Oleh: Andi Ryansyah
BELAKANGAN ini, Jakarta di tangan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mirip city of sorrow (kota penuh duka). Betapa tidak, masalah macet dan banjir sudah tak beres-beres, rumah-rumah warga digusur pula. Sudah enam wilayah yang dia sikat: Bidara Cina, Bukit Duri, Pinangsia, Kampung Pulo, Kalijodo, dan yang terbaru, Kampung Akuarium. Tentara dan polisi diadunya dengan warga. Warga menjerit dan menangis. Masyarakat terus menerus protes. Namun anehnya, Ahok seperti mati rasa. Bahkan sekadar bertemu dan berdialog dengan warganya saja, dia tidak mau. Tanah negara ya tanah negara, katanya, sambil lupa hukum kita masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Bulan Mei mendatang, Ahok sempat mau menggilas lagi rumah warganya sendiri di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, namun belakangan dia tidak lagi tegas. Dia undur. Kemungkinan, katanya, bulan September atau akhir tahun nanti (Kompas.com, 29/4/2016). Dalihnya sekali lagi, tanah itu milik negara, meski warga setempat juga mengaku memiliki sertifikat tanah.
Kita pantas sangat cemburu mendengar dalih itu. Di saat pengembang boleh mengelola tanah negara, kaum miskin dipaksa menyaksikan buldozer menghancurkan rumahnya yang dianggap ilegal. Memang benar, pembelaan bisa Ahok buat: pengembang mendapatkan tanah negara itu secara legal. Tapi masalahnya, tanah itu untuk apa dan siapa? Mengapa pengembang bisa mendapatkannya, sedangkan kaum miskin tidak bisa? Kalau begini, namanya diskriminasi terhadap status ekonomi warganya.
Dalam mengatasi permukiman kumuh, Ahok kurang bersabar dan kreatif. Cara yang digunakan selalu main gusur dan memindahkan warganya ke rumah susun. Untuk menampung warga Luar Batang nanti saja, dia sudah menyiapkan 400 unit di Rusunawa Rawa Bebek, Jakarta Timur. Dia merasa yakin keadaan warganya lebih baik bila dipindahkan ke situ ketimbang tempat semula. Segampang itu kah?
Kalau sewa, apakah warga Luar Batang yang berpenghasilan rendah mampu membayarnya? Boro-boro buat bayar sewa rumah, listrik dan air, buat hidup saja sudah kembang kempis. Sebagai perbandingan, Randy (2013), mengungkap harga sewa Rusunawa Marunda per bulan yang di atas Rp371.000, kurang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara harga sewa Rusunawa Rawa Bebek juga di atas itu, yaitu Rp460.000/bulan (CNNIndonesia.com, 13/4/2016).
Cepat atau lambat, warga pasti angkat kaki dari Rusunawa. Setelah itu, mereka bingung mau tinggal di mana lagi. Kolong jembatan? Pinggir rel kereta? Atau bantaran kali!? Tentu mending mereka tinggal di rumah sendiri seperti sekarang ini kan?
Lalu bagaimana dengan warga yang bekerja di Luar Batang? Jarak dari Rusunawa ke tempat kerja sangat jauh, buang-buang waktu dan ongkos. Tapi kan bus transjakarta gratis buat mereka? Iya, tapi kan itu cuma sampai halte. Jarak dari halte ke Luar Batang jauh. Mereka harus naik lagi angkutan lain kalau mau cepat sampai. Dan itu bayar. Pengeluaran mereka jadi bertambah. Lokasi Rusunawa benar-benar tidak strategis buat mereka. Itu baru kerugian dari sisi ekonomi.
Dari sisi sosial tak kalah parah. Ahok boleh saja bilang tidak akan menggusur Masjid Kramat Luar Batang – dan kita percaya itu– tapi kalau warganya sudah dipindahkan, siapa lagi yang mau memakmurkan masjid? Hilang sudah makna keberadaan masjid bersejarah itu.
Sudah begitu, masjid jauh pula dari Rusunawa. Seperti diceritakan Upik, warga Kampung Akuarium yang kini tinggal di Rusunawa Rawa Bebek kepada Sindonews.com, 22/4/2016. “Masjid atau mushallah belum ada. Kalau mau ke masjid, naik ojek dulu, bayar Rp10.000.” Tentu ini akan sangat memberatkan warga Luar Batang yang sehari-hari ke sana dengan hanya tinggal jalan kaki.
Lebih lanjut, ikatan sosial di antara warga Luar Batang masih kencang. Contohnya, kalau ada tetangga yang meninggal, warga Luar Batang terutama tetangga terdekatnya, spontan membantu persiapan pemakaman. Tetangga lainnya yang masih satu gang atau satu RT biasanya menyumbang uang untuk biaya pemakaman dan transportasi keluarga yang ditinggalkan (Sihombing, 2003).
Sangat mungkin nilai kekeluargaan Kampung Luar Batang akan luntur bila warganya tinggal di Rusunawa. Karena antar warga jadi lebih susah berinteraksi dan tidak bisa bergerak leluasa menyapa sesama. Harus naik turun lantai. Melelahkan. Imbasnya lama-lama mereka bisa jadi jarang bertemu, berkumpul dengan tetangga satu lantai saja, tidak tahu keadaan warga lantai bawah atau atasnya, dan ikatan sosial itu menjadi renggang.
Terakhir soal lingkungan. Kita berterima kasih atas perhatian Ahok yang tidak mau membiarkan warganya tinggal di tempat kumuh. Namun warga juga butuh jaminan. Apakah kalau mereka dipindahkan ke Rusunawa, lingkungannya pasti tak kumuh lagi? Perlu diingat, Kompas (26/3/2002) mencatat setelah warga permukiman kumuh dipindahkan ke Rusun Tambora, Rusun itu jadi kumuh. Ada genangan air dan sampah berserakan di tiap sudut bangunan. Jadi seperti permukiman di bantaran sungai di Jakarta. Bukan mustahil Rusunawa Rawa Bebek bisa seperti itu, bila biaya pengelolaan Rusunawa tak cukup karena warga tak sanggup membayar sewa.
Dengan demikian, kalau nanti hidup warga di Rusunawa jadi malah tambah sengsara, buat apa permukiman Kampung Luar Batang digusur? Jakarta yang kita dambakan ke depan bukanlah city of sorrow, melainkan city of tomorrow alias Jakarta Baru, Jakarta kita bersama, milik warga kampung dan kota.*
Penulis adalah Ketua Badan Eksekutif FMIPA Universitas Negeri Jakarta 2013/2014