Oleh: Dzulkifli M. Salbu
Hidayatullah.com | DARI An Nu’man bin Basyir rahiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda,
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، فَكَانَ الَّذِينَ فِى أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِى نَصِيبِنَا خَرْقًا ، وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا . فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا ، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang mengingkari kemungkaran dan orang yang terjerumus dalam kemungkaran adalah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah kapal. Nantinya ada sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi di bagian bawah kapal tersebut. Yang berada di bagian bawah kala ingin mengambil air, tentu ia harus melewati orang-orang di atasnya. Mereka berkata, “Andaikata kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita.” Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang bawah menuruti kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang bagian atas melarang orang bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan selamat pula semua penumpang kapal itu.” (HR. Bukhari no. 2493).
Setiap metafora yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ, dipastikan sarat dengan makna, sebab salah satu keistemewaan yang Allah titipkan pada lisan beliau yang mulia adalah “ِجَوَامِعُ الكَلِم” yaitu ungkapan yang tidak bertele-tele. Ini bernilai sastra tinggi, tapi dengan kedalaman makna yang membumi, hingga mudah difahami.
Pesan universal dari hadits di atas adalah, Nabi ﷺ menghendaki, ending perjalanan kapal itu dapat berlabuh di dermaga dengan selamat. Maka segenap upaya dikerahkan agar kapal tak karam di tengah samudra.
Selanjutnya dengan sangat indah, Nabi menggambarkan secara rinci kondisi kapal, mulai dari posisi penumpang (ada yang berada di dek atas dan dek bawah), kebutuhan primer penumpang (air), posisi air (di atas). Ada upaya normatif yang dilakukan penumpang dek bawah untuk memperoleh air (naik ke atas), ada tindakan menyimpang yang mungkin dilakukan oleh penumpang dek bawah untuk mendapatkan air (membocorkan perahu), alasan membocorkan perahu (tidak ingin mengganggu penumpang dek atas) dan akibat membocorkan perahu (semua tenggelam).
Analogi detail di atas, disamping mengantarkan kita pada satu titik yang terang tentang pentingnya amar ma’ruf nahi mungkar, juga menggoda imajinasi kita untuk berada pada titik yang lain, role of leader. Masalah kepemimpinan!
Majas ini mengisaratkan, bahwa seorang pemimpin harus membuka telinga, agar dapat mendengar jerit kehausan penumpang dek bawah. Ia harus membuka mata agar bisa melihat dan tahu kebutuhan mereka, membuka hati agar hadir getar cinta di antara mereka, membuka pikiran untuk dapat menemukan solusi dari masalah mereka, dan turun ke bawah agar terbangun chemistry (kedekatan emosional).
The Power Of Chemistry, adalah hubungan unik penuh energi, yang tak dibatasi hitungan untung rugi, yang tak disekat basa-basi dan kalkulasi. Seseorang akan memimpin dengan hati, bukan dengan ambisi dan iming-iming materi.
Saat Umar menjadi khalifah, Kota Madinah pernah dilanda kelaparan, dan tak terlihat tanda-tanda akan berakhir. Dengan ksatria Umar berkata, “Seluruh anggota keluargaku, tak kuperkenankan makan daging, sampai kelaparan di Kota Madinah berakhir.” Chemistry bisa menghadirkan pengorbanan tanpa batas.
Air adalah simbol kehidupan dan kesejahteraan, tempatnya di atas. Karena itu tugas pemimpin memastikan air itu mengalir ke bawah, membasahi dahaga penumpang, tanpa disumbat oleh like and dislike (suka atau tidak suka).
Ia harus memastikan dengan data akurat, bukan dengan ilusi dan halusinasi, kira-kira dan barangkali. Apalagi sekedar bisik-bisik tetangga, agar kesejahteraan terdistribusi dengan tepat, tanpa menunggu upaya normatif penumpang naik ke atas.
Karena tak mustahil, di antara mereka ada yang telah renta, tulangnya sudah rapuh, tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Apalagi untuk menapaki tangga ikhtiar, jalan terakhir mereka adalah tindakan menyimpang membocori perahu, dan itu tragedi.
Membocori perahu adalah kesalahan fatal, apapun asumsi yang menyertainya, logis dan masuk akal sekalipun alasanya. Mungkin mereka beralasan, tak ingin mengusik yang di atas, tugas pemimpin dan penumpang lain tetap harus mencegahnya.
Hidayatullah adalah perahu bersama umat, yang sedang melintasi samudra perjuangan. Ia akan berhadapan dengan badai dan gelombang, yang mungkin lebih dahsyat di separoh abad selanjutnya.
Di antara kita semua adalah penumpangnya, dengannya kita ingin berlabuh di dermaga. Karena itu jangan sampai karena kepentingan sesaat, akibatnya tak ada yang selamat.
Seorang seniman berkata dalam penggalan syairnya:
Perahu Negeriku,
Perahu Bangsaku,
Jangan retak dindingmu. (Banjarbaru, 21 Agustus 2021).*
Penulis Ketua DPW Kalsel