Oleh: Imam Nawawi
SAYYIDINA Ali Karamllahu Wajhah berkata, “Dunia akan tegak dengan empat hal. Pertama, seorang alim yang mengamalkan ilmunya. Kedua, orang bodoh yang tidak bosan untuk belajar. Ketiga, orang kaya yang tidak pelit dengan hartanya. Keempat, orang miskin yang tidak menjual akhiratnya dengan dunia.
Pernyataan Khalifah keempat kaum Muslimin itu menunjukkan bahwa sebuah pemerintahan mesti menjadikan empat hal tersebut sebagai program utama dalam pembangunan. Lalai terhadap pembentukan kekuatan yang saling menopang pada empat hal tersebut adalah alamat pasti kebinasaan.
Kini tatanan dunia global semakin membuktikan bahwa tidak ada sistem, pemikiran bahkan ilmu yang berkaitan dengan masalah sosial yang menjamin suatu bangsa atau negara terbebas dari yang namanya badai krisis.
Krisis yang terjadi di AS 2008 adalah bukti yang tercatat sebagai krisis paling buruk sepanjang sejarah. Namun, demikian krisis keuangan semacam itu masih membuka kemungkinan terjadi dengan dampak lebih luas dan sangat buruk, bukan semata akan diderita satu bangsa atau negara, tetapi mungkin sebagian besar penduduk dunia.
Inilah dunia kapitalisme, yang memang pada sebagian tempat bisa terlihat ‘kehebatannya.’ Namun, mesti dipahami bahwa kini, 94% pendapatan dunia diraup oleh 40% manusia. Sedangkan 60% lainnya mesti hidup dengan 6% dari pendapatan dunia. setengah dari penduduk dunia mesti hidup hanya dengan 2 dolar AS sehari, bahkan ada yang kurang dari itu. Dengan kata lain, dibalik ‘kemajuan’ ekonomi suatu bangsa ada derita nestapa banyak bangsa di belahan bumi yang lain.
Dan, nampaknya kita mesti sependapat dengan Muhammad Yunus pemenang hadiah nobel yang juga pendiri Grameen Bank bahwa pasar tanpa batas (sebagaimana mewujud saat ini) bukanlah sebuah sistem yang dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah sosial, malah bisa jadi memperparah kemiskinan, penyakit, polusi, korupsi, kejahatan, dan kesenjangan.
Kini kita saksikan bagaimana semua penyangga kehidupan suatu bangsa dan negara tunduk pada kekuatan politik ekonomi. Ilmu para ahli menjadi abdi kepentingan politik. Dalam pilpres 2014 misalnya, perang lembaga survei dalam bidang politik begitu masif mengemuka di media.
Perilaku tidak memuaskan dari para tokoh intelektual pun mulai muncul, yang kemudian semakin diperparah dengan munculnya beragam program televisi yang konyol, sehingga masyarakat pun mengambil kesimpulan, cukup menjadi artis untuk kaya. Jadi buat apa belajar. Pada akhirnya kemiskinan semakin menekan lahir-batin, sehingga tidak bisa dipungkiri, hidupnya lokalisasi di antaranya karena ada mereka yang tak berdaya secara ekonomi dan rela menanggalkan kehormatan imannya.
Momentum
Semangat yang tak pernah padam dari dada kaum Muslimin untuk membangun masyarakat Madani atau Madinah seharusnya kian menemukan jalan. Mengingat tawaran Barat terhadap keadilan sosial benar-benar jauh panggang dari api. Namun, umat Islam mesti menyadari bahwa bicara masyarakat Madinah berarti bicara pada tataran manivestasi nilai-nilai dari ajaran Islam itu sendiri.
Robert N. Bellah dalam bukunya Beyond Belief (1976) menyatakan bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin Rasulullah adalah masyarakat yang sarat dengan nilai dan moral, maju, beradab, serta sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan sosial antar komponen masyarakat Madinah tersaji dalam bentuk peraturan formal, sebagaimana termaktub dalam Perjanjian Madinah yang kemudian dikenal sejarah sebagai the first written constitution in the world.
Dalam berekonomi masyarakat Madinah menurut Imam Ghazali setidaknya memiliki empat kriteria mendasar yang menjadi syarat utama, yakni prinsip halal, keadilan, kebaikan, dan sikap takwa. Menariknya, bagi semua umat Islam, menguasai ilmu tentang aturan-aturan syariat dalam berekonomi ini merupakan kewajiban.
Imam Ghazali pun menukilkan kisah Umar bin Khathab kala melakukan sidak ke pasar. Khalifah kedua kaum Muslimin itu berkata, “Tidak seoang pun boleh berjualan di pasar kita ini selain orang yang mengetahui ilmu berjualan yang dibenarkan syariat dan yang terlarang untuk dilakukan.”
Suatu waktu Rasulullah melihat seseorang menjual buah-buahan, dan beliau tertarik membeli. Beliau pun memasukkan tangan ke dalam tumpukan buah-buahan tersebut untuk memilih yang terbaik. Ternyata, buah-buahan itu basah dan berkualitas buruk pada bagian bawah.
Beliau lantas bertanya, “Mengapa buah-buahan ini basah?” Penjual itu menjawab, “Karena terkena air hujan.” Rasul bertanya, “Mengapa engkau tidak meletakkan yang terkena air hujan itu di atas, agar terlihat oleh pembeli?”
Rasul pun bersabda, “Siapa saja ang menipu kami (saudara sesama Muslim), maka bukanlah ia termasuk golongan kami.” (HR. Muslim). Pesan penting itu dipegang teguh oleh Jarir, seorang pedagang yang memegang teguh kejujuran. Dalam berdagang ia selalu berkata kepada pembeli, “Kalau engkau suka, belilah. Jika tidak, maka tinggalkanlah.” Jarir pun menyatakan bahwa caranya berdagang itu adalah sumpah setianya kepada Rasulullah.
Lebih lanjut Imam Ghazali menjelaskan bahwa dalam bekerja dan berusaha, baik pengusaha, pedagang, dan pelaku usaha lainnya, dilarang menyulitkan atau membuat masalah kepada orang lain, baik itu dengan bersikap tidak adil, melakukan teknan dan paksaan, penipuan, tidak jujur dan korupt, termasuk melakukan tindakan penimbunan.
Dengan kata lain, mewujudkan masyarakat madani mengharuskan gerakan mencerdaskan umat dimana tidak satu pun umat Islam yang tidak cakap dalam bidang profesi yang ditekuninya, sehingga rentan melakukan penyimpangan dari ketentuan syariah. Di sinilah gerakan dakwah dan tarbiyah menjadi satu hal yang senantiasa dibutuhkan oleh umat.
Krisis dapat diatasi jika konsep ekonominya syariah, pelaku-pelaku ekonominya Islam, dan budaya kerja yang Islami. Jika ketiga hal ini dipenuhi (sistem, orang, dan budaya yang Islami), insya Allah krisis dapat diatasi,” demikian meminjam Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung dalam bukunya Manajemen Syariah dalam Praktik.
Dengan demikian, sudah saatnya umat Islam tampil dengan penuh percaya diri disertai kelugasan bahwa membangun masyarakat Madinah di negeri ini bukan saja sebagai manivestasi iman, tetapi juga solusi atas segala macam problem kehidupan.*
Penulis aktivis Gerakan Indonesia Beradab (GIB)