) kaum (yanag mengingkari) Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim. (QS. 11: 82-83)* (Bersambung)
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo, mantan dosen luar biasa Politeknik Kesehatan Kemenkes Gorontalo