Kamis, 3 November 2005
Hidayatullah.com–Mustahil menurut kebanyakan orang, seorang budak akan melahirkan ulama besar yang Rabbani, yang menguasai seluruh cabang keilmuan. Bahkan, selain alim, juga ksatria di medan perang, saudagar yang sukses di pasar, dan mampu merangkum seluruh kebaikan.
Namun Allah yang Maha Adil memberikan keutamaan kepada siapa yang dikehendaki tanpa sedikit pun melihat sosial hamba-Nya.
Budak itu bernama Al-Mubarak. Pemuda ini berkebangsaan Turki, sangat taat dan wara’. Ia bekerja pada seorang saudagar Muslim yang kaya raya.
Pada suatu kesempatan, sang saudagar ingin bersantai sambil menikmati buah delima. Ia menyuruh pemuda itu agar memetikkan buah delima yang manis dari pekarangan rumahnya.
Pergilah sang budak menunaikan apa yang diminta majikan. Tak berapa lama kemudian, ia kembali dengan menenteng delima yang ranum di tangannya.
Sang majikan mencicipi delima tersebut, namun kurang puas karena rasanya asam. Ia memerintah pemuda itu lagi agar mencari delima lainnya.
Budak tersebut pergi ke bagian lain dari kebun tersebut dan memetik buahnya. Lagi-lagi, hasilnya belum memuaskan majikannya.
Al-Mubarak kembali ke kebun, sampai tiga kali berturut-turut. Namun hasilnya tetap sama. Marahlah sang majikan, “Apakah kamu tidak punya lidah atau kamu mati rasa sehingga kamu tak bisa membedakan mana yang manis dan mana yang masam?”
Dengan polos pemuda itu menjawab, “Tuanku, bukannya aku tak punya lidah. Bukan pula aku mati rasa. Tapi delima-delima itu tak halal bagiku. Bukankah aku hanya diperintahkan untuk memetiknya, bukan mencicipinya?”
Seketika redalah amarah sang saudagar. Ia menatap pemuda di hadapannya itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sungguh tak percaya, budak itu mampu mengeluarkan kata-kata yang begitu mulia.
Beberapa saat kemudian, sang saudagar menemui istrinya. Ia berkata, “Pemuda macam inilah yang layak menjadi suami putri kita.”
Singkat cerita, sang pemuda yang itu pun menikah dengan putri majikannya. Dari perkawinan tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi putra laki-laki yang diberi nama Abdullah. Anak ini di kemudian hari dikenal dengan Ibnu Al-Mubarak, seorang ulama hadits yang jadi rujukan ahli-ahli hadits di seluruh dunia.
Kesan Para Ulama
Muhammad ibn Abdul Wahhab Alfarra’ pernah berkata, “Khurasan tidak pernah melahirkan lagi ulama sekaliber mereka bertiga, yaitu Ibnu Al-Mubarak, Nadlr ibn Syamil, dan Yahya Ibn Yahya.”
Sedangkan Syu’aib ibn Harb mengatakan, “Tidaklah Ibnu Al-Mubarak bertemu seseorang kecuali beliau lebilh afdhal dibanding orang tersebut.”
Abu Usamah juga mengatakan, “Di kalangan ulama hadits, Ibnu Al-Mubarak bagai Amirul-Mu’minin di tengah-tengah manusia.”
Sementara Al-Awza’i, suatu ketika berkata kepada Abdurrahman Ibn Zaid Al-Juhani, “Apakah Anda pernah bersua dengan Ibnu Al-Mubarak?” Jawab Abdurrahman, “Tidak.” Kata Al-Awza’i kemudian, “Seandainya Anda bertemu dengannya, tentulah ia akan membuat jiwamu tenang.”
Mu’adz ibn Khalid berkata, “Aku menanyakan tentang Ibnu Al-Mubarak kepada Isma’il ibn Iyyasy. Ia pun berkata, ‘Tidak ada di muka bumi ini orang seperti Ibnu Al-Mubarak, dan tidaklah Allah menciptakan suatu kebaikan kecuali kebaikan itu pasti ada pada beliau.’”
Lain lagi kata Ahmad Al-‘Ajaliy, “Ibnu Al-Mubarak orang yang tsiqah (terpercaya) dalam ilmu hadits, seorang yang shalih, seorang penyair yang andal, dan orang yang merangkum di dalam dirinya seluruh cabang disiplin keilmuan.”
Al-Abbas ibn Mush’ab berkata, “Abdullah (Ibnu Al-Mubarak) mengusai ilmu hadits, fiqh, bahasa Arab, sejarah, sekaligus seorang yang pemberani, dermawan, dan saudagar yang sukses.”
Imam Ahmad ibn Hanbal berkisah panjang lebar tentang sosok yang satu ini, “Abdullah (Ibnu Al-Mubarak) dilahirkan pada tahun 118 Hijriah. Beliau lahir dari keluarga yang sangat wara’ dan bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bapaknya seorang berkebangsaan Turki, sedang ibunya putri seorang saudagar kaya dari Hamadzan, keturunan Bani Khanzhalah. Mereka telah memperbaiki makanan yang masuk ke dalam perut mereka, dan sedikit pun mereka tak membiarkan mulut mereka tersentuh sesuap makanan syubhat, apalagi haram. Maka Allah pun memperbaiki keturunan mereka. Tiada anugerah yang paling berharga bagi seorang Muslim kecuali seorang anak yang shalih, alim, mujahid, yang namanya tetap harum sampai abad ini.”
Pemberani
Dalam kitab Siyar Al-A’lam An-Nubala diceritakan bahwa pada sebuah peperangan antara kaum Muslimin melawan Romawi, enam mubariz (jago duel) Muslimin gugur di tangan seorang jawara bertubuh tinggi besar. Setelah itu tak ada lagi tentara Muslim yang berani menyambut tantangan sang jawara dari Romawi itu.
Tiba-tiba, di antara keheningan tersebut, majulah salah seorang penunggang kuda dengan gagah perkasa menyambut tantangan sang jawara. Duel pun dimulai. Pertarungan tersebut sangat menentukan mental tempur prajurit masing-masing pihak. Akhirnya, duel itu dimenangkan sang penunggang kuda.
Sang penunggang kuda tersebut tak lain adalah sang alim Ibnu Al-Mubarak. Hanya dalam beberapa detik, dengan kemenangan tersebut, bangkitlah semangat tempur kaum Muslimin. Dan, secara mengejutkan, kaum Muslimin bisa memenangi pertempuran.
Hafalan yang Kuat
Al-Hasan ibn ‘Iisya berkata bahwa Shakhr, salah seorang teman Ibnu Al-Mubarak, mengabarkan, “Ketika kami masih kecil, kami melewati seorang laki-laki yang sedang berkhutbah panjang lebar. Setelah laki-laki itu menyelesaikan khutbahnya, Ibnu Al-Mubarak berkata kepadaku, ‘Aku telah hafal apa yang ia ucapkan tadi.’ Salah seorang hadirin mendengar itu dan berkata kepada Ibnu Al-Mubarak, ‘Buktikan perkataanmu!’ Maka Ibnu Al-Mubarak pun mengulanginya, persis seperti apa yang disampaikan laki-laki tersebut tanpa mengurangi atau menambahinya.”
Nu’aim Ibn Hammad juga pernah mendengar Ibnu Al-Mubarak mengatakan, “Bapakku berkata kepadaku, ‘Kalau aku mendapati kamu menulis, aku akan membakar tulisanmu!’ Aku menjawab, ‘Untuk apa aku menulis sedangkan ilmuku ada dalam dadaku’.”
Dermawan
Pada suatu musim haji, Ibnu Al-Mubarak berangkat dari Mesir menuju Makkah untuk menunaikan haji bersama beberapa orang. Sebelum berangkat, Ibnu Al-Mubarak yang bertindak sebagai imam safar mengumpulkan ongkos haji mereka. Setelah semua terkumpul, ia memasukkan uang tersebut ke dalam sebuah kotak dan kemudian menguncinya.
Selama dalam perjalanan, Ibnu Al-Mubarak-lah yang melayani keperluan rombongan itu, memasak makanan, membeli seluruh keperluan jamaah, serta memberi mereka makan dengan sebaik-baik makanan. Sedangkan ia sendiri berpuasa sepanjang hari.
Begitulah yang ia lakukan sepanjang perjalanan. Setelah manasik haji selesai, ia kumpulkan jamaah tadi, kemudian ia belikan oleh-oleh sesuai permintaan keluarga masing-masing. Maka, pulanglah kafilah haji tersebut dengan hati gembira. Tak hanya itu, ongkos haji yang tadi dikumpulkan, dikembalikan kepada masing-masing pemiliknya tanpa sedikit pun ada yang berkurang.
Pada suatu ketika, Ibnu Al-Mubarak mengirimkan sepucuk surat kepada Fudhail ibn Iyyad. Di dalam surat tersebut ia menulis untaian syair berikut:
Wahai ‘abid Al-Haramain,
seandainya engkau memperhatikan kami,
engkau pasti tahu bahwa selama ini
engkau hanya main-main dalam beribadah.
Kalau pipi-pipi kalian basah dengan air mata
maka leher-leher kami basah bersimbah darah.
Kalau kuda-kuda kalian letih dalam hal yang sia-sia,
maka kuda-kuda kami letih di medan laga.
Semerbak wanginya parfum, itu untuk kalian,
sedangkan wewangian kami pasir dan debu-debu.
Telah datang Al-Qur`an kepada kita menjelaskan,
para syuhada tidak akan pernah mati, dan itu pasti.
Usai membaca surat itu, Fudhail meneteskan air matanya seraya berkata, “Engkau benar Ibnu Al-Mubarak, demi Allah, engkau benar.”
Ibnu Al-Mubarak wafat pada tahun 181 Hijriah (798 M) pada bulan mulia, Ramadhan. Wallahi, telah pergi hari ini seorang ulama besar yang serba bisa,” kata Khalifah Harun Al-Rasyid, ketika mendengar berita kematian tersebut.* (Jayyadi Hasan, Abu Umair/Hidayatullah)