BEBERAPA waktu lalu, Bupati Ogan Ilir Sumatera Selatan, Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi (26 tahun) ramai diberitakan media. Pasalnya, bupati yang disebut termuda di negeri ini digerebek oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Ahad (13/03/2016) tengah malam di kediamannya.
Dipaparkan oleh BNN, Nofiadi, putra mantan bupati sebelumnya ternyata sudah lama mengkonsumsi barang terlarang dan menjadi incaran polisi sejak tiga bulan lalu.
Bersama empat temannya, bupati muda yang dilantik pada 17 Februari 2016 lalu itu ditangkap saat sedang berpesta sabu-sabu. Ia pun ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan narkoba.
Jika kasus ini diurut mundur, sejatinya hal ini bukan barang baru di kalangan pejabat atau tokoh masyarakat yang terjerat. Ibarat bukit es, terkadang yang tampak hanya permukaaannya saja. Sedang selebihnya menyisakan sejumlah persoalan yang tak sedikit.
Persoalannya, mengapa kasus demi kasus terlihat begitu mudah berulang. Apakah mereka tak mengambil pelajaran dari kasus yang menimpa sebelumnya? Adakah keteladanan itu begitu mahal sebagaimana kejujuran menjadi langka saat ini?
Realitasnya, demikian itu menjadi bukti krisis kepemimpinan yang dialami oleh negeri berpenduduk Muslim terbesar dunia ini. Bisa disebut, sosok pemimpin idaman itu masih diburu hingga akhir zaman ini.
Dalam Islam, memimpin atau menjadi pemimpin adalah pekerjaan yang berat. Karena kesulitan itu, seorang Muslim tidak diperkenankan meminta jabatan atau amanah apapun pada orang lain. Namun ketika ia diserahi amanah, pantang baginya menolak perintah itu.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Wahai Abdurrahman bin Samurah! Jangan kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepadamu karena diminta, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepadamu bukan karena diminta, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Zaman dulu, para Sahabat dan orang-orang shaleh setelahnya selalu menghindar dan merasa keberatan menjadi seorang pemimpin. Mereka merasa potensi yang dimiliki sangat jauh dari kriteria seorang pemimpin.
Tak sedikit bahkan harus disiksa oleh penguasa zhalim karena menolak tawaran tersebut. Ada juga seperti Imam Abu Hanifah yang memilih dipenjara daripada menerima jabatan ketika itu.
Disebutkan sikap hati-hati itu dilakukan semata karena mereka mengetahui konsekuensi yang diterima jika menjadi pemimpin. Mereka paham, mengayomi rakyat kecil dan berbuat adil untuk semua pihak dan golongan adalah urusan yang maha berat. Risikonya hanya dua, ia terjaga dan selamat hingga ke surga atau justru terpelanting jatuh ke neraka.
Pemandangan terbalik jika menengok fenomena sekarang. Setiap orang saling berlomba ingin menjadi pemimpin. Karena definisi pemimpin zaman ini adalah manusia yang dikelilingi kenikmatan dunia. Ia bisa hidup enak, dapat melakukan apa saja sekehendaknya dan tak peduli pada rakyatnya.
Disebutkan di media, ada seorang pejabat yang punya kekayaan hingga mencapai belasan hingga puluhan miliyar rupiah. Lalu siapa yang tak tergiur menjadi pemimpin jika demikian adanya?
Alhasil, berbagai cara ditempuh agar bisa menang dalam pencalonan. Mereka tak lagi segan mengucurkan dana miliaran rupiah untuk urusan kampanye. Di depan ribuan atau jutaan rakyat, mereka lantang menabur janji-janji murahan. Sedang ia sendiri lupa, bahwa dirinya tak punya modal akhlak dan ilmu yang bisa dipakai.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa [4]: 58).
Solusinya: Al-Hikmah
Menghadapi krisis kepemimpinan, maka salah satu solusi yang dapat menyelesaikan masalah ini adalah pemimpin yang memiliki hikmah. Hikmah adalah karunia yang diberikan Allah kepada orang-orang tertentu.
Dalam al-Qur’an, Allah mengabadikan Lukman dengan gelar al-Hakim sebagai sosok penuh hikmah, sang teladan dengan takwa dan keshalehannya. Sejumlah nasihat bijak yang sarat hikmah Lukman al-Hakim juga dimuat dalam al-Qur’an sebagai pelajaran bagi seluruh manusia.
Dalam ayat berbeda, pun ditemukan pengertian lain kata hikmah, di antaranya adalah:
“Kemudian Allah memberinya (Daud) kerajaan dan hikmah serta mengajarinya apa yang Dia kehendaki. Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan-Nya) atas seluruh alam.” (QS Al-Baqarah [2]: 251).
“Dia memberikan hikmah, kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS Al-Baqarah [2]: 269)
Ar-Raghib al-Ashfahani, dalam Al-Mufradat fi Gharibi al-Qur’an mengatakan, hikmah adalah mencapai kebenaran dengan ilmu dan akal. Imam Ar-razi berkata, keputusan yang didasari oleh hikmah dan akal adalah keputusan yang benar, dan dapat mencegah penyimpangan atau cacat. Sedang keputusan yang didasari oleh syahwat, dan nafsu dapat menjerumuskan ke dalam malapetaka.
Lebih jauh Abdurrahman as-Sa’di mengemukakan, al-hikmah adalah ilmu-ilmu yang bermanfaat dan pengetahuan-pengetahuan yang benar, akal yang lurus, kecerdasan yang murni, tepat dan benar dalam hal perkataan maupun perbuatan.
Menurut Ibn Asyur, hikmah adalah ilmu yang argumentatif yang bersih dari kekeliruan. Untuk itu, konsep hikmah berarti melakukan sesuatu atas dasar ilmu yang kuat dan jauh dari kebodohan.
Terakhir al-Baghawi menutup, hikmah adalah al-Qur’an. Artinya segala aktivitas harus mencerminkan al-Qur’an sehingga berada dalam naungan cahaya petunjuk-petunjuk kalamullah.
Olehnya, disebutkan al-hakim (orang yang diberi hikmah) itu adalah seseorang yang bertingkah laku, bertutur kata berdasarkan al-Qur’an sehingga perbuatannya berbanding lurus dengan perkataannya. Selain itu ia memiliki akal dan ilmu yang dapat menghindarkannya dari kejahilan.
Orang yang berhikmah adalah seseorang yang dapat mengambil keputusan berdasarkan al-Qur’an. Setidaknya ia tampak bijaksana, berlaku jujur dan adil kepada rakyatnya, memutuskan perkara berdasarkan ilmu bukan berdasarkan nafsu semata.
Pemimpin yang memiliki hikmah niscaya dicintai rakyatnya karena keteladanannya. Ia takut dengan ancaman Allah jika melalaikan tanggung jawabnya. Ia cinta kesederhanaan demi kebahagiaan rakyatnya. Baginya, kebutuhan rakyat adalah prioritas dibanding kepentingan pribadinya.* Arsyis Musyahadah, mahasiswi Pascasarjana UIKA Bogor