Penyelenggara Negara belum berhasil menjadikan Pancasila (yang oleh pelopor [JIL] dianggap sebagai Kalimatun Sawaa’) sebagai dasar untuk menyelesaikan seluruh kemelut persoalan bangsa
Oleh: Mudzakkir Khalil Khayyath
Hidayatullah.com | SEJAK para pendiri bangsa Indonesia mencetuskan dan lalu menyepakati Pancasila sebagai dasar Negara; sejak itu pula terjadi silang pendapat. Pertama, dahulu pada sila pertama terdapat tambahan “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.”
Tambahan tersebut tidak disepakati oleh non Muslim dari wilayah timur Indonesia, dan bahkan mengancam akan memisahkan diri jika tambahan tersebut dilanjutkan. Kedua, kalau pun tambahan tersebut disepakati dan awet, masih ada pihak yang menolak dengan argumen; penerapan syari’at Islam tidak perlu menunggu kesepakan manusia.
Ketiga, dengan Pancasila yang ada sekarang ini (terutama sila pertama), tetap masih ada komponen anak bangsa yang menolak. Di antara alasan penolakan ini adalah terletak pada bagaimana para pemangku jabatan di Republik ini mengimplementasikan Pancasila.
Dengan bahasa lain, di setiap rezim seolah tafsir atas Pancasila berubah-ubah. Dan dengan adanya perubahan tersebut tidak juga membuat Indonesia menjadi lebih baik.
Artinya, penyelenggara Negara belum berhasil menjadikan Pancasila (yang oleh pelopor Jaringan Islam Liberal [JIL] dianggap sebagai Kalimatun Sawaa’) sebagai dasar untuk menyelesaikan seluruh kemelut persoalan bangsa. Pada uraian selanjutnya penulis hendak berupaya menjelaskan nilai-nilai moral Pancasila dengan nilai-nilai Islam.
Pendidikan moral Pancasila
Jika pada sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa,” maka Islam adalah agama yang mengajarkan bahwa Tuhan itu Esa. Esa di sini adalah Tauhid. Bukan Esanya Monotheisme. Sebab, Esa Tauhid memiliki objek Tuhan yang jelas yaitu Allah ta’ala. Sedangkan Esa Monotheisme tidak memiliki kejelasan objek Tuhan dengan jelas, yang penting Esa. Tentang siapa Yang Esa tersebut; multitafsir.
Di dalam Islam, Tuhan Yang Esa di atas memiliki pedoman hidup bagi seluruh ciptaan-Nya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menilai seluruh persoalan dengan timbangan haq dan batil.
Karenanya, memihak kepada yang hak itu adalah hak, dan memihak kepada yang batil itu batil. Sedangkan tidak memedulikan keduanya adalah termasuk kebatilan, dan jika seseorang berada di jalur yang batil maka,;
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا.
“Dan katakanlah,“Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap. Sungguh, yang batil itu pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra’[17]: 81)
Jika Tuhan sudah tidak Esa lagi maka, Indonesia bubar sebelum dan sesudah 2030;
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا.
“Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa.” (Qs. Al-Anbiya’[21]: 22)
Termasuk apabila NKRI menyatakan welcome terhadap atheisme; pasti bubar. Sebab, ketika seseorang meyakini bahwa Tuhan tidak ada berarti dia telah menuhankan hawa nafsunya.
Karena hawa nafsunyalah yang dia ikuti untuk meniadakan Tuhan yang sebenarnya, dan sama artinya dia telah menyekutukan Allah ta’ala;
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ.
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Qs. Al-Jatsiyah [45]: 23)
Jika pada sila kedua ditegaskan “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” maka Islam tidak perlu didikte tentang bagaimana memanusiakan manusia;
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا.
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka di darat dan di laut, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (Qs. Al-Isra’[17]: 70)
Demikian pula, Islam tidak perlu diajari tentang keadilan. Adil berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan merupakan lawan kata dari zalim. Allah ta’ala berfirman di dalam hadits Qudsi;
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya sebagai sesuatu yang diharamkan di antara kalian. Maka janganlah kalian saling menzalimi satu sama lain.” (HR. Muslim no. 2577)
Di dalam ayat-Nya, Allah swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berlaku adil terhadap musuh sekali pun;
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى.
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (Qs. Al-Maidah [5]: 8)
Oleh karenanya, Islam memikulkan tanggungjawab keadilan ini kepada umat Islam dengan memberi ganjaran atas implementasinya. Nabi saw. bersabda;
“Bersikap adil diantara dua orang adalah sedekah.” (HR. Bukhari no. 2827)
Bahkan Islam mewanti-wanti kedua belah pihak yang bertikai untuk tidak memanipulasi kebenaran dan keadilan. Rasulullah ﷺ bersabda;
“Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, sementara kalian membawa perselisihan kepadaku. Mungkin sebagian dari kalian lebih pandai berbicara daripada sebagian yang lain, dan aku memenangkannya berdasarkan apa yang aku dengar. Barangsiapa yang aku putuskan kemenangan kepadanya dari suatu hak yang menjadi milik saudaranya, maka jangan ambil. Karena yang demikian itu, sesungguhnya aku memotongkan untuknya sepotong dari api Neraka.” (HR: Muslim no. 1731).
Karena pentingnya persoalan keadilan tersebut, Rais ‘Am PBNU Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh di dalam pengantarnya terhadap buku “Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU 1926-1999” dan bahkan pada 1926-2015 mengutip perkataan sahabat Ali bin Abi Thalib ra., “Dunia, kekuasaan, negara bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun bersama kekufuran dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun bersama keislaman.” Beliau juga mengutip perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) Muslim.”
Selain tentang adil, Islam pun tidak perlu diajari masalah adab. Sebab bahasa keduanya saja berasal dari bahasa Islam (Arab). Namun demikian, adab berbeda dengan akhlak. Adab terfokus pada perangai yang baik, sementara akhlak terkait dengan perangai yang baik dan buruk. Allah ta’ala memuji rasul-Nya dengan akhlak yang mulia;
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ.
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS: Al-Qolam [68]: 4).
Nabi ﷺ menjadikan perbedaan tingkat iman kaum muslimin berdasarkan akhlak yang mulia; “Sesungguhnya orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sesungguhnya akhlak yang mulia mencapai derajat puasa dan shalat.” (HR. Abu Daud no. 4682, Tirmidzi no. 1162, Ahmad no. 7396)
Bahkan nabi ﷺ membatasi semua tugas beliau di dunia ini dalam ungkapan beliau; “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad no. 8939, Al-Hakim no. 4221, Al-Baihaqi no. 21301 dan dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 45)
Dalam salah satu video yang beredar, mantan panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan: “Bahwa Pancasila dan landasan negara yaitu pembukaan UUD 1945 adalah hadiah umat Islam sebagai jalan tengah. Meniru pada piagam Madinah merangkul semuanya. Maka saya ingatkan, umat Islam dan para ulama menjaga bangunan ini. Menjaga NKRI karena yang membentukpun umat Islam. Jangan tuduh umat Islam yang akan merusak. Nggak mungkin yang membangun mau merusak. Tidak mungkin. Maka sejak awal, saya sinis. Saya tidak suka bagi siapapun kalangan yang menyudutkan, yang mengatakan ulama radikal, kriminal ulama. Itu tidak benar. Mana mungkin dia yang membangun, dia yang merusak NKRI. Tidak mungkin.”
Namun demikian, jika Islam dan umat Islam tetap dituduh memecah belah NKRI karena berupaya menjelaskan dakwah Islam maka; hak dan batil tidak mungkin bisa disatukan, orang beragama (theis) tidak akan pernah bisa menyatu dengan orang yang anti agama (Atheis). Minyak tidak akan pernah menyatu dengan air dan sekelas para pemain sinetron di film India pun tahu bahwa Malaikat tidak akan pernah bisa bersatu dengan Iblis.
Jika pada sila keempat dinyatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” maka kata Rakyat, Hikmat dan Musyawarah serta kata Wakil terambil dari bahasa Islam (Arab). Sila keempat tersebut menegaskan akan pengarusutamaan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan lainnya. Terlebih di atas kepentingan pribadi.
Oleh karenanya, sesuai amanat sila keempat ini, rakyat (masyarakat) Indonesia harus dipimpin dengan hikmat. Hikmat di dalam Islam memiliki banyak makna. Hikmat bisa berarti Al-Qur’an dan hadits (Qs. Al-Baqarah [2]: 129, 151, 231, Qs. Ali Imran [3]: 164, Qs. An-Nisa’ [4]: 113 dan Qs. Al-Jumu’ah [62]: 2), Syari’at (Qs. Al-Baqarah [2]: 151), benar dalam ucapan dan tindakan (Qs. Al-Baqarah [2]: 269 dan Qs. Ali Imran [3]: 48), hukum-hukum (Qs. Al-Isra’ [17]: 39), paham keagamaan dan keselamatan akal serta kebenaran dalam ucapan (Qs. Luqman [31]: 12) dan kata Hikmat juga bisa berarti kenabian (Qs. Shad [38]: 20).
Sila keempat di atas juga menegaskan bahwa rakyat Indonesia mesti dipimpin dengan hikmat dalam bingkai musyawarah. Terkait musyawarah, Allah ta’ala berfirman;
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal.” (Qs. Ali Imran [3]: 159)
Dalam ayat di atas, ada beberapa pelajaran penting terkait perintah bermusyawarah di dalam Islam.
Pertama, pemimpin yang tidak berjiwa lemah lembut, malah bersikap keras dan berhati kasar terhadap bawahannya tidak akan pernah mampu mencapai hasil terbaik dalam bermusyawarah. Kedua, hasil terbaik dalam bermusyawarah dapat diperoleh oleh seorang pemimpin yang berjiwa lemah lembut dan pemaaf terhadap bawahannya. Ketiga, kebulatan tekad dan tawakkal untuk hasil yang sempurna hanya bisa diwujudkan melalui musyawarah.
Nabi ﷺ bersabda;
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat di dalam kesesatan.” (HR. Ibnu Majah no. 3950, Tirmidzi no. 2167, Abu Daud no. 4253, Ahmad no. 27267, Al-Hakim no. 8664 dan dinilai shahih oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Seorang pemimpin harus berjiwa ulul albab (akal yang sehat). Salah satu cirinya adalah banyak mendengar masukan. Semakin luas wilayah kekuasaan dan semakian banyak yang dikuasainya, maka semakin pula ia dituntut untuk banyak mendengar.
Efeknya adalah melelahkan, tetapi efek positifnya adalah keadilan. Sebab semua pihak merasa terwakili karena mereka telah didengar masukannya sebelum mereka diberi kebijakan oleh pemimpinnya. Inilah arti penting dari musyawarah dan keterwakilan.
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ.
“(Yaitu) Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (Qs. Az-Zumar [39]: 18)
Dalam kajian bahasa Arab, kata Yastami’una memakai Fi’il Mudhari’ yang memiliki masa sedang dan akan. Artinya, senantiasa mendengarkan. Dalam disiplin ilmu yang sama, kata Al-Qaula menggunakan alif-lam dengan makna umum.
Artinya, yang didengar adalah seluruh perkataan secara umum; perkataan siapa saja. Bahkan, sebagaimana kutipan As-Shabuni di dalam Shafwatut Tafasirnya, Ibnu Abbas ra. berkata, “Dialah orang yang mendengarkan kebaikan dan keburukan sekaligus, lalu dia berbicara yang baik dan enggan berbicara yang buruk.”
Jika seorang pemimpin tidak memiliki jiwa Ulul Albab, banyak kebijakannya bakal ditentang oleh rakyatnya.
Sila kelima dari Pancasila menyatakan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Jika keadilan sosial berkaitan dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu, maka nabinya umat Islam bersabda; “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika keadilan sosial yang dimaksud adalah keadilan dalam pemerataan ekonomi, maka nabinya umat Islam telah bersabda kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ketika diutus ke Yaman; “Maka ajarilah mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka zakat yang ditarik dari kalangan kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam pemerintahan Islam, kekayaan di suatu daerah dan atau wilayah adalah untuk kemakmuran daerah dan wilayah tersebut. Jika terdapat sisa, maka sisanya yang dibawa ke pusat.
Bukan sebaliknya; manisnya untuk pusat, lalu sepahnya untuk daerah dan wilayah dimana kekayaan didapat. Bahkan di dalam dua hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim serta yang lainnya; bahwa seorang wanita masuk surga karena memberi minum anjing yang kehausan, dan seorang wanita lagi masuk neraka karena mengurung kucing dan menahannya dari makan dan minum.
Jika sila kelima ini berjalan dengan baik, tidak ada istilah hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, tidak ada istilah politik belah bambu, tidak akan ada istilah tikus mati di lumbung padi, tidak ada kasus gizi buruk di langit NKRI dan tidak ada wilayah yang meminta referendum atau memisahkan diri dari Indonesia. Wallahu ta’ala a’lam!*
Anggota Dewan Murobbi Wilayah Hidayatullah NTB