Oleh: Imam Nawawi
BENCANA asap di Riau masih belum teratasi. Makin hari, kabut asap justru makin berbahaya dan makin beresiko. Harian Republika misalnya menulis dalam headline beritanya, peningkatan penyakit akibat asap mencapai 20 persen pada beberapa hari di bulan Oktober ini.
Menteri Kesehatan RI Nila F. Moeloek juga telah mengakui bahwa bencana asap yang terjadi tahun ini sudah sampai pada taraf (sangat) membahayakan (Republika, 7/10).
Sementara itu, hingga kini pemerintah belum mampu bertindak lebih. Meski sebenarnya kondisi akibat asap benar-benar mengancam kesehatan dan nyawa masyarakat.
Dalam situasi seperti ini, bertindak cepat dan tepat memang mendesak dilakukan, tidak saja oleh pemerintah, tetapi semua pihak. Namun mengantisipasi bahkan memastikan bencana ini tidak terabaikan di tahun-tahun mendatang, kebijakan berupa ketegasan dalam sisi moral tidak bisa dimarginalkan.
Sebab Bencana
Kalau kita bertanya, mengapa bencana asap di beberapa daerah di Indonesia juga berlangsung seperti musim panas dan hujan yang pasti terjadi setiap tahun? Jawabannya beragam. Namun Allah Ta’ala telah memberikan penjelasan secara gamblang, bahwa setiap kerusakan, apapun itu bersumber dari perilaku manusia itu sendiri.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum [30]: 41).
Ibn Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa kata لْبَرّ menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Adh-Dhahak dan As-Suddi bermakna hamparan padang yang luas. Sedangkan yang dimaksud dengan الْبَحْرِ adalah kota-kota dan kampung-kampung.
Sementaraa itu, Zaid bin Rafi’ berkata bahwa maksud dari ظَهَرَ الْفَسَادُ yang artinya “Telah tampak kerusakan,” yaitu, terhentinya hujan di daratan yang diiringi oleh masa paceklik serta dari lautan, yaitu yang mengenai binatang-binatangnya.
Dengan kata lain, telah terjadi upaya nyata yang mungkin dari gejala-gejala yang ditimbulkan tersurat indikasi kuat bahwa ini adalah kejahatan yang direncanakan. Dalam bahasa agama ini disebut dengan kemakisatan.
Abul Aliyah berkata, “Barangsiapa yang berlaku maksiat kepada Allah di muka bumi, berarti dia telah berbuat kerusakan di dalamnya. Karena kebaikan bumi dan langit adalah dengan sebab ketaatan.”
Ketika bencana asap telah merenggut nyawa seorang penduduk saja, terlebih nyawa anak-anak, sebenarnya kerusakan ini tidak bisa dianggap ringan. Karena dalam Islam, membunuh satu orang tidak berdosa, seakan-akan telah membunuh seluruh penduduk bumi (QS. Al-Maidah: 32).
Oleh karena itu, pemerintah atas alasan dan atas nama apapun tidak boleh letoi dalam mengatasi masalah ini. Beragam pendekatan mesti dilakukan, terutama dari sisi hukum untuk memberikan ganjaran setimpal kepada pelaku pembakaran hutan. Sebab, tanpa tindaklanjut hukum yang tegas, bukan tidak mungkin agenda pembakaran hutan di tahun-tahun mendatang akan mulus dilakukan.
Berkaitan dengan kemaksiatan yang menimbulkan kerusakan kehidupan ini, Ibn Katsir mengutip satu hadits Nabi, “Satu hukuman hadd yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai bagi penghuninya daripada diturunkan hujan kepada mereka (selama) 40 (hari) di pagi hari.” (HR. Abu Dawud).*
Penulis Mantan Sekjen Syabab Hidayatullah 2009-2013