Oleh: M. Rizky Kurnia Sah
KEBERADAAN kaum lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender (LGBT) sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang berdomisili di perkotaan. Tidak sedikit setiap sudut kota besar negeri ini menjadi tempat perkumpulan mereka. Dan fenomena itu cukup mudah untuk ditemukan.
Sebagai bukti, okezone.com, pada tanggal 5 Januari 2012 memuat berita tentang penangkapan puluhan pria pecinta sesama jenis yang biasa mangkal di Jalan Irian Barat, Surabaya. Masih mengenai kasus serupa, di kota Yogyakarta, sebagaimana liputan portal kr.jogja.com, tanggal 28/06/2015, dini hari di kawasan Pasar Beringharjo, Petugas Polsekta Gondomanan menggerebek sebuah lokasi yang sering dijadikan tempat mangkal para homoseks.
Ini adalah sedikit potret, betapa pegiat LGBT telah menyebar di negeri (khususnya daerah perkotaan) yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim ini.
Jauh sebelumnya, LGBT sebenarnya sudah beberapa kali mencuat menjadi isu nasional di negeri ini. Diawal tahun 2000-an, masyarakat dikejutkan dengan propaganda kaum LGBT yang (bisa dikatakan berhasil) mengkampanyekan virus ini masuk ke setiap lini, khususnya di kalangan mahasiswa yang kelak pada tahun-tahun berikutnya menjadi pelindung terdepan yang memasang dada memagari keberadaan virus ini.
Propaganda LGBT kembali menyeruak ketika pada tanggal 6-9 November 2006, para ahli hukum dari 25 negara berkumpul di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menghasilkan dokumen “Prinsip-prinsip Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles).
Dokumen tersebut berisi tentang Penerapan Hukum HAM Internasional dalam kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender. Dokumen yang terdiri dari 29 prinsip itu juga disertai rekomendasi kepada pemerintah, lembaga antar pemerintah daerah, masyarakat sipil dan PBB itu sendiri.
Setahun belakangan ini, kaum abnormal ini nampaknya mulai menuai hasil dari apa yang telah bertahun-tahun dipropaganda dan dikampanyekan mereka. Perkawinan sejenis yang terjadi di Boyolali dan di Bali menjadi bukti tak terbantahkan kaum ini sudah tak takut muncul ke permukaan negeri yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan ini.
Propaganda 3 Jalur
Kaum LGBT dan para pendukung gerakan ini saat ini sedang berupaya memperjuangkan agar tindakan mereka yang menyimpang ini dapat diterima dan diakui oleh pemerintah. Kampanye mereka ini banyak didukung oleh berbagai kalangan di negeri ini, baik itu yang mengatasnamakan kelompok maupun individu. Ironinya, para pendukung kaum ini juga ada dari kalangan yang beragama sekalipun.
Dari hasil telaah penulis, setidaknya ada tiga jalur yang dijadikan sentaja bagi kaum ini hingga tetap bisa bertahan lama, bahkan berhasil meraih simpati masyarakat. Serbuan LGBT di negeri ini biasanya dilakukan melalui jalur akademik, politik dan sosial.
Secara akademik, penyebaran ide LGBT di antaranya berlindung di balik kajian akademik. Banyak organisasi LGBT bergerak dari atau di kampus-kampus dan menyerukan ide LGBT melalui tulisan.
Novel The Sweet Sins, yang ditulis oleh Rangga Wirianto Putra menjadi Salah satu karya tulis yang lahir dari kampus. Novel ini merupakan hasil dari tugas akhir kuliahnya yang membahas tentang kehidupan homoseksual ditinjau dari segi psikologis di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Secara politik, langkah yang dilakukan adalah melalui gerakan politik. Berbagai aksi unjuk rasa yang dilakukan untuk berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan politik dan bekerjasama dengan berbagai lembaga khususnya lembaga yang bergerak di bidang advokasi dan HAM.
Dokumen “Prinsip-prinsip Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles) yang merupakan kesepakatan internasional dari 29 pakar ahli HAM menjadi bagian dari gerakan yang dilakukan. Meskipun Yogyakarta Principles bukanlah dokumen resmi, tetapi dapat menjadi acuan hukum mengenai HAM terkait orientasi seksual dan identitas gender yang sudah digunakan di beberapa negara.
Sedangkan yang ketiga yaitu melalui gerakan sosial. Jalur ini merupakan jalur favorit yang digunakan untuk mengkampanyekan LGBT dengan beragam cara dan sarana. Melalui organisasi peduli kemanusiaan, mereka melakukan advokasi dan konsultasi. Pembuatan film dan iklan, aksi di lapangan, budaya, media massa dijamah oleh kaum ini agar kaum ini bisa diterima di tengah-tengah masyarakat.
Penyakit dan Perilaku Penyimpangan Moral
Targetnya dari upaya itu semua adalah untuk menyebarkan ide LGBT dan mengubah sikap masyarakat agar toleran dan menerima perilaku LGBT. Di antara poin besar yang dikampanyekan ini agar masyarakat menyatakan bahwa LGBT hanya merupakan ekspresi seksual dan gender dari faktor gen, keturunan, dan bawaan.
Sekeras dan sebanyak apapun kaum abnormal ini mencari dalih ilmiah tentang (ke)normal(an) dipandang dari sudut medis, pada akhirnya tidak akan pernah kesampaian. Sebab, perilaku mereka ini bukanlah faktor bawaan lahir.
Kode gen “Xq28”. yang selama ini ditengarai sebagai gen pembawa kecenderungan fenotepe homoseksual, tidak terbukti mendasari sifat dari homoseksual. Penelitian ini telah dilakukan oleh berbagai pakar medis.
Ruth Hubbard, seorang pengurus “The Council for Responsible Genetics” pernah mengatakan, “Pencarian sebuah gen gay (homo) bukan suatu usaha pencarian yang bermanfaat. Saya tidak berpikir ada gen tunggal yang memerintah perilaku manusia yang sangat kompleks.”
Penelitian dilakukan oleh Prof Alan Sanders dari Universitas Chicago, di tahun 1998-1999. Hasilnya tidak mendukung teori hubungan genetik pada homoseksualitas. Di tahun 1999, Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada, bersama timnya melakukan riset terkait hal itu. Hasil penelitian mereka juga mengungkap tidak adanya kaitan gen Xq28 yang dikatakan mendasari homoseksualitas pria.
Jadi, perilaku LGBT bukanlah karena faktor bawaan, bukan faktor keturunan. Perilaku LGBT bukan sesuatu yang “dipaksakan” sehingga tidak bisa ditolak atau harus diterima keberadaannya.
Perilaku LGBT juga merupakan tindakan yang menyimpang dari moral (norma) kemanusiaan. Semua agama dalam kitab suci masing-masing telah menetapkan tentang batasan dalam berhubungan. Tidak ada satu kitab suci pun yang membenarkan perilaku homoseksual dan lesbian, maupun perilaku transgender (pria menyerupai wanita atau sebaliknya).
Sebab, ide kebebasan dan HAM yang mendasari dan digunakan sebagai pembenaran perilaku seks menyimpang, termasuk perilaku LGBT, adalah ide yang menyalahi dan bertentangan dengan agama, terutama Islam. Dalam Islam, manusia tidak bisa bertindak sebebas-bebasnya sesuka hatinya. Pandangan dan perilakunya harus terikat dengan syariah Islam. Seorang Muslim tidak bebas berpandangan dan berperilaku sesukanya, semaunya.
Apalagi dalam Islam, terdapat nash yang khusus menjelaskan bahwa homoseksual adalah perilaku terlaknat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
«مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ »
“Dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (homoseksual).” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu Abbas).
Kita mencegah penganut LBGT berkampanye dan mengajak orang lain yang memiliki potensi ke arah penyakit kejiwaan ini. Dan semoga para pelaku bisa sadar dan kembali ke fithrah yang telah diberikan Allah Subhanahu Wata’ala.*
Penulis seorang dosen