SALAH seorang pemirsa kecewa setelah menonton debat pilpres perdana pada Kamis (17/01/2019) malam lalu di Jakarta. Selain jalannya debat gelaran KPU itu yang cenderung datar dan kaku, juga karena kasus penyerangan terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, tidak diungkit dalam perdebatan.
Padahal, isu terkait penegakan hukum tersebut bisa dibilang “senjata ampuh” bagi pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, untuk menyerang paslon 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Konsultan politik, Eep Saefulloh Fatah, turut mengomentari Prabowo-Sandi yang saat debat pilpres tidak mengungkit lambatnya penanganan kasus teror Novel. “Padahal dapat menjadi peluru tajam yang mengarah ke Jokowi, dan akan sulit mengalihkannya,” ujarnya. (Tempo.co, 19/01/2019)
Sudah hampir dua tahun teror terhadap Novel, namun hingga kini penegak hukum, khususnya Polri, belum sanggup mengungkap tuntas kasus tersebut. Posisi Jokowi sebagai Presiden dan capres petahana seringkali disudutkan atas berlarut-larutnya pengungkapan kasus ini.
Penegakan hukum memang menjadi aspek paling buram dalam kepemimpinan Presiden Jokowi selama sekitar 4 tahun ini, kata Dahnil Anzar Simanjuntak semasa menjabat Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah.
Bahkan, menurut aktivis HAM yang juga Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar, masalah penegakan hukum menjadi salah satu kontribusi yang menyebabkan kerusakan di negeri ini.
“Kasus Novel Baswedan juga menjadi gambaran bagaimana penegak hukum yang harusnya mendapat tempat terhormat akhirnya terlibat,” kata Haris. (Hidayatullah.com, 20/07/2018)
Baca: ‘Aspek Paling Buram di Era Jokowi Soal Penegakan Hukum’
Ibarat sepakbola, “peluang emas mencetak gol” ini seharusnya dimanfaatkan betul oleh Prabowo-Sandi. Tapi, kenapa keduanya tidak “menembakkan peluru tajam” tersebut ke lawan mereka saat debat?
Ternyata bukan tanpa disengaja. Sebenarnya, cawapres Sandiaga, sebagaimana pengakuannya, sudah menyiapkan catatan khusus terkait kasus teror Novel untuk debat pilpres 2019 perdana.
Namun catatan itu batal dibeberkannya. Bukan apa-apa. Prabowo sendiri yang melarang Sandi menyinggung soal kasus Novel untuk menyerang kubu lawan, Jokowi-Ma’ruf.
“Ya karena Pak Prabowo tidak ingin menimbulkan macam-macam,” kata Sandi. (Cnnindonesia.com, 18/01/2019)
Menurut Dahnil yang kini Koordinator juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, sikap itu diambil karena Prabowo tidak ingin mempermalukan Jokowi dengan kasus Novel, sebab memang banyak hal yang rumit di dalamnya. (Antaranews, 19/01/2019)
Baca: BPN: Prabowo Larang Ungkit Kasus Novel di Debat, Enggan Permalukan Jokowi
Menarik dicermati. Kenapa Prabowo enggan mempermalukan Jokowi dalam debat perdana kemarin? Apakah ini strategi yang sedang dimainkan mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) tersebut untuk menggaet simpati calon pemilih?
Masih segar dalam ingatan sebelumnya, polemik kebijakan KPU yang membocorkan kisi-kisi pertanyaan debat pilpres kepada kedua paslon capres-cawapres. Ketua KPU Arief Budiman beralasan, lembaganya memberikan kisi-kisi debat atas dasar asumsi agar masing-masing paslon tidak ada yang dipermalukan atau diserang dengan pertanyaan-pertanyaan teknis. (Sindonews, 08/01/2019)
Prabowo-Sandi tampaknya memenuhi kemauan KPU tersebut, dengan tidak berambisi mempermalukan Jokowi dalam debat. Benarkah (sebatas) demikian? Wallahu a’lam.
“Prabowo Baru”
Ada pandangan tersendiri mengenai penampilan Prabowo. Adalah psikolog dan pakar personal branding, Dewi Haroen. Ia menilai, Ketua Umum Partai Gerindra itu ingin memperkenalkan sosok barunya yang lebih tenang dan sabar dalam debat pilpres.
Menurut Dewi, hal itu bisa dilihat dari perubahan gaya bicara Prabowo yang biasanya berapi-api bak seorang prajurit tentara, namun pada saat debat pilpres terlihat kalem dan begitu tenang.
Dikutip Tirto (18/01/2019), Dewi juga melihat pada debat tersebut, Prabowo tidak terlalu mendominasi dalam berbicara. Tetapi, juga memberikan kesempatan kepada Sandiaga untuk bicara.
Sehingga, menurutnya, tujuan Prabowo-Sandi pada debat pertama bukanlah mengincar kemenangan. Tetapi lebih memperkenalkan sosok Prabowo yang baru kepada masyarakat.
“Saya lihat strategi mereka sekarang main aman, minimal draw lah. Dia ingin menarik perhatian publik bahwa ini bukan Prabowo yang dulu lagi, jadi new Prabowo-nya keluar,” ucapnya.
Apalagi saat diserang oleh Jokowi pada saat debat capres, bisa saja Prabowo menyerang balik. Tetapi, reaksi Prabowo malah terlihat tenang-tenang saja.
“Jadi mereka (Prabowo-Sandi) kayak punya suatu benang merah kesepakatan, bahwa apapun yang terjadi, mereka tidak akan menyerang,” kata Dewi.
Baca: Prabowo-Sandi Sindir Hukum Jangan Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas
Analisa lain juga senada bahwa Prabowo memang tidak ingin melakukan serangan pada debat perdana. Misalnya, pada sesi saat Jokowi menyudutkan dan mencecar Prabowo dengan isu terkait mantan napi korupsi jadi caleg Gerindra.
Jokowi saat itu tampaknya melihat Prabowo cukup kelabakan, lalu mencecar dan mengulang pertanyaannya. Jokowi tampak sangat yakin karena data caleg itu, menurutnya, diambil dari Indonesian Coruption Watch (ICW). Saat itu Jokowi seperti di atas angin.
Belakangan terungkap, 6 orang tersebut adalah caleg Gerindra untuk DPRD di sejumlah kabupaten/provinsi, yang pengajuannya menjadi tanggung jawab dan wewenang Ketua DPD I dan II. Bukan lewat Ketua Umum Prabowo. (Hersubenoarief.com, 19/01/2019)
Serangan Jokowi kepada Prabowo itu bak pepatah menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Sebab Jokowi sebelumnya menegaskan, mantan narapidana kasus korupsi punya hak untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif. Jokowi menyatakan tidak setuju dengan KPU yang mengeluarkan larangan dan minta aturan itu ditinjau kembali.
“Kalau saya, itu hak. Hak seseorang berpolitik,” kata Jokowi di Jakarta (Kompas, 29/05/2018). Jokowi mengatakan, konstitusi sudah menjamin untuk memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk mantan napi kasus korupsi.
Prabowo bukan tidak tahu menahu mengenai itu. Tapi itu tadi, Prabowo bersikap tidak menyerang Jokowi-Ma’ruf termasuk tidak melakukan serangan balik saat diserang.
Strategi Prabowo?
Dalam sepakbola, dikenal pola penyerangan dan pertahanan. Pola ini bisa diterapkan sesuai kondisi, baik saat pertandingan berlangsung di lapangan, maupun selama kompetisi bergulir. Di suatu laga, tim yang menggunakan pola bertahan biasanya menerapkan strategi serangan balik untuk mencetak gol.
Prabowo-Sandi tampaknya sedang menerapkan strategi bertahan dalam debat perdana. Pada debat selanjutnya, strategi serangan balik mungkin diterapkan, atau bahkan strategi full attack, menyerang secara penuh. Belajar dari sepakbola, segala kemungkinan bisa terjadi selama pertandingan (baca: proses Pemilu) berlangsung.
Bicara strategi, mantan Anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta, Sumaryoto Padmodiningrat, berpendapat, sebagai mantan Komandan Jenderal Kopassus, sudah barang tentu tentu Prabowo Subianto telah “khatam” akan strategi perang, tak terkecuali strategi perang ala Sun Tzu, seorang jenderal, ahli strategi militer, dan filsuf dari zaman Tiongkok kuno.
“Pertahanan terbaik adalah menyerang,” demikian salah satu strategi Sun Tzu yang sangat populer. Strategi ini pula yang menurut Sumaryoto kini diterapkan Prabowo menghadapi kontestasi Pilpres 2019.
Serangan demi serangan pun gencar dilancarkan kubu Prabowo, di antaranya lewat gerakan tanda pagar (tagar) #2019GantiPresiden yang akan berlanjut dan bersinergi dengan #2019PrabowoPresiden.
Langkah Prabowo memilih Sandiaga sebagai cawapres juga sejurus dengan Strategi ke-6 dari 36 Strategi Sun Tzu, yakni, “Berpura-pura menyerang dari timur tapi menyeranglah dari barat.” (Sumaryoto Padmodiningrat, “Prabowo dan Strategi Sun Tzu”, Tribunners, 12/08/2018)
Memang, berdasarkan hasil sejumlah survei online di media sosial, Prabowo-Sandi memenangi debat perdana tersebut. Tapi Prabowo-Sandi dianggap belum “maksimal” dalam memainkan “bola”.
Ke depan, masih ada empat kali debat lagi sebelum pencoblosan pada 17 April 2019. Mungkinkah paslon 02 menang telak, ataukah paslon 01 justru membuat keok penantangnya?
Dan kemudian pada Pemilu mendatang, meminjam kalimat Sumaryoto, “Akankah Prabowo-Sandi mengalahkan Jokowi-Maruf? Di dunia politik, tak ada yang tak mungkin. Semua serba mungkin.” Kita lihat saja…!*
Abdus Syakur | Jurnalis