Oleh: M Rizqi Utama
BILA kita sedikit saja menoleh ke belakang. Satu abad silam pada masa pendudukan. Betapa takutnya Penjajah bilamana para pelajar pulang dari mendalami ilmu agama dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Karena, setibanya mereka ke negeri pertiwi, bisa dipastikan mereka menjadi pelopor perlawanan. Sangking takutnya, mereka mempersulit orang Indonesia untuk berangkat ke Makkah Al-Mukarromah. [Lihat Api Sejarah Jilid 2, Ahmad Mansur Suryanegara]
Seorang penulis muda Indonesia, Salim A Fillah dalam sebuah artikel berjudul, Haji: Manusia Berbahaya, menceritakan secara rinci hal tersebut. Misalnya, tentang Syaikh Abdusshamad Al Jawi Al Falimbani (1704-1789). Putra asli Palembang ini menimba ilmu agama dan menjadi Ulama Besar di Masjidil Haram. Resah dengan keadaan bangsanya, Syeikh Abdusshamad berikirim surat kepada tiga anggota Wangsa Mataram yang paling berkuasa di Jawa; Kanjeng Sultan Hamengkubuwana I (1755-1792) di Yogyakarta, Sri Susuhan Parkubuwana III (1749-1788) di Surakarta, dan Pangeran Miji Mangkunegara (1757-1795).
Secarik surat itu sanggup menggemparkan kediaman Residen F.C Van Straalendorff. Dan membuat Gubernur Jendral VOC di Batavia, Petrus Albertus Vander Parra (1761-1755) sukar tidur. [Lihat Haji: Manusia Berbahaya, Salim A Fillah, salimafillah.com, 29/09/2015].
Mengapa para penjajah dibuat takut oleh selembar surat dari Syeikh Abdusshamad Al-Jawi Al-Falimpani? Karena mereka sadar, bahwa goresan tinta Ulama tak ubahnya genderang perang. Bilamana sudah ditabuhkan, ia akan menyatukan seluruh kekuatan. Melawan setiap tirani dan kesewenang-wenangan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [QS: At-Taubah: 122]
Menyarikan maksud dari ayat di atas, seorang Mufassir ternama, Syekh Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani dalam Fathul Qadir menjelaskan, bahwa ada dua jenis safar/ bepergian yang dianjurkan. “Pertama, berjihad dan belajar.”
Ayat di atas turun berkenaan dengan kebiasaan para sahabat bila mana ada panggilan berjihad. Semua berbondong-bondong memanggul senjata. Sampai tidak tersisa seorang pun di Madinah. Melalui ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala sampaikan kepada mereka bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar. Semestinya, tetap harus ada diantara mereka yang tinggal di Madinah untuk fokus menekuni ilmu agama. Mereka adalah perwakilan dari tiap-tiap kelompok, yang kelak akan kembali kepada kaumnya untuk mengemban amanah dakwah.
Masih menurut Imam Syaukani, ketika perintah mendalami ilmu agama Allah Subhanahu wa Ta’ala sandingan dengan perintah jihad fi sabilillah. Menunjukan betapa penting dan sakralnya tugas tersebut. [Lihat Fathul Qadir Imam Syaukani, Jilid 1, Hal. 606]
Dua Pilar Keikhlasan
Pelajar sejati hanya memiliki dua ambisi dalam pengembaraannya. Belajar dan mengajar. Mengangkat kebodohan dari diri sendiri kemudian orang lain. Imam Syaukani berkata, “Maka siapa saja yang niatnya dalam menimba ilmu selain kedua itu, berarti tujuannya adalah duniawi.” Selanjutnya, beliau mengibaratkan bahwa orang yang menghendaki keuntungan dunia lewat ilmu agama. Sama halnya dengan seorang yang membersihkan pecinya menggunakan alas kaki. [Lihat Fathul Qadir Imam Syaukani, Jilid 2, Hal 606-607]
Allah Subahanahu wa Ta’ala memenangkan Islam melalui mereka yang memberikan hidupnya untuk agama. Bukan sebaliknya, mencari keutungan pribadi darinya. Baik itu beruapa kemasyhuran, jabatan, wanita, maupun harta benda. Keikhlasan dalam menimba ilmu kemudian menyebarkannya merupakan urusan paling mendasar dalam perbaikan umat.
Penulis teringat nasehat salah seorang guru di pesantren Dr. Ali Mushri semoga Allah merahmatinya, “Ibaratnya, seorang ‘alim itu sabun yang akan membersihan kotoran dari tubuh umat. Bagaimana jadinya kalau sabunnya saja kotor?!” terangnya di hadapan ratusan santri.
Pelajar agama sejati tidaklah tenggelam di mimbar-mimbar khutbahnya. Lantas berharap satu dua keping dinar sebagai upah dari ilmunya. Mereka bukan penghamba dunia. Sebaliknya, merekalah para pelopor perubahan. Perubahan dari penghabaan manusia terhadap manusia, kepada penghabaan sejati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Para penuntut ilmu akan pulang ke daerahnya masing-masing. Berjuang dan ‘berjihad’ melawan kebodohan. Mencerdaskan dan mensholehkan. Merekalah obor terang yang memandu kafilah ini berjalan menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Wallahu ‘Alam Bisshawab*
Penulis adalah pengasuh anak-anak yatim